Beijing Membatasi Aplikasi Paspor, Memaksa Pemakaian Produk Dalam Negeri sebagai Tanda-Tanda Menuju Isolasi Negara ?

 oleh Chen Han

Seorang mantan pejabat AS mengungkapkan kepada Reuters bahwa pada 14 Mei tahun ini, Kementerian Keuangan Tiongkok bersama Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi Tiongkok  mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 551, yang diberi judul “Pedoman Peninjauan Pengadaan Barang Impor untuk Pemerintah”.

SE tersebut telah dikirim ke semua rumah sakit, perusahaan dan bagian logistik milik negara lainnya. Isi SE menghendaki industri dalam negeri Tiongkok ikut mendorong pencapaian 25 hingga 100% tingkat penggunaan produk buatan lokal, khususnya mewajibkan penggunaan ke-315 jenis produk yang tertera dalam SE. 

Produk-produk tersebut meliputi peralatan medis, peralatan radar darat, mesin inspeksi, instrumen optik, produk peternakan, peralatan seismik, peralatan untuk maritim, geologi dan geofisika.

Komentator Tiongkok, Tang Jingyuan kepada NTD mengatakan “Pemerintah komunis Tiongkok telah mengendalikan sejumlah besar perusahaan milik negara, termasuk rumah sakit besar dan lainnya. Meskipun entitas-entitas ini “dikuliti” dengan badan usaha yang manajemennya berhak mengelola faktor-faktor produksi, tetapi “dalamnya” sebenarnya adalah entitas yang dikontrol secara ketat oleh pemerintah komunis Tiongkok, ia hanya merupakan perpanjangan tangan rezim. Oleh karena itu, persyaratan pengadaan ini sama saja dengan memaksa sebagian besar perusahaan untuk tidak membeli produk Amerika, yang setara dengan negara yang memboikot barang-barang buatan AS”.

Mantan pejabat AS mengatakan bahwa, sebelum komunis Tiongkok bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WHO), pernah berjanji untuk tidak merilis dokumen serupa ini. Pemerintah komunis Tiongkok sekarang selain melanggar janjinya pada saat itu, tetapi juga merusak semangat perjanjian perdagangan tahap pertama yang dicapai dengan Amerika Serikat pada Januari 2020.

Tang Jingyuan mengatakan : “Justru karena melanggar semangat perjanjian ini, Beijing tidak berani secara terbuka mengungkapkan surat edaran ini, kecuali menerapkannya secara diam-diam. Perilaku ini dapat dikategorikan sebagai perilaku premanisme. Artinya, mereka tidak pernah mau secara sungguh-sungguh mematuhi kesepakatan atau aturan apa pun”.

Dalam perjanjian perdagangan tahap pertama yang ditandatangani pada era Presiden Donald Trump, rezim Beijing berkomitmen membuka pasar, meningkatkan hambatan non-tarif, dan memperbaiki kurangnya dalam hal transparansi.

Frank Tian Xie, ​​​​seorang profesor dari Aiken School of Business di University of South Carolina, AS mengatakan : “Sebelum bergabung dengan WTO, komunis Tiongkok sudah berjanji membuka pasar dan mengizinkan akses pasar, yakni melonggarkan persyaratan akses ke pasar. Memberlakukan tarif yang lebih rendah. Kami jadi tahu mengapa perang dagang komunis Tiongkok – AS bisa pecah, itu karena semua janji yang dibuat oleh Beijing di WTO belum ada yang terpenuhi. Inilah sebabnya mengapa Amerika Serikat mengatakan tidak lagi memperlakukan Tiongkok sebagai ekonomi bebas, dan tidak akan memperlakukannya sebagai negara mitra yang benar-benar mematuhi perjanjian perdagangan”.

Frank Tian Xie menjelaskan bahwa, cadangan devisa yang dimiliki komunis Tiongkok sekarang sudah sangat menipis. Instruksi yang memaksa penggunaan produk dalam negeri ini adalah tindakan yang sangat menghambat pasar, jelas bertujuan untuk menghemat devisa.

Selain itu, penerapan perintah tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah komunis Tiongkok lagi-lagi melanggar perjanjian perdagangan bebas, dan dengan sengaja menghambat masuknya produsen asing ke pasar mereka. Hal ini juga dapat memicu balasan dari negara lain. Negara lain juga dapat membatasi ekspor komoditas dari Tiongkok. Dengan kata lain, pembatasan impor oleh pemerintah komunis Tiongkok sekaligus berdampak terhadap memukul ekspornya sendiri, yang dapat memukul perdagangan secara keseluruhan. Jadi, tampaknya rezim Beijing ini sedang melangkah lebih jauh menuju arah sebagai negara terisolasi. 

Pemerintah komunis Tiongkok selain membatasi perusahaan dalam negerinya untuk memasok produk asing, tetapi juga melarang warganya meninggalkan daratan Tiongkok. Pada 30 Juli, pihak imigrasi Tiongkok mengumumkan bahwa, pihaknya telah menangguhkan penerbitan paspor bagi warganya yang ke luar negeri non-darurat, alasan yang dipakai adalah untuk mencegah epidemi.

Tang Jingyuan mengungkapkan : “Permintaan semacam ini menunjukkan bahwa di satu sisi menunjukkan rezim Beijing tidak percaya pada vaksin domestiknya sendiri, jika tidak, mengapa mereka tetap khawatir terhadap keberangkatan warganya yang sudah menerima vaksinasi lengkap ke luar negeri ? Pada saat yang sama, tujuan menghentikan penerbitan paspor bagi warga juga menyangkut masalah ekonomi negara. Secara khusus, devisa menjadi semakin berharga bagi rezim karena sedang menipis. Oleh karena itu, kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengeluaran menjadi suatu keharusan. Jadi, melarang warganya ke luar negeri sebenarnya juga bisa dikatakan sebagai bagian dari upaya mengurangi pengeluaran devisa”.

Dalam beberapa bulan terakhir, banyak warga daratan Tiongkok yang menyampaikan keluhan lewat Internet, menyebutkan bahwa mereka selain tidak dapat mengajukan paspor baru, tetapi paspor yang kedaluwarsa juga tidak dapat diperpanjang di kedutaan Tiongkok di luar negeri. Bahkan beberapa paspor warga dipotong oleh petugas imigrasi di bandara.

Bagi Tang Jingyuan, “Karena pelarian warga semacam ini selain menyebabkan arus keluarnya dana domestik, juga membawa pukulan besar bagi reputasi politik rezim komunis Tiongkok. Xi Jinping saat ini sedang membentuk dan mempromosikan apa yang ia anggap dan percaya bahwa “sistem terpusat lebih unggul daripada sistem demokrasi”. Maka Jika sejumlah besar warganya terus melakukan eksodus, maka sangat tidak menguntungkan baginya untuk mempromosikan anggapannya, apalagi untuk merealisasikan angan-angannya yang berupa membangun tatanan internasional baru. “

Dari Januari hingga Juni 2021, pihak berwenang komunis Tiongkok hanya menerbitkan 2%, yakni 335.000 buku paspor dari total paspor yang diterbitkan dalam waktu yang sama pada tahun 2019. 

Tang Jingyuan berpendapat bahwa, pemerintah komunis Tiongkok mungkin menggunakan alasan epidemi untuk menutup pintu gerbang negara, mencegah banyaknya warga yang menggunakan cara berbisnis atau berwisata untuk kabur dari daratan Tiongkok. (sin)