Tanpa Rasa Egois

ETIndonesia-Entah tahun dan bulan berapa, di atas tanah daratan yang luas lahirlah sesosok jiwa, namanya “manusia”. Ketika manusia baru tiba di bumi tanpa sehelai benang pun, apa juga tidak ada. Angin semilir berhembus, manusia merasa sedikit dingin, lalu dari atas cakrawala jatuh sepasang busana dan dikenakan pada tubuh manusia.

Dengan sangat berterima kasih manusia itu berkata, “Ini siapa ya? Terima Kasih!” Saat itu, ada sebuah suara menjawab dari atas langit, “Saya adalah dewa, sekarang saya anugerahkan busana untukmu, dan saya masih ingin menganugerahkan segumpal bibit untukmu, sebuah bajak, kamu harus pergi membantu sekelompok manusia yang berada di tempat jauh yang sama denganmu, membantu mereka menanam bibit, membantu mereka menggarap, dan setelah tiba musim gugur nikmati bersama buah yang dihasilkan dengan mereka, kamu harus ingat, semua ini adalah pemberian saya untukmu, kamu harus sama sepertiku, menggunakan segalanya ini dan berikan pada orang lain, sudah ingatkah?”

Dengan sangat berterima kasih, manusia berkata, “Sudah ingat!”

Lalu dengan menuruti kata-kata dewa ia menemukan sekelompok manusia lain, membantu mereka menggarap, dan membantu mereka menanam bibit. Dewa merasa sangat gembira melihat manusia menuruti kata-katanya membantu orang lain, ketika melihat manusia bercucuran keringat menggarap tanah, timbul belas kaish dewa dalam hati, lalu menganugerahkan lagi seekor kuda pada manusia. Dengan menggunakan kuda menggarap tanah manusia dapat menghemat tenaga. Manusia sangat berterima kasih kepada dewa, tidak berani bersikap dingin sedikitpun, berusaha semaksimal mungkin membantu orang lain.

Setelah tiba musim gugur, manusia menikmati bersama buah yang dihasilkan dengan orang-orang, orang-orang sangat berterima kasih, dengan serentak semua orang mengatakan bahwa itu merupakan pemberian dari orang yang mulia, dengan merasa malu manusia berkata,” Jangan berkata begitu, ini semua adalah anugerah dewa! Saya semula tidak ada apa-apa, apa yang dapat saya lakukan?”

Sebuah musim gugur tiba kembali, buah yang dihasilkan tidak mampu dibawanya karena saking banyaknya, lalu manusia berkata pada dewa, “Oh, dewa, apakah Anda dapat membantu saya bagaimana caranya ini?’

Lalu dewa menganugerahkan lagi seperangkat kereta kuda, dengan begitu akan lebih cepat memindahkan barang, semua orang serentak mengatakan lagi bahwa itu merupakan pemberian dari orang mulia. Dengan rendah hati lagi manusia berkata, “Semua ini adalah anugerah dewa! Dewa menganugerahkan pada saya semua inia dalah agar supaya saya bisa lebih baik lagi membantu kalian, saya hanya memebrikan anugerah dari dewa untuk kalian, apalah yang saya miliki?”

Tidak tahu sudah berapa tahun berlalu, secara berangsur-angsur manusia mulai merasa puas di tengah-tengah suara pujian orang lain, dan juga merasa diri sendiri telah mempersembahkan jasa yang luar biasa, telah begitu banyak berjasa untuk orang lain, semua ini bukankah atas jasa sendiri? Manusia juga telah bosan berjalan, lantas merombak kereta yang ditarik kuda menjadi kereta duduk diri sendiri, membantu orang lain dengan memandang berapa banyak pujian terhadap dirinya, apabila dia tidak suka dengan orang itu, secara tegas ia tidak memperdulikannya, meskipun memohon dengan iba.

Manusia mulai kembali memperlihatkan dengan bangga kemampuan diri sendiri dihadapan orang-orang, agar orang memuji dan menyanjung-nyanjung jasa pribadi, agar supaya orang-orang berterima kasih atas segala yang telah diberikan pada khalayak ramai, dan sekaligus mulai tawar-menawar dengan orang-orang, agar orang membangun sebuah taman megah yang indah untuk diri pribadi.

