Mengenang 4 Juni 1989 : Pemilu Polandia yang Menyebabkan Disintegrasi Komunisme Secara Damai

Ella Kietlinska

4 Juni menandai dua peringatan ke-32: yang pertama memperingati kekalahan partai komunis Polandia yang berkuasa dalam pemilihan umum yang bebas-sebagian, yang kedua memperingati tindakan keras berdarah oleh Partai Komunis Tiongkok terhadap protes damai oleh mahasiswa di Lapangan Tiananmen di Beijing.

Pada 4 Juni 1989, partai komunis Polandia yang berkuasa, bernama Partai Persatuan Pekerja Polandia kalah dalam pemilu hibrida di komunis Polandia.

Format pemilihan umum tersebut telah disepakati dalam negosiasi-negosiasi yang diadakan sebelumnya pada tahun 1989 antara kubu pemerintah komunis Polandia dengan apa yang disebut kubu “Solidaritas”, kata Prof. Jacek Reginia-Zacharski, Ph.D., ilmuwan politik dan sejarawan di Universitas Lodz di Polandia.

Negosiasi-negosiasi, yang dikenal sebagai Pembicaraan Meja Bundar Polandia, tidak mencakup semua kelompok dan gerakan oposisi anti-komunis; tidak semuanya diwakili dalam pembicaraan-pembicaraan tersebut atau berpartisipasi di dalamnya pada sebuah pijakan yang sama, kata Prof. Jacek Regina-Zacharski mengatakan kepada The Epoch Times dalam sebuah wawancara.

Gerakan “Solidaritas” Polandia muncul pada tahun 1980, dari para pekerja Polandia yang memprotes memburuknya kondisi-kondisi kehidupan di Polandia yang komunis. 

Solidaritas menjadi serikat pekerja  pertama di Blok Timur (komunis) yang independen dari rezim komunis. Selanjutnya, dengan cepat tumbuh sebagai sebuah kelompok oposisi anti-komunis yang menuntut reformasi ekonomi dan politik di Polandia.

Pada awal tahun 1981, keanggotaan Solidaritas mencapai 10 juta orang dan mencakup 80 persen tenaga kerja Polandia. Sebagai tanggapan, pemerintah komunis mengumumkan darurat militer untuk menindak gerakan tersebut.

Setelah darurat militer dicabut pada tahun 1983, gerakan Solidaritas mulai muncul kembali, meski penindasan oleh rezim Polandia terhadap anggota-anggota gerakan Solidaritas dilanjutkan. Pada tahun 1988, ketika sebuah gelombang besar pemogokan menyebar ke seluruh Polandia, pemerintah komunis Polandia menyatakan kesediaannya untuk bernegosiasi dengan Solidaritas.

Sekitar 6 bulan kemudian, pembicaraan meja bundar dimulai antara Oposisi yang dipimpin Solidaritas dengan koalisi yang dipimpin oleh  partai komunis yang berkuasa, yang secara resmi disebut Partai Persatuan Pekerja Polandia.

“Komunis tidak ingin melepaskan kekuasaan tanpa syarat,” kata Prof. Jacek Regina-Zacharski. Partai-partai yang bernegosiasi sepakat untuk membuat majelis tinggi parlemen – Senat – yang sebelumnya tidak ada dan untuk membuat pemilihan umum untuk membebaskan Senat , jelasnya.

Namun, para komunis ingin memastikan bahwa mereka akan memegang mayoritas di majelis rendah parlemen, yang adalah penting, dan disediakan untuk dirinya sendiri 65 persen kursi, demikian Prof. Jacek Regina-Zacharski menjelaskan. Ia menambahkan bahwa hanya calon-calon yang disetujui oleh koalisi, yang dapat mencalonkan diri untuk kursi ini.

35 Persen kursi yang tersisa tersedia untuk oposisi dan calon-calon independen dalam perlombaan-perlombaan yang diperebutkan secara bebas.

Oleh karena itu pemilihan umum pada tahun 1989 tidak dapat dianggap bebas-sebagian, pemilihan umum tersebut lebih merupakan sebuah pemilihan hibrida, kata Prof. Jacek Regina-Zacharski, menambahkan bahwa pemilihan umum tersebut tidak dianggap bebas oleh Dewan Eropa.

