Beijing Lebih Agresif Memborong Pangan, Dinilai Sebabkan Harga Pangan Global Melonjak! Tertinggi Dalam 10 Tahun

Li Yun

Data Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menunjukkan harga pangan pada Mei tahun ini, hampir 40% lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu. Angkanya mengalami kenaikan terbesar sejak September 2011 dalam waktu 12 bulan.

Harga jagung dan kedelai, masing-masing melonjak 88% dan 73%. Sedangkan harga sereal dan susu juga naik 38%, harga gula dan harga daging masing-masing naik 34% dan 10%.

Josef Schmidhuber, Deputi Direktur Departemen Perdagangan dan Pasar FAO, mengatakan bahwa dirinya yakin harga pangan akan tetap tinggi pada tahun ini. Hal demikian terutama jika harga minyak naik. 

Ekonom FAO, Abdolreza Abbassian mengatakan, “Di masa depan, harga pangan akan tetap tinggi. Pasar akan berfluktuasi lebih drastis daripada di masa lalu.”

FAO menyatakan kenaikan harga pangan global telah memperburuk keadaan kelompok negara  paling rentan yang menderita akibat epidemi Covid-19.

Misalnya, tingkat inflasi harga pangan Lebanon pada Mei adalah 226% (dihitung berdasarkan 12 bulan). Argentina juga terdampak akibat melonjaknya inflasi harga pangan. Pemerintahannya akhirnya menangguhkan impor daging sapi selama sebulan pada pertengahan Mei. Nigeria juga kena imbasnya akibat kenaikan tajam harga pangan. Meroketnya inflasi menyebabkan 7 juta orang jatuh ke jurang kemiskinan.

Kepala Ekonom FAO Arif Husain mengatakan, situasi ini  sangat mengkhawatirkan.

Pakar Tuding Komunis Tiongkok Menyebabkan Harga Pangan Global Naik

Adapun alasan kenaikan harga pangan, para ahli menunjukkan bahwa kepanikan global dari Komunis Tiongkok untuk memborong pangan dalam jumlah tinggi adalah alasan utamanya.

Ekonom Prancis, Philippe Chalmin mengatakan kepada AFP, bahwa Komunis Tiongkok membeli sejumlah besar bahan makanan pokok seperti minyak rapeseed, biji-bijian dan daging.

Ia berkata : “Memang Tiongkok yang berkontribusi terhadap gelombang kenaikan harga pangan ini.”

Alasan lain untuk kenaikan harga pangan termasuk kekeringan Brasil, harga minyak rebound, dan melonjaknya biaya pengiriman.

Saat ini, berbagai negara meluncurkan rencana penyelamatan skala besar, sehingga ekonomi global diharapkan kembali pulih. Akan tetapi, inflasi juga meningkat.

FAO prihatin bahwa harga makanan pokok melonjak seperti antara tahun 2007 dan tahun 2008, memicu kerusuhan di beberapa kota di seluruh dunia. Harga pangan mencapai puncaknya antara tahun 2010 dan 2011, yang memainkan peran pertanda bagi gelombang revolusioner “Arab Spring” pada waktu itu.

Epidemi Memperburuk krisis pangan global

Di penghujung tahun 2019, merebaknya virus Komunis Tiongkok atau COVID-19  di Wuhan, Hubei, memperparah krisis pangan global. 

Pada akhir Maret tahun lalu, kepala tiga organisasi global, termasuk FAO, memperingatkan bahwa jika negara-negara gagal merespons epidemi dengan benar, dunia akan menghadapi krisis kekurangan pangan.

Pada Juli tahun yang sama, organisasi non-pemerintah “Oxfam” memperingatkan dalam sebuah laporan berjudul, “Bagaimana Pneumonia Wuhan Memperburuk Kelaparan Dunia”. Laporan itu mengungkapkan, bahwa epidemi virus Komunis Tiongkok akan menjadi tantangan terakhir untuk menghancurkan sistem pasokan makanan.

Laporan tersebut mengutip data dari Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP) yang mengatakan bahwa pada tahun 2019, sekitar 821 juta orang mengalami kerawanan pangan, di mana sekitar 149 juta orang di antaranya menghadapi masalah kelaparan yang mendesak. Adapun jumlah orang  yang menghadapi masalah kelaparan  mendesak akan meningkat 82% menjadi total hampir 270 juta jiwa.

Kekurangan Pangan Global, Rezim Tiongkok Memperburuk

Tiongkok merupakan importir pangan terbesar dunia. Pada tahun 2018, impor pertanian Tiongkok mencapai 137,1 miliar dolar AS. Di bawah kekurangan pangan global, Tiongkok menghadapi situasi yang lebih buruk.

