Rezim-Rezim Komunis yang Hanya Menampilkan Pola Kecemasan Bertahan Hidup

oleh Cheng Xiaonong

Rezim-rezim komunis di dunia menunjukkan sebuah pola kecemasan bertahan hidup. Dikarenakan ketakutan akan kehilangan kekuasaannya,  menyebabkan rezim-rezim komunis melakukan kejahatan-kejahatan serupa. Misalnya, beberapa dekade sebelum terjadi Pembantaian Lapangan Tiananmen pada tahun 1989, di mana rezim Tiongkok membunuh ribuan mahasiswa yang memprotes demokrasi, rezim komunis Jerman Timur, rezim komunis Cekoslowakia, dan rezim komunis Polandia semuanya melakukan tindakan keras serupa untuk menindas kebebasan berpendapat.

Pola kecemasan bertahan hidup yang dimiliki rezim komunis, demikian juga, dari kecemasan bertahan hidup yang sama ini, rezim-rezim komunis menutupi kebenaran atas kejahatan-kejahatan yang keji yang dilakukannya. 

Emosi atau kompleks inferioritas ini biasanya berasal dari kelemahan-kelemahan internal di dalam rezim tersebut, yang mana pada gilirannya menyebabkan kecemburuan, memprovokasi kebencian terhadap masyarakat maju. 

Ketika semakin lemah rezim-rezim komunis, semakin banyak kebencian yang dimilikinya, menghasilkan suatu ambisi yang ekstrem untuk menguasai dunia secara tidak bertanggung jawab. 

Terlepas dari intrik-intrik yang nyata selama 40 tahun terakhir, pemerintah-pemerintah dunia cenderung tidak melakukan pendekatan ke Tiongkok. Misalnya, sebagian besar presiden Amerika Serikat, kecuali Ronald Reagan dan Donald Trump, tidak mau menyelidiki teka-teki rezim-rezim komunis.

Mari kita lihat lebih dekat, bagaimana kecemasan bertahan hidup  mendorong rezim-rezim komunis untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang paling mengerikan.

Kejahatan-Kejahatan yang Disebabkan oleh Kecemasan Bertahan Hidup yang Dilakukan Partai Komunis Tiongkok

Mengakui Pembantaian Lapangan Tiananmen adalah sebuah hal tabu yang abadi bagi Partai Komunis Tiongkok. Pembantaian Lapangan Tiananmen, adalah sebuah kejahatan bersejarah di mana Partai Komunis Tiongkok berupaya untuk menyembunyikannya tetapi tidak pernah mengakuinya. 

Namun demikian, Pembantaian Lapangan Tiananmen hanyalah salah satu dari sekian banyak kejahatan yang identik dilakukan oleh rezim Tiongkok: Kolektivisasi Pertanian, Kampanye Anti-Kanan, Kelaparan Besar, Revolusi Kebudayaan, dan Pemutusan Hubungan Kerja pada tahun 1990-an–—masing-masing kejahatan ini dilakukan Partai Komunis Tiongkok karena kecemasan bertahan hidup.

Kampanye Kolektivisasi Pertanian adalah merampas tanah para petani yang dijanjikan Partai Komunis Tiongkok, untuk diberikan kepada para petani dalam Kampanye Reformasi Tanah. Partai Komunis Tiongkok menjarah produksi pertaniannya untuk mengumpulkan sumber daya secara paksa untuk perkembangan industri militernya. Perampasan tanah ini, dibenarkan oleh Partai Komunis Tiongkok. Dikarenakan, Partai Komunis Tiongkok takut akan diancam oleh Uni Soviet dan dikalahkan oleh Amerika Serikat.

Kampanye Anti-Kanan berasal dari ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan-kebijakan Partai Komunis Tiongkok, dan para intelektual yang berani berbicara untuk rakyat dihukum sebagai sebuah peringatan.

Kelaparan Besar didorong oleh gaya kepemimpinan Mao Zedong (pengawasan yang konstan). Selama Lompatan Jauh ke Depan dan Kelaparan Hebat, kecemasan bertahan hidup ala Mao Zedong, mencegah korban-korban kelaparan dari pedesaan untuk berbondong-bondong ke kota-kota karena Mao Zedong takut hal tersebut akan merusak citra rezim komunis.

Oleh karena itu, Mao Zedong memanggil milisi untuk menahan para petani untuk tetap berada di desa-desa di mana para petani tidak mempunyai makanan, membuat para petani kelaparan sampai mati. Tiga puluh juta nyawa tewas di tangan Partai Komunis Tiongkok, sedangkan Mao Zedong mengumpulkan cukup sumber daya uang untuk membuat bom-bom atom.

