Apakah Hewan Juga Merasakan Sakit Seperti Manusia?

ETIndonesia-Rasa sakit adalah masalah kompleks yang melibatkan komponen sensorik dan emosional. Ini bukan hanya tentang bagaimana rasanya, tetapi juga bagaimana itu membuat Anda merasa. Dan itu adalah perasaan tidak menyenangkan yang menyebabkan penderitaan dimana kita sebagai manusia mengasosiasikannya dengan rasa sakit.

Ilmu yang mempelajari tentang penderitaan tersebut didokumentasikan oleh Patrick Wall. Kita mengetahui bahwa hewan juga merasakan sakit fisik, namun yang masih kurang jelas adalah apakah hewan juga merasakan penderitaan emosional yang manusia rasakan. Dan jika mereka juga merasakannya, bagaimana kita bisa mengukurnya?

Sebagai emosi subjektif, rasa sakit dapat dialami bahkan tanpa adanya kerusakan jaringan fisik, dan tingkat perasaan dapat dimodifikasi oleh emosi lain termasuk rasa takut, memori, dan stres. Rasa sakit juga memiliki dimensi yang berbeda, yang sering digambarkan dalam hal intensitas, tetapi ia juga memiliki “karakter”. Misalnya, rasa sakit dari tusukan pin akan sangat berbeda dari sakit gigi, terkilir, atau nyeri persalinan. Hampir semua dari kita telah mengalami rasa sakit dalam hidup kita, tetapi bagi setiap orang, pengalaman tersebut merupakan keunikan pada tiap-tiap individu.

Untuk memahami atau mengapresiasi rasa sakit dari pihak lain, kebanyakan kita hanya mengandalkan apa yang mereka laporkan. Namun ada banyak subjek yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal tentang rasa sakit mereka, bayi misalnya, atau secara efektif, seperti orang-orang dengan demensia atau keterbelakangan mental. Dalam situasi ini, orang lain harus menggunakan berbagai faktor untuk menilai adanya rasa sakit dan dampaknya pada individu tersebut.

Rasa sakit memang tidak sepeuhnya buruk, karena itu berfungsi sebagai pelindung, yakni untuk menjaga kita dari bahaya lebih lanjut, untuk membantu kita dalam penyembuhan, misalnya dengan menghentikan kita dari menempatkan benda berat pada pergelangan kaki yang terkilir. Namun jika tidak dikelola secara efektif dapat memiliki dampak negatif yang besar pada kehidupan kita dengan menginduksi perasaan takut, marah, kecemasan atau depresi, semua emosi yang pada gilirannya memperburuk hal itu. Dan sakit kronis merupakan perhatian utama bagi jutaan orang di seluruh dunia.

Rasa sakit pada hewan

Sifat dari rasa sakit mungkin lebih kompleks pada hewan. Bagaimana rasa sakit tersebut dirasakan dan proses fisik di baliknya adalah sangat mirip dan telah dipelajari dengan baik pada mamalia dan manusia. Ada juga banyak kesamaan dalam perilaku rasa sakit di seluruh spesies, misalnya mereka mungkin berhenti bersosialisasi dengan orang-orang dan atau dengan hewan lain, mereka mungkin makan lebih sedikit, mereka bisa lebih bersuara lantang, dan detak jantung mereka akan meningkat. Kapasitas hewan dalam menahan penderitaan sebagai makhluk hidup memang telah banyak diabadikan pada hukum di banyak negara, namun kita masih tidak mengerti dengan baik bagaimana sebenarnya proses mereka mengalami rasa sakit.

Beberapa aspek dari pengalaman dan ekspresi rasa sakit hewan tidak mungkin sama seperti pada manusia. Pertama, hewan tidak bias secara verbal mengomunikasikan rasa sakit mereka. Anjing mungkin menyalak dan Anda mungkin melihat perubahan perilakunya, namun bagaimana dengan hewan peliharaan seperti kelinci, kucing, kura-kura, atau kuda? Hewan mengandalkan pengamatan manusia untuk mengenali rasa sakit dan untuk mengevaluasi tingkat keparahan dan dampaknya. Tanpa kemampuan untuk memahami kata-kata yang menenangkan yang menjelaskan bahwa setelah operasi untuk memperbaiki patah tulang, rasa sakit mereka akan dapat diatasi dan akan mereda, hewan tentunya juga lebih menderita ketika mengalami rasa sakit itu dibandingkan dengan kita.