Pada Maret 2020, negara-negara tetangga Tiongkok seperti Vietnam, Kirgistan, Kazakhstan, Rusia, Thailand, dan Malaysia telah memperkenalkan langkah-langkah untuk membatasi ekspor biji-bijian untuk memastikan pasokan biji-bijian di negara mereka sendiri. Di pasar internasional, harga biji-bijian seperti gandum dan beras mengalami fluktuasi.

Pada 1 April tahun yang sama, terungkap dokumen “rahasia” yang dikeluarkan oleh Kantor Komite Prefektur Linxia dari Komunis Tiongkok di Provinsi Gans, Tiongkok. 

Dokumen tersebut mendesak pejabat setempat untuk memulai “penyimpanan penuh” makanan, daging sapi dan kambing, minyak dan garam serta kebutuhan sehari-hari lainnya. Serta membimbing dan menggerakkan massa untuk secara sadar menyimpan makanan, jika diperlukan. Pada saat yang sama, banyak provinsi di Tiongkok daratan telah memicu kepanikan pembelian biji-bijian dan minyak.

Komunis Tiongkok Mengambil 50 Juta Metrik Ton Biji-bijian Secara Global

Pada 17 April 2020, Chen Jizhong, ketua Dewan Pertanian Taiwan, mengungkapkan pada konferensi pers tentang rencana penyelamatan dan revitalisasi “Mendukung para petani untuk mengatasi kesulitan”, bahwa pemerintah Komunis Tiongkok bergegas untuk membeli 50 juta metrik ton beras global pada akhir Maret.

Chen Jizhong mengatakan, banyak negara di dunia memberlakukan pembatasan ekspor produk pertanian, termasuk menaikkan tarif ekspor dan membatasi ekspor. Diantaranya, India, Kamboja, dan Myanmar membatasi ekspor beras. Vietnam awalnya membatasi ekspor dan mengubahnya menjadi kuota ekspor. Kazakhstan, Rusia, dan Ukraina juga adalah pengekspor gandum utama dan semuanya mengadopsi kuota ekspor.

Dia mengatakan bahwa, negara-negara Asia Tenggara telah mengadopsi banyak produk pertanian terkait untuk mengontrol ekspor, atau membeli impor dalam jumlah besar. Akan tetapi, Komunis Tiongkok membeli sejumlah besar 50 juta metrik ton beras di seluruh dunia pada akhir Maret, yang mana dapat menyebabkan harga sereal global naik.

Parahnya Krisis Pangan di Tiongkok 

Pada Juli 2020, Komunis Tiongkok mengharuskan petani di seluruh daratan Tiongkok untuk “mengembalikan lahan pertanian untuk mengawetkan biji-bijian,” menunjukkan bahwa krisis pangan parah. 

Pada Agustus tahun yang sama, Xi Jinping memerintahkan untuk menghentikan pemborosan makanan di Tiongkok. Media resmi juga menuntut ketahanan pangan. Bahkan, ditekankan dan diimbau kepada masyarakat untuk menghemat pangan.

 Dalam tiga kuartal pertama tahun 2020, harga tiga makanan pokok utama beras, gandum, dan jagung di daratan Tiongkok  semuanya  meningkat tajam. Harga jagung tembus pada  titik tertinggi terbaru. Pada saat yang sama, beberapa provinsi penghasil biji-bijian pokok, mengumumkan di Internet untuk menaikkan harga beras. Sehingga memperdalam kekhawatiran dunia luar tentang krisis pangan.

Pada November tahun yang sama, Provinsi Sichuan, Tiongkok, mengeluarkan peraturan untuk meningkatkan klausul “menyimpan makanan untuk rakyat”. 

Pada saat yang sama, media Komunis Tiongkok menerbitkan sebuah artikel oleh Zhou Li, mantan wakil menteri Departemen Internasional Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok, yang mengingatkan mereka untuk bersiap menghadapi pecahnya krisis pangan global.

Seorang warga Mr Chen dari Chongqing, Tiongkok mengatakan bahwa, berbagai krisis meledak pada saat yang sama. Ia menyebutkan, situasi politik partai Komunis Tiongkok sedang kacau, dan pemerintah khawatir tentang ketahanan pangan. Pasalnya, selama rakyat masih bisa memiliki makanan, kesulitan apa pun masih akan tetap bertahan. Akan tetapi, jika tidak ada makanan, semua metode pemeliharaan stabilitas mungkin gagal total. (Hui)