Dewa melihat semua ini, merasa risau di hati, lalu mengingatkannya. Namun manusia tidak seperti dulu lagi yang begitu menghormati dewa, ia mengatakan, “Hanya saya yang bisa melakukan berbagai hal untuk manusia, kamu hanya memberiku sarana saja, tanpa saya apa yang dapat kamu lakukan?”

Oleh karena keegoisan manusia, kuda itu mulai tidak sudi melayaninya, kerjanya semakin lamban. Bajak pun mulai berkarat. Begitu melihat kuda tidak mau lagi bekerja, lalu manusia mulai sewenang-wenang membuat sebuah cambuk menggunakan kecerdasan yang dulu dianugerahkan oleh dewa, dan dengan kejam mencambuki kuda. Tak lama kemudian, akhirnya kuda mati disiksa. Bajak juga telah patah terantuk batu didalam tanah. Manusia mulai menyalahkan dewa, mengapa memberikan seekor kuda yang tidak penurut dan sebidang garapan yang tidak subur. Dewa merasa begitu sayang dan sedih mendengar keluhan manusia. Lalu, disuatu malam yang dihujani badai angin, sebuah halilintar menyambar taman megah manusia hingga terbakar, manusia menyelamatkan jiwanya berlari menerobos keluar taman tanpa memperdulikan apapun, dan menyaksikan taman megahnya telah hangus dalam bara api besar itu.

Dengan telanjang manusia berdiri di padang yang luas, kedinginan di tengah angin malam, di saat demikian, ia baru merasakan bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa lagi, ia merasa sangat sedih dan putus asa, menyalahkan kenapa Tuhan begitu tidak adil terhadap dirinya.

Semilir angin sejuk menyadarkan ingatannya yang ditutupi debu, ia mulai terbayang suasana ketika ia baru datang ke dunia, terbayang pesan dewa dan barang-barang yang dianugerahkan dewa kepadanya dahulu. Ia akhirnya sadar, merasa sangat malu, dan merasa sangat menyesal, menangis terisak-isak dan berkata pada cakrawala, “O, Dewa! Saya benar-benar malu memohon maaf dari-Mu, segala yang saya miliki adalah anugerah dari-Mu, tujuannya adalah supaya saya seperti-Mu bekerja untuk kepentingan semua orang, barang-barang tak terhitung banyaknya yang Anda anugerahkan untuk saya maksudnya adalah agar supaya saya bisa lebih banyak berbakti untuk semua orang, dan bertanggung jawab untuk semua orang, namun saya malah melanggar perintah Anda, saya menjadikan modal pirbadi saya sendiri sebagai kemampuan yang dianugerahkan kepada saya, menjadikannya sebgai modal yang lebih tinggi daripada orang lain, dan menjadikannya sebagai alat untuk kepentingan pribadi. Saya semula tidak punya apa-apa, adalah Anda yang telah menganugerahkan

segalanya untuk saya, demi agar supaya dapat bermanfaat untuk semua orang, saya baru memiliki segalanya yang lebih baik.

Tetapi, sekarang saya telah mengkhianati ajaran Anda, mengkhianati hakikat yang bermanfaat untuk orang banyak, kini saya benar-benar tidak punya apa-apa lagi. Saya benar-benar merasa sangat menyesal, mohon dewa memberikan belas kasih, sekali lagi berikanlah kesempatan untuk saya, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan kesejahteraan pada orang banyak, mewujudkan maksud dan perintah Anda, seperti welas asih pada orang banyak.”

Setelah berkata bersujud tidak bangkit lagi.

Namun, dewa tidak menampakkan diri, yang ada hanya semilir angin dingin, manusia merasa sedih dan kecewa, sangat menyesali kesalahan diri sendiri yang sulit untuk dimaafkan, lalu jatuh pingsan.

Tidak tahu sudah berapa lama berlalu, manusia itu tersadar, dan begitu bangun melihat cahaya terang, yang tampak adalah sekelompok sapi dan domba gunung, sekelompok kuda yang bagus, banyak bunga segar, kicauan burung, tiupan angin dan sinar matahari, awan yang berarak di langit, banyak mahluk hidup bernyanyi ceria, memuji dan menyanjung kebesaran dan welas asih dewa, manusia mendapati bahwa diri pribadi memiliki segala yang semakin baik dengan segala mahluk, dan tidak kuasa menahan rasa syukur dan kegembiraan, air mata mengalir membasahi seluruh wajah. (Pureinsight/rmat).