6 Negara yang Sudah Menggelar Vaksinasi Masih Dilanda Epidemi Serius, 5 di Antaranya Bergantung Vaksin Tiongkok

Zhu Ying

Media AS CNBC baru-baru ini mengumpulkan dan menganalisis informasi dari berbagai sumber seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berbagai pemerintah, dan peneliti Universitas Oxford,  menemukan bahwa pada 6 Juli, bahwa ada 36 negara per juta orang di dunia, terdapat lebih dari 1.000 kasus baru yang dikonfirmasi setiap minggu. 

Di antara 36 negara ini, 6 negara memiliki tingkat vaksinasi tertinggi, akan tetapi tingkat infeksi pneumonia Komunis Tiongkok juga tinggi. Ke-6 negara ini adalah: Uni Emirat Arab, Seychelles, Mongolia, Uruguay, Chili, dan Inggris.

Menurut laporan tersebut, lebih dari 60% warga di enam negara ini telah menerima setidaknya satu dosis vaksin, tetapi setelah penyebaran virus varian Delta, jumlah infeksi di negara-negara ini terus melonjak meningkat. Di antaranya, lima negara itu sangat bergantung pada vaksin buatan Tiongkok. Sehingga menimbulkan lebih banyak pertanyaan tentang efektivitas vaksin buatan Tiongkok.

Bahkan, negara-negara Eropa juga menemukan situasi di atas baru-baru ini. Sebuah laporan di situs web Deutsche Welle bahasa Tionghoa pada 29 Juni menunjukkan bahwa Seychelles, Chili, Bahrain dan Mongolia saat ini adalah negara yang paling parah terkena dampak di dunia. Akan tetapi, keempat negara ini memiliki tingkat vaksinasi yang lebih tinggi daripada Jerman. Bahkan, jauh lebih tinggi dari negara maju.

Menurut laporan tersebut, tingkat vaksinasi tertinggi di Seychelles dan negara-negara lain telah mencapai 68%, sementara jumlah orang yang telah menyelesaikan dua dosis vaksinasi di Jerman saat ini hanya mencapai 34% dari total penduduk. 

Namun demikian, jumlah infeksi per juta di Seychelles per minggu adalah 1.438 kasus, dan  Mongolia adalah 735 kasus; sebaliknya, jumlah infeksi per 100.000 di Jerman per minggu kurang dari 10 kasus.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa empat negara termasuk Seychelles sebagian besar divaksinasi dengan vaksin buatan Tiongkok, karena jauh lebih mudah untuk mendapatkan vaksin Tiongkok daripada vaksin Pfizer, Moderna, AstraZeneca dan Johnson & Johnson. Meski demikian, negara-negara ini memiliki tingkat keparahan epidemi. Kejadian ini  tidak diragukan lagi merupakan pukulan berat bagi “diplomasi vaksin” pemerintahan Komunis Tiongkok.

Laporan lebih lanjut menunjukkan bahwa Komunis Tiongkok ingin meningkatkan citra internasionalnya, dengan mengekspor vaksin pneumonia Komunis Tiongkok. Bahkan, telah menjual sekitar 760 juta dosis vaksin ke negara lain. Sejauh ini sekitar 300 juta dosis yang dijual, 80% dari yang dijual ke Amerika Selatan dan negara-negara Asia Pasifik.

Meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukkan vaksin Sinovac dan Sinopharm yang dikembangkan di Tiongkok dalam daftar penggunaan darurat, akan tetapi kedua vaksin tersebut tidak memiliki data klinis untuk mengevaluasi efektivitas populasi lansia. Bahkan, tidak satu pun dari vaksin ini disertifikasi oleh Uni Eropa dan FDA AS yang paling diakui di dunia. Selain itu, belum mempublikasikan data klinis Fase III dalam jurnal medis internasional kelas satu.

Kinerja vaksin Sinopharm maupun sinovac dari Tiongkok dengan memancing respons kekebalan manusia dengan  melemahkan atau “menonaktifkan” virus. Secara umum, vaksin yang tidak aktif lebih mudah diproduksi. Sedangkan persyaratan penyimpanan dan transportasinya juga lebih rendah daripada vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna yang dikembangkan menggunakan teknologi messenger RNA. 

Namun demikian, respon imun yang diinduksi oleh vaksin yang tidak aktif, lebih lemah dibandingkan dengan vaksin yang dikembangkan oleh teknologi RNA. Baru-baru ini, efektivitas vaksin Tiongkok semakin dipertanyakan di luar negeri.  Kedua vaksin tersebut memiliki kekurangan data penelitian tentang efektivitasnya terhadap varian Delta. (Hui)