Kisah Seorang Bocah yang Mencuri Kopi Hanya untuk Menyenangkan Ayahnya

ETIndonesia-Musim dingin tahun 1961, itu adalah musim dingin yang sangat dingin baginya, ketika ayahnya yang supir truk mengalami kecelakaan, dan kehilangan salah satu kakinya, itu berarti dia harus berjalan dengan tongkat kruk sejak itu. Selain itu juga pertanda sang ayah kehilangan pekerjaannya dan keluarganya kehilangan sumber pendapatan.

Di atas meja yang disajikan setiap hari adalah daun sayuran hasil pungutan ibu dan kopi yang didiskon, adalah makanan yang sulit ditelan.

Ayah yang kehilangan pekerjaannya, sama seperti kehilangan kepercayaan diri dan keberaniannya untuk hidup, setiap hari menenggak minuman keras untuk menghilangkan tekanan bathinya, dan menjadi pecandu minuman keras.

Selama anak itu membantah, maka sang ayah pun naik pitam dan cambuk adalah makanannya sehari-hari anak itu.

Pada malam Natal saat berusia 12 tahun kala itu, setiap rumah dihiasi dengan kerlap kerlip lampu natal dan aroma makanan lezat.

Hanya ibunya yang bermuram durja karena gagal mendapatkan pinjaman uang, ayahnya pun naik pitam, mencaci-maki, mengatakan ibunya bodoh.

Ibu yang tidak berdaya, terpaksa harus menyuruh anak-anaknya bermain di jalanan. Perut ketiga bocah yang berbunyi minta diisi itu melihat berbagai barang dagangan di depan sebuah kedai.

Dan sebuah ide tiba-tiba terbersit dalam benaknya, dia menyuruh kedua adiknya pulang dulu ke rumah, sementara dia sendiri terus menatap kemasan kopi yang indah itu, dia ingin membuat senang ayahnya sejenak.

Dia pun menunggu kesempatan yang tepat, dan dengan cepat mengambil kaleng kopi itu dan diselipkan ke dalam mantel, tapi sayangnya, aksinya dilihat oleh pemilik kedai. Pemiliknya berteriak, dan dia pun langsung kabur, berlari sekencangnya.

Dia mengira telah menyingkirkan si pemilik kedai yang mengejarnya, lalu pulang untuk memberi kopi itu kepada ayahnya.

Ayahnya tampak senang melihat kopi itu, dan segera membuka kaleng kopi itu, samar-samar tercium aroma harum kopi menusuk hidungnya, sebelum sempat mencicipinya barang seteguk, pemilik kedai masuk ke rumah, dan sudah bisa ditebak, bocah itu pun digebuk ayahnya lagi setelah aksinya terbongkar.

Baginya, itu adalah malam Natal yang tak terlupakan.

Belakangan, dia studi di Northern Michigan University, untuk menghemat biaya perjalanan, dia tidak pulang semasa kulih, dia memanfaatkan waktu luang/liburnya untuk bekerja.

Hari itu, ibu menelepon dan bilang bahwa ayah merindukannya, ingin menemuinya. Dia tidak pernah menyangka ayahnya bisa mengatakan hal seperti itu.

Saat itu dia sibuk sedang negosiasi dengan seorang kliennya, lalu menolak permintaan ibunya.

Dua minggu kemudian, saat pulang ke rumah, dia baru tahu kalau ayahnya telah meninggal.

Ketika merapikan barang-barang peninggalan ayahnya, dia melihat satu drum yang dipenuhi dengan butiran kopi, dan itu adalah kopi kaleng yang dicurinya saat baru berusia 12 tahun kala itu.

Di atas tutup drum itu terukir tulisan ayahnya : “Hadiah dari anakku, malam Natal 1964”.

Selain itu juga sepucuk surat yang berbunyi: “Anakku yang terkasih, aku gagal sebagai sosok ayah yang baik, tidak bisa memberikan lingkungan hidup yang baik, tapi aku juga punya mimpi, dan mimpi terbesarku adalah memiliki kedai kopi, yang akan menggiling dan menyeduh kopi harum untukmu saat santai. Namun, harapan ini tidak bisa diwujudkan lagi, ayah do’akan semoga engkau memiliki kebahagiaan itu.”

Caci-maki dan cambukan masa lalu itu telah menjadi kenangan yang berharga, rasa sedih tiba-tiba merasuk segenap jiwanya.

Istrinya, Sheri (Kersch) Schultz memberi semangat dengan mengatakan : “Kalau memang keinginan ayahmu adalah membuka kedai kopi, kita wujudkan saja keinginannya !”

Secara kebetulan, sebuah kedai kopi di Seattle ingin dijual, dan tak disangka dia pun mengundurkan diri dari gaji tahunannya sebesar 75.000 dolar AS (lebih dari satu miliar), dan membeli kedai kafe itu, dan hanya dalam waktu dua puluh tahun kedai kopi kecilnya berkembang menjadi perusahaan multinasional.

Itulah Starbucks yang kemudian terkenal di seluruh dunia, dan dia adalah Howard Schultz, si bocah miskin yang membeli mimpi itu dengan aksi nyata.

Pesan dalam cerita : Mimpi itu jauh, tapi juga dekat. Jika Anda bekerja keras dan membayarnya dengan keringat, menerima cemohan, menerima penghinaan, maka mimpi itu akan sangat dekat dengan Anda, tak ada yang tidak bisa dilakukan, hanya tak terpikirkan.

Namun, jika Anda tidak berjuang, sudah pasti tidak ada hasilnya meski setetes pun. Dan tentu saja, mimpi itu jauh tak terjangkau.

Tidak ada kesuksesan yang bisa diraih semudah membalikkan telapak tangan, hanya dengan kegigihan dan tekat yang tak tergoyahkan, serta kegetiran yang tidak diketