Bloomberg : Mimpi Buruk Bagi Xi Jinping, Tiongkok akan Memasuki Resesi yang Mendalam

oleh Luo Tingting

Media AS baru-baru ini menganalisis bahwa ekonomi Tiongkok terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, dan rasio kredit terhadap PDB telah melonjak hingga 290%. Dalam situasi global yang anti-komunis, Tiongkok akan menghadapi resesi yang mendalam dan mengantarkannya menuju situasi keruntuhan ekonomi yang pernah dialami Jepang di masa lalu. Yang pasti, itu akan menjadi mimpi buruk bagi Xi Jinping.

Pada 6 Juli, Bloomberg melaporkan bahwa sejak tahun 2008, rasio kredit terhadap PDB Tiongkok telah melonjak dari 140% menjadi 290%. Ekonom Bloomberg memperkirakan bahwa kehancuran gaya Lehman dapat mendorong komunis Tiongkok masuk ke dalam jurang resesi yang dalam. Selain itu, menghadapi depresi 10 tahun dengan pertumbuhan nol persen.

Ekonom Bloomberg menyebutkan bahwa, pemerintah komunis Tiongkok tampaknya sedang melangkah pada jalur yang sama seperti sebelum keruntuhan ekonomi Jepang pada 30 tahun lalu. Efek gabungan dari reformasi yang gagal, isolasi internasional, dan krisis keuangan dapat membuat pemerintah komunis Tiongkok berhenti melangkah sebelum mencapai puncak yang diangan-angankan. Tentu saja hal ini menjadi mimpi buruk bagi Xi Jinping.

Saat ini, agenda reformasi pemerintah komunis Tiongkok sudah mandek. Faktor-faktor seperti perang dagang, epidemi virus komunis Tiongkok atau COVID-19, kesulitan dalam memperoleh teknologi canggih dari negara asing telah berkontribusi pada terus menurunnya pertumbuhan ekonomi mereka, sedangkan utang komunis Tiongkok telah memecahkan rekor batas normal.

Menurut laporan tersebut, secara jangka panjang, ada 3 faktor yang menentukan laju pertumbuhan ekonomi suatu negara. 

Pertama adalah skala tenaga kerja.  Kedua adalah persediaan modal, yaitu dari pabrik hingga infrastruktur transportasi, hingga jaringan komunikasi, dan lain-lain. Terakhir adalah produktivitas. Namun tidak satupun faktor di atas yang memberikan harapan bagi pemerintah komunis Tiongkok.

Angkatan kerja adalah tantangan pertama yang dihadapi rezim Beijing. Jika tingkat kelahiran tetap rendah, maka populasi Tiongkok akan turun lebih dari 260 juta jiwa dalam 30 tahun ke depan, atau turun 28%. Bahkan jika pemerintah komunis Tiongkok tahun ini mengumumkan bahwa keluarga muda diizinkan memiliki 3 orang anak, masyarakat sipil Tiongkok tidak akan mampu memikul beban tambahan untuk memiliki anak.

Kedua, pemerintah komunis Tiongkok menggunakan proyek infrastruktur berskala besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi dengan manfaatnya yang secara bertahap menurun. 

Kelebihan kapasitas produksi industri, “kota hantu” yang berada di mana-mana, dan jalan raya yang dibangun di atas lahan pertanian berpenduduk jarang, semuanya menggambarkan masalah ini.

Tidak hanya itu, ada juga keraguan yang meluas tentang keandalan data PDB yang dirilis secara resmi oleh pihak berwenang komunis Tiongkok. 

Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang telah mengakui bahwa “berat” PDB komunis Tiongkok itu karena “mengandung air”, alias menggunakan data yang dimodifikasi. Ketika Li Keqiang menjadi gubernur Provinsi Liaoning, ia pernah mengatakan bahwa demi mendapatkan data yang lebih andal, dirinya lebih suka melihat angka-angka seperti pengeluaran untuk biaya listrik, jumlah angkutan kereta api dan pinjaman bank.

Analisis menyebutkan bahwa dengan menyusutnya angkatan kerja dan pengeluaran modal yang berlebihan, produktivitas adalah kunci pertumbuhan ekonomi komunis Tiongkok di masa depan. Namun, dengan membekunya hubungan AS – komunis Tiongkok, dan terjadi stagnasi pada perjanjian kerja sama ekonomi Uni Eropa – komunis Tiongkok.

Di bawah situasi global yang anti-komunis Tiongkok, inovasi dan arus lintas batas menjadi terkekang. Selain itu, rezim Beijing juga akan dihadapkan pada krisis keuangan akibat serangan ganda dari reformasi dalam negeri yang berhenti dan isolasi internasional.

Laporan tersebut percaya, bahwa interaksi gabungan dari kegagalan reformasi, isolasi internasional dan krisis keuangan yang dapat membuat rezim komunis Tiongkok tidak mampu melanjutkan upayanya untuk menggapai puncak idamannya merupakan mimpi buruk bagi Xi Jinping.

Dalam artikel ekonom Cheng Xiaonong yang diterbitkan pada 18 Juni dengan judul ‘Menghilangkan Kabut yang Menyelimuti Kemakmuran Ekonomi Tiongkok’ disebutkan bahwa, investasi pemerintah komunis Tiongkok di bidang teknik sipil naik dari tahun 2008 yang sekitar 18% hingga 20% bobot PDB, menjadi 35% dari bobot PDB pada tahun 2013, 2014. Pada tahun 2014, investasi di bidang real estat saja telah menyita 21% dari PDB. Jika lonjakan investasi pada bidang teknik sipil yang tidak normal ini terus berlanjut selama bertahun-tahun, maka pecahnya gelembung real estat dapat terjadi.

Ketika Jepang menghadapi keruntuhan ekonomi, investasi real estat hanya menyumbang 9% dari PDB. Ketika krisis subprime mortgage AS pecah pada tahun 2008, rasio tersebut di Amerika Serikat hanya 6%. Saat ini, skala investasi dalam proyek real estat di daratan Tiongkok telah mencapai sekitar 2 kali lipat dari Jepang dan lebih dari 3 kali lipat dari Amerika Serikat.

Cheng Xiaonong dalam artikelnya juga menyebutkan, bahwa dengan menghitung segi luas tempat tinggal, rasio harga rumah terhadap pendapatan tahunan rata-rata penduduk di Kota Shenzhen, Beijing dan Shanghai, hingga Juni tahun ini, angka tersebut telah mencapai tingkatan sangat mencengangkan, yakni 58 kali, 56 kali dan 46 kali. Merupakan yang tertinggi di dunia.

Jadi, untuk warga kelas pekerja harus pensiun pada usia 70 tahun dengan selama itu tidak mengeluarkan biaya untuk membeli makanan, minuman, tidak merawat orang tua dan anak, mereka baru mampu membeli rumah dengan menyetorkan semua penghasilan mereka.

Saat ini, pasar perumahan, keuangan, dan industri perbankan Tiongkok sedang berada dalam keadaan ketat, tidak hanya sulit untuk mereproduksi kemakmuran ekonomi, tetapi juga menghadapi kesulitan ekonomi yang tercermin dari pengangguran yang tinggi dan upah yang rendah yang semakin memburuk dari hari ke hari. 

Ini adalah akhir dari “hari-hari baik” ekonomi komunis Tiongkok. Di waktu yang akan datang, inflasi yang tinggi dan ekonomi riil yang memburuk di bawah pimpinan rezim komunis Tiongkok akan menjadi new normal (normal baru). (sin)