Pada 4 Juni 1989, calon-calon Solidaritas memenangkan 160 kursi dari 161 kursi yang disediakan untuk mereka, sementara calon-calon komunis hanya memenangkan 5 kursi dari 299 disediakan untuk mereka, dengan jumlah pemilih 62 persen. Selain itu, 92 dari 100 kursi Senat jatuh ke kubu Solidaritas dan kubu komunis tidak memenangkan apapun.

“Itu memang mengejutkan bagi komunis. Itu adalah bencana dari  sudut pandang mereka,” kata Prof. Jacek  Regina-Zacharski. Ia yakin bahwa hasil putaran pertama pemilihan umum adalah mengejutkan semua orang.

Rasa gentar terasa di kedua sisi pagar politik, Prof. Jacek  Regina-Zacharski melanjutkan, karena sejumlah besar aktivis-aktivis Solidaritas dan mungkin sebagian besar masyarakat Polandia ditakut-takuti bahwa komunis, yang menghadapi bencana semacam itu, dapat menggunakan kekuasaan seperti yang mereka lakukan pada tahun 1981 ketika mereka memberlakukan darurat militer di Polandia.

Situasi ekonomi di Polandia saat itu adalah sangat suram, kata Prof. Jacek Regina- Zacharski. “Hiperinflasi mengamuk, upah-upah di Polandia memuncak pada jutaan tetapi daya beli mata uang Polandia turun menjadi hampir tidak ada.”

Berdasarkan pendapat Prof. Jacek Regina-Zacharski, berita dramatis dan traumatis mengenai pembantaian di Lapangan Tiananmen di Beijing yang pecah pada hari pemilihan umum, memicu ketakutan semacam itu. 

“Darurat militer menimbulkan trauma yang sangat dalam pada masyarakat Polandia,” tambah Prof. Jacek Regina-Zacharski.

Putaran kedua pemilihan umum diperlukan untuk mengisi kursi-kursi yang kosong, tetapi undang-undang pemilihan umum tidak mengizinkan calon-calon yang belum menerima 50 persen suara yang dibutuhkan untuk maju di putaran kedua, kata Prof. Jacek Regina-Zacharski. Oleh karena itu pemerintah komunis itu, mengubah undang-undang pemilihan untuk mengizinkan calon-calon yang kalah pada putaran pertama untuk maju di putaran yang kedua, jelasnya.

Sebagai hasil dari putaran kedua, yang berlangsung pada 18 Juni, Solidaritas memenangkan satu kursi majelis rendah yang dialokasikan untuk calon-calon pemilihan umum yang bebas, tetapi kosong setelah putaran pertama dan memperoleh 7 dari 8 kursi yang tersisa di Senat. Satu kursi Senat yang tersisa diisi oleh seorang calon independen. Para komunis tidak memiliki perwakilan di Senat.

Di babak kedua, para komunis memenangkan semua kursi di majelis rendah yang disediakan untuk mereka, tetapi mereka tidak mendapatkan perwakilan di Senat. Risiko kehilangan kursi cadangan mereka adalah sangat rendah meskipun jumlah pemilihnya sedikit–—hanya 25 persen—karena mereka yang tidak memilih calon-calon komunis tidak muncul di putaran kedua, kata Prof. Jacek Regina-Zacharski.

Dari 299 kursi majelis rendah yang ditunjuk untuk pemerintah oleh koalisi, Partai Persatuan Pekerja Polandia hanya memperoleh 173 kursi dan kursi yang tersisa adalah diambil oleh partai-partai satelitnya.

Pasca Pemilihan Umum

Dampak pemilihan umum ternyata jauh lebih besar dari yang terlihat, kata Prof. Jacek Regina-Zacharski. Terlepas dari kenyataan bahwa Solidaritas hanya memiliki 161 kursi dari 460 kursi di majelis rendah, yang disebut dekonstruksi kubu komunis yang dimulai tidak lama setelah pemilihan umum.