Perdebatan seputar kapasitas hewan mengalami rasa sakit dan penderitaan terus berkecamuk sepanjang abad ke-20. Namun seiring dengan kita mengembangkan pemahaman yang lebih besar tentang rasa sakit dan mempelajari dampaknya pada aspek kehidupan hewan yang bisa kita ukur, kami selaku ahli bedah hewan, bersama dengan banyak ilmuwan perilaku hewan, mengakui dampak signifi kan dari rasa sakit yang tidak diobati, dan kami sekarang percaya pengalaman ini menyebabkan para hewan tersebut menderita.

Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa hewan dan burung dengan tanda-tanda nyeri secara klinis (misalnya berjalan pincang) akan memilih untuk makan makanan yang mengandung obat penghilang rasa sakit (analgesik) dibandingkan makanan yang tidak diberi obat, dan dengan mengamati perilaku mereka seiring waktu, mereka akan terus bertambah pulih.

Demikian pula, banyak penelitian dalam berbagai hewan domestik telah menunjukkan bahwa hewan yang telah menjalani operasi namun tidak memiliki pereda rasa sakit yang memadai menunjukkan perilaku yang mencerminkan rasa sakit yang diringankan ketika mereka diberi analgesik seperti morfin.

Kita juga mengetahui bahwa bukan hanya anjing dan kucing yang bisa menderita sakit, ada dasar bukti yang sama kuat untuk kehadiran dan dampak negatif dari rasa sakit pada domba, sapi, babi, dan kuda, di antara spesies lainnya. Akan tetapi mengakui rasa sakit berbagai spesies ini adalah bagian dari kompleksitas yang terkait dengan rasa sakit pada hewan.

Gangguan perilaku ini telah lama dikenal sebagai indikator potensi adanya rasa sakit pada hewan. Namun penting untuk mengenali bahwa setiap spesies memanifestasikan perilaku rasa sakit yang unik, terkait dengan gangguan perilaku dengan cara yang berbeda. Anjing dapat menjadi agresif, atau tenang, atau mungkin berhenti bersosialisasi dengan tuan mereka dan anjing lainnya. Domba, di sisi lain, dapat muncul justru saat diamati dengan santai.

Beberapa ekspresi rasa sakit, bagaimanapun, bersifat kekal. Sebuah makalah baru-baru ini membahas tentang kesamaan dalam beberapa fitur dari ekspresi wajah selama pengalaman asa sakit akut pada beberapa spesies hewan dan manusia.

Temuan ini dan banyak penelitian lainnya sedang dimasukkan ke dalam alat untuk mengevaluasi rasa sakit pada hewan, karena dalam pernyataan Lord Kelvin, ilmuwan besar Glaswegian penemu skala temperature Kelvin, “Ketika Anda tidak bias mengukurnya, ketika Anda tidak bisa mengungkapkannya dalam jumlah, Anda masih belum mengalami kemajuan tahap ilmu pengetahuan, apa pun materinya adalah mungkin untuk diukur”.

Jadi dalam rangka untuk mengobati dan mengelola rasa sakit secara efektif, kita harus bisa untuk mengukurnya.

Dan ada permintaan besar untuk alat ini. Glasgow Composite Pain Scale, sebuah alat sederhana yang pertama kali diterbitkan pada 2007 untuk mengukur rasa sakit akut pada anjing, telah diterjemahkan ke dalam 6 bahasa. Hal ini digunakan dalam praktek kedokteran hewan untuk mengukur rasa sakit guna mengobati secara efektif. Ini juga telah digunakan untuk mengevaluasi efektivitas obat analgesik baru yang sedang dikembangkan oleh perusahaan kesehatan hewan. Alat untuk mengukur dampak dari sakit kronis, seperti osteoarthritis, pada kualitas hidup anjing sekarang juga telah tersedia dan merupakan kemajuan yang signifi kan dalam mengelola kondisi kronis.

Sekarang ada upaya global untuk meningkatkan kesadaran terhadap rasa sakit pada hewan. Baru-baru ini, World Small Animal Veterinary Association meluncurkan Global Pain Council dan menerbitkan risalah untuk dokter hewan dan perawat hewan di seluruh dunia untuk mempromosikan pengakuan terhadap rasa sakit, pengukuran, dan pengobatan. Anjing mungkin merupakan teman terbaik manusia, tetapi bagi semua orang yang bekerja dengan merawat dan mengelola usaha dari hewan itu, dengan memahami bagaimana para anjing mengalami rasa sakit adalah hal penting untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. (Osc/Yant)