Pada Mei 1962, para pengungsi Tiongkok mengantre untuk makan. Selama kelaparan yang disebabkan oleh kebijakan “Lompatan Jauh ke Depan” Tiongkok, antara 140.000 dan 200.000 orang masuk secara ilegal ke Hong Kong. (AFP melalui Getty Images

Revolusi Kebudayaan juga didorong oleh rasa rendah diri Mao Zedong terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Liu Shaoqi, saat itu adalah Wakil Ketua Republik Rakyat Tiongkok–—yang agak mendapat dukungan publik. 

Demi membangun otoritasnya sendiri, Mao Zedong merestrukturisasi sistem politik Zhongnanhai, markas pusat Partai Komunis Tiongkok, yang menyebabkan seluruh bangsa Tiongkok menderita kekacauan selama 10 tahun.

Pada tahun 1989, reformasi-reformasi ekonomi mulai membuahkan hasil, seiring dengan meningkatnya sentimen menuju demokrasi di universitas-universitas. Akhirnya, para mahasiswa secara damai mengajukan petisi untuk reformasi demokrasi. Namun demikian, mantan pemimpin Partai Komunis Tiongkok terpenting Deng Xiaoping, dan sekelompok pemimpin Partai Komunis Tiongkok diam-diam mengirim ratusan ribu tentara ke Beijing seolah-olah dihadang oleh musuh yang tangguh. 

Mereka menggunakan tank-tank dan senjata-senjata untuk membunuh banyak anak muda yang telah menyuarakan seruannya untuk demokrasi–—dan mengakhiri sebuah kemungkinan terwujudnya reformasi politik yang damai di Tiongkok.

Pemutusan Hubungan Kerja yang bersejarah, juga berasal dari kecemasan bertahan hidup Partai Komunis Tiongkok. Kepemilikan publik berdasarkan Marxisme dan sebuah ekonomi yang terencana, menyebabkan sebagian besar perusahaan di Tiongkok berada di ambang kebangkrutan dan bank-bank  milik negara yang mendanai perusahaan-perusahaan itu runtuh pada pertengahan tahun 1990-an. 

Zhu Rongji, saat itu Perdana Menteri Partai Komunis Tiongkok dari Republik Rakyat Tiongkok, untuk menegakkan  otoritas politik Partai Komunis Tiongkok, memprakarsai privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara. Kebijakan tersebut memungkinkan para direksi BUMN skala-kecil dan skala-menengah, untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan itu dan, pada saat yang sama, memangkas dan mengorbankan puluhan juta karyawan BUMN.

Reformasi-Reformasi Partai Komunis Tiongkok Membuktikan Revolusi-Revolusi Partai Komunis Tiongkok Menjadi Kejahatan-Kejahatan Sejarah

Partai Komunis Tiongkok, berada di tengah-tengah kecemasan bertahan hidup secara praktis sejak Partai Komunis Tiongkok dibentuk, dan cenderung akan seperti itu di masa depan.  Walaupun Partai Komunis Tiongkok mendeklarasikan banyak slogan propaganda yang angkuh seperti, “melampaui Inggris dan mengejar Amerika Serikat,” pada tahun 1950-an; dan “kekuatan yang meningkat,” saat ini; sebenarnya Partai Komunis Tiongkok memiliki banyak keluhan mendasar seperti, “para imperialis, kaum revisionis, dan anti-revolusioner tidak henti-hentinya berhasrat untuk memusnahkan Tiongkok (Partai Komunis Tiongkok),” dari abad terakhir; dan “perekonomian nasional adalah di ambang kehancuran,” sebelum reformasi. 

Oleh karena itu, Partai Komunis Tiongkok  mendorong rakyat Tiongkok untuk berjuang sebagai sebuah cara untuk membebaskan diri dari kecemasan bertahan hidup.

Faktanya, akar penyebab kecemasan Partai Komunis adalah krisis yang melekat dalam sistemnya sendiri. Seorang ekonom dari sebuah negara komunis Eropa Timur memiliki wawasan mengenai krisis ini. 

Pada tahun 1988, selama sebuah seminar mengenai reformasi negara sosialis yang diadakan di ibukota Austria, Wina, seorang ekonom dari komunis Hongaria berbicara blak-blakan mengenai ironi dari apa yang disebut sosialisme, yang katanya tidak lebih dari masa transisi dari kapitalisme ke kapitalisme. Yang ia maksud adalah bahwa meskipun negara komunis bertujuan untuk menghapus kapitalisme, cepat atau lambat, negara komunis harus kembali ke kapitalisme. 

Sudut pandang ini segera dipastikan melalui jatuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Tengah dan Eropa Timur. Demikian juga dengan reformasi-reformasi ekonomi di Tiongkok, Vietnam, dan Kuba menunjukkan bahwa sistem sosialis berturut-turut ditinggalkan oleh rezim-rezim komunis ini, dan ekonomi kapitalis dilembagakan kembali.

Pada tahun 2009, penulis mengajukan sebuah istilah—dua fase 30 tahun—untuk menggambarkan apa yang terjadi di Tiongkok dari tahun 1949 hingga 2009. 

Tema 30 tahun pertama adalah sebuah revolusi (dari revolusi sosialis pada tahun 1950-an berlanjut hingga revolusi di bawah kediktatoran kaum proletar pada tahun 1960-an), dan fase terakhir adalah pengembangan (contoh yang paling menonjol adalah “pengembangan adalah prinsip mutlak” oleh Deng Xiaoping). 

Jika kedua fase diteliti secara terpisah, masing-masing prestasi yang digembar-gemborkan oleh  media milik Partai Komunis Tiongkok tampaknya logis.

Namun, hasilnya akan berbeda jika kedua fase tersebut dicermati bersama.

Istilah yang paling disukai yang digunakan oleh pihak berwenang untuk fase terakhir adalah “reformasi dan keterbukaan.” Tiongkok memang  menjadi berorientasi-pasar dan juga terintegrasi dengan globalisasi ekonomi. Partai Komunis Tiongkok tampaknya telah membuat sebuah kontribusi yang bermakna untuk itu. Namun, sebelum tahun 1949, Tiongkok sudah menjadi sebuah ekonomi pasar dan terbuka untuk dunia. 

Setelah Partai Komunis Tiongkok merebut kekuasaan sejak saat itu Partai Komunis Tiongkok menguasai pemerintah republik, kediktatoran Partai Komunis Tiongkok selama lebih dari 60 tahun meninggalkan ekonomi dalam reruntuhan total. Objek reformasi bukanlah sistem di pemerintah republik, tetapi bencana yang dihasilkan dari kediktatorannya. Oleh karena itu, keberhasilan reformasi-reformasi membutuhkan sebuah penolakan terhadap revolusi yang digembar-gemborkan, dan reformasi-reformasi itu sendiri menjadi tidak lebih dari sebuah kompromi.

Paradoks dari dua pencapaian politik selama 30 tahun itu terlihat jelas: jika reformasi-reformasi yang asli menghasilkan hasil yang luar biasa, revolusi-revolusi Partai Komunis Tiongkok akan gagal. Sebaliknya, jika revolusi-revolusi telah menghasilkan prestasi-prestasi yang tinggi, maka reformasi-reformasi di kemudian hari tidak diperlukan. 

Oleh karena itu, Deng Xiaoping menekankan teori “tidak ada argumen”, karena ia tidak dapat membenarkan tindakan-tindakannya dan menyelesaikan paradoks itu. Sejauh menyangkut sistem ekonomi, gabungan pencapaian-pencapaian para penguasa dalam 60 tahun itu paling top akan membuat untuk kekurangannya. 

Warga Berlin bernyanyi dan menari di atas Tembok Berlin untuk merayakan pembukaan perbatasan Jerman Timur-Barat. Ribuan warga Jerman Timur pindah ke Barat setelah otoritas Jerman Timur membuka semua titik perlintasan perbatasan ke Barat. Di latar belakang adalah Gerbang Brandenburg, pada 10 November 1989. (AP Photo/Thomas Kienzle)

Selanjutnya, revolusi-revolusi menetapkan sebuah bentuk baru dari sistem otokratis, sedangkan reformasi-reformasi mengadopsi sebuah rencana ekonomi untuk menggabungkan sistem baru ini. Penerima-penerima manfaat utama, selalu adalah kelompok penguasa, yang bersembunyi di belakang rakyat.

Pada suatu waktu, Radio France Internationale mewawancarai penulis mengenai penggunaan istilah dua fase 30-tahun oleh dirinya. Video wawancara tersebut masih beredar di Tiongkok hingga saat ini, tetapi namanya telah diganti dengan nama lain. Kemudian, Xi Jinping memberikan sebuah pidato di Sekolah Partai Pusat Partai Komunis Tiongkok, menyatakan bahwa pencapaian-pencapaian dua fase 30-tahun itu adalah tidak bertentangan. 

Xi Jinping harus mengeluarkan sebuah perintah pelarangan untuk menjadikan dua fase 30-tahun itu, sebagai sebuah argumen yang tidak terbantahkan. Hal ini juga adalah manifestasi lain dari kecemasan bertahan hidup Partai Komunis Tiongkok.

Kecemasan Bertahan Hidup Terakhir Jerman Timur

Seorang ekonom Jerman Timur pernah berbagi dengan penulis mengenai  kecemasan bertahan hidup Partai Komunis Jerman Timur.

Pada tahun 1989, sebagai peneliti tamu di sebuah lembaga penelitian ekonomi di Berlin Barat, penulis sering mengunjungi para mahasiswa Tiongkok di Berlin Timur. Suatu saat, seorang mahasiswa internasional di Jerman Timur memberitahukan kepadanya bahwa seorang profesor Jerman Timur ingin bertemu dengan dirinya.

Profesor ekonomi tersebut—–untuk menghindari deteksi oleh Stasi (polisi rahasia Jerman Timur)—–memberitahukan nomor plat mobilnya dan menunggu di pinggir jalan dekat sebuah stasiun kereta bawah tanah di utara Berlin Timur. Penulis masuk ke mobilnya tepat waktu, tetapi ia tidak berani berbicara sampai kami tiba di villa miliknya di pinggiran kota.

Profesor ekonomi tersebut memperkenalkan dirinya sebagai seorang profesor kapitalis yang menunjukkan status sosialnya di Jerman Timur. Beberapa penduduk Jerman Timur yang dipercaya oleh pihak berwenang diizinkan untuk mengunjungi Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Meskipun ada kesepakatan-kesepakatan untuk pembebasan visa bersama dengan Tiongkok, penduduk Jerman Timur hanya dapat pergi ke Tiongkok atau Vietnam dengan sebuah paspor khusus. Paspor khusus tersebut adalah sebuah paspor kapitalis. 

Pihak berwenang Jerman Timur melihat Tiongkok sebagai sebuah rezim heterogen di antara negara-negara komunis dan menganggap reformasi-reformasi Tiongkok sebagai pemulihan kapitalisme. Ini juga bagaimana profesor kapitalis itu disebut. Sang profesor, yang bekerja di Sekolah Tinggi Ekonomi di Jerman Timur, bertemu dengan penulis untuk belajar lebih banyak mengenai Tiongkok.

Sang profesor mengungkapkan kepada penulis sebuah rahasia yang tidak diketahui oleh para ekonom Jerman Barat. Sang profesor adalah seorang anggota sebuah tim penelitian ekonomi yang diorganisir oleh petinggi  Jerman Timur, yang bekerja untuk Sekretaris Jenderal Jerman Timur Erich Honecker. Proyek penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi kapan ekonomi di Jerman Timur akan melampaui ekonomi Jerman Barat. 

Meskipun Jerman Timur adalah negara yang paling maju secara ekonomi di blok Soviet, namun Jerman Timur tertinggal jauh di belakang Jerman Barat. Jerman Timur sudah lama mengandalkan jalan-jalan tol di jalur luar Berlin Barat, yang dikelilingi oleh wilayah Jerman Timur untuk ekonomi Jerman Timur.

Sang profesor memberitahukan kepada penulis bahwa mereka menyerahkan sebuah laporan rahasia ke Erich Honecker, setelah belajar selama setengah tahun dan menyimpulkan bahwa, dalam hal pendapatan per kapita, Jerman Timur tidak akan pernah dapat melampaui Jerman Barat. Adalah sangat sulit bagi Jerman Timur untuk mencapai sebagian kecil Produk Domestik Bruto per kapita Jerman Barat. 

Kesimpulan tersebut memang membuat Erich Honecker kesal yang diliputi kecemasan bertahan hidup dan ia mengklasifikasikan laporan tersebut sebagai Sangat Rahasia, menyegel laporan tersebut selamanya. Erich Honecker dan rezim-rezim merah lainnya memiliki pola pikir yang sama—–ketakutan akan runtuhnya rezim-rezim merah.

Ambisi-Ambisi Global Rezim-Rezim Komunis dan Kecemasan-Kecemasan Bertahan Hidup

Didorong oleh ambisi-ambisi globalnya sendiri, kekuatan merah selalu berfantasi mengenai kebangkitannya. Pendidikan dan alat-alat propaganda rezim komunis selalu dicirikan oleh dua ciri: pertama, hegemoni Amerika Serikat adalah memudar, untuk yang lain, hegemoni kekuatan merah semakin bertambah. Pemuda yang tumbuh pada sebuah negara semacam itu, adalah korban-korban cuci otak jangka panjang, dan sebagian besar pemuda adalah orang-orang  berpikiran sederhana yang sangat percaya pada propaganda rezim sepanjang hidupnya. Semakin banyak alasan bagi pemimpin Partai untuk mengumumkan komentar-komentar yang begitu angkuh–—kadang dengan nada mengancam.

Pada 18 November 1956, Sekretaris Pertama Partai Komunis Uni Soviet Nikita Khrushchev, menyatakan kepada para diplomat Barat pada sebuah resepsi di Moskow untuk Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pekerja Polandia Wladyslaw Gomulka, “Kami akan mengubur anda!” Uni Soviet pada waktu itu, mengambil teknologi roket dan ahli-ahlinya dari Jerman, yang dikalahkan dalam Perang Dunia II, dan mempercepat pengembangan rudal-rudal. Uni Soviet adalah yang pertama yang meluncurkan sebuah pesawat ruang angkasa ke orbit dan berpikir dapat melampaui Amerika Serikat.

Secara kebetulan, pada bulan November 1968, ketika Mao Zedong bertemu dengan Edward Fowler Hill (dikenal sebagai Ted Hill), Ketua Partai Komunis Australia, ia mengungkapkan keinginannya untuk menyatukan dunia. 

Mao Zedong menegaskan: “Menurut pendapat saya, dunia perlu bersatu … Di masa lalu, banyak kekaisaran, yang mencakup Kekaisaran Mongol, Romawi di Barat, Alexander Agung, Napoleon, dan Inggris, ingin menyatukan dunia. Saat ini, baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet ingin menyatukan dunia. Hitler ingin menyatukan dunia … tetapi mereka semua gagal. Tampaknya bagi saya bahwa kemungkinan menyatukan dunia belum hilang … Dalam pandangan saya, dunia dapat disatukan … Tetapi kedua negara ini [Amerika Serikat dan Uni Soviet] memiliki populasi yang terlalu sedikit, dan kedua negara ini tidak akan memiliki cukup tenaga kerja jika tersebar. Selain itu, kedua negara ini juga takut bertempur dalam sebuah perang nuklir. Kedua negara ini tidak takut membunuh populasi di negara-negara lain, tetapi kedua negara ini takut membunuh populasinya sendiri … Dalam lima tahun berikutnya, negara kita … akan berada di posisi yang lebih baik …” 

Nada tinggi Mao Zedong menunjukkan ia dapat mulai menyebarkan mimpinya, untuk menyatukan dunia saat itu. Mao Zedong percaya bahwa tidak ada seorang pun selain dirinya sendiri dapat menyelesaikan tugas tersebut, dikarenakan Tiongkok memiliki populasi yang besar. Andai ratusan juta orang Tiongkok meninggal, akan ada lebih banyak lagi yang akan terus melanjutkan perjuangannya.

Ambisi rezim merah untuk menguasai seluruh dunia dan kecemasan rezim merah untuk bertahan hidup adalah seperti dua sisi mata uang. Kecemasan bertahan hidup melahirkan ambisi global, dan ambisi global melahirkan kecemasan bertahan hidup yang baru. Beginilah cara Perang Dingin Soviet-Amerika Serikat dan Perang Dingin Tiongkok-Amerika Serikat tersulut. 

Dilihat dari sudut pandang ini, kekuatan merah seolah-olah menghadapi Amerika Serikat atas bentrokan nilai. Kenyataannya, akar penyebab pertentangan antara kedua pihak terletak pada kecemasan bertahan hidup bawaan kekuasaan rezim merah dan ambisi global rezim merah. 

Namun demikian, dari zaman Bush hingga Clinton, dari zaman Obama hingga Biden, tidak satupun dari mereka melakukan sebuah penyelidikan mengenai kebenaran. 

Apakah itu mengadopsi kebijakan Clinton mengenai status negara yang paling disukai, untuk mengurangi kecemasan bertahan hidup Partai Komunis Tiongkok dan ambisi global Partai Komunis Tiongkok, atau kebijakan keterlibatan Obama untuk mencerahkan Partai Komunis Tiongkok, kebijakan-kebijakan tersebut terbukti merupakan pendekatan-pendekatan yang tidak disarankan. Bahkan, mencerminkan kegagalan orang-orang Amerika Serikat ini untuk memahami kekuatan rezim Tiongkok. (Vv)

Cheng Xiaonong adalah seorang pakar politik dan ekonomi Tiongkok yang berbasis di New Jersey. Cheng adalah seorang peneliti kebijakan dan mantan ajudan  pemimpin Partai Komunis Tiongkok, Zhao Ziyang. Ia juga menjabat sebagai pemimpin redaksi Modern China Studies