Setelah pemilihan umum, dua partai satelit terbesar, Partai Persatuan Petani dan Partai Demokrat mulai berkolaborasi dengan Solidaritas, kemudian terbentuk sebuah pemerintahan koalisi dengan Solidaritas yang dipimpin oleh Tadeusz Mazowiecki, seorang

Perdana Menteri non-komunis,  kata Prof. Jacek Regina-Zacharski.

Namun, pemerintah tidak sepenuhnya dikendalikan oleh Solidaritas. Pasalnya, partai komunis mempertahankan untuk dirinya sendiri pada kantor-kantor kunci seperti Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan, Prof. Jacek Regina-Zacharski menjelaskan. 

Parlemen baru juga dipilih dengan selisih satu suara sebagai seorang presiden komunis, Wojciech Jaruzelski, arsitek darurat militer menyatakan di Polandia untuk menekan Solidaritas. 

Jaruzelski memegang kantor selama lebih dari setahun sampai pemilihan presiden pertama di Polandia sejak Perang Dunia II.

Pengaturan politik yang dirancang selama negosiasi-negosiasi meja bundar, seharusnya berfungsi setelah pemilihan umum tetapi tidak pernah direalisasikan, kata Prof. Jacek Regina-Zacharski.

Aktivis-aktivis partai-partai satelit yang membentuk sebuah koalisi dengan pada komunis, adalah  jelas bahwa “komunis sama sekali tidak memiliki dukungan… [dan] Partai Persatuan Pekerja Polandia setelah pemilihan umum bulan Juni berhenti menjadi kelompok politik hegemonik di Polandia,” kata Prof. Jacek Regina-Zacharski.

Keanggotaan partai komunis Polandia telah menyusut dari sekitar 3 juta pada tahun 1980, menjadi sekitar 1 juta pada musim gugur 1989. Pada bulan Januari 1990, Partai Persatuan Pekerja Polandia bubar dengan sendirinya.

Pada tahun 1991, pemilihan umum parlemen pertama yang benar-benar bebas diadakan setelah perang Polandia, yang merupakan prasyarat bagi negara untuk menyetujui Dewan Eropa, kata Prof. Jacek Regina-Zacharski.

4 Juni 1989, di Lapangan Tiananmen

Pada hari yang sama Polandia memulai transisi damainya dari komunisme, tentara-tentara, dan tank-tank Tentara Pembebasan Rakyat di Tiongkok memasuki ibukota Tiongkok dan membunuh ratusan, mungkin ribuan, pengunjuk rasa tanpa bersenjata di Lapangan Tiananmen—”gerbang” kedamaian surgawi.”

Para pengunjuk rasa—mahasiswa dan staf universitas dari seluruh Tiongkok yang bergabung dengan demonstrasi nasional—menyerukan hak-hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, dan reformasi demokrasi.

Ada kemungkinan bahwa para pemimpin partai komunis Tiongkok sedang mengawasi proses-proses dan perubahan-perubahan yang terjadi di Uni Soviet dan di Blok Timur termasuk Polandia, dan jelas bahwa “proses-proses ini sekali dimulai  berpotensi luar biasa untuk meningkat, [dan] itu adalah sesuatu yang tidak dapat  dihentikan,” kata Prof. Jacek Regina-Zacharski. 

Namun tidak diketahui apakah pengamatan-pengamatan ini memengaruhi keputusan mereka untuk secara brutal memadamkan protes, Prof. Jacek Regina-Zacharski menambahkan.

The New York Times melaporkan pada tahun 1989, bahwa Jiang Zemin, yang  menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok setelah resolusi berdarah peristiwa pada 4 Juni, mengoreksi seorang reporter Italia yang menggunakan istilah “Tragedi Tiananmen” dalam pertanyaannya.

Menurut New York Times, Jiang Zemin berkata, “Saya ingin mengoreksi anda mengenai anda menggunakan kata tragedi. Kami tidak percaya bahwa ada tragedi di Lapangan Tiananmen. Apa yang sebenarnya terjadi adalah pemberontakan kontra-revolusioner yang ditujukan untuk menentang kepemimpinan Partai Komunis dan menggulingkan sistem sosialis.” (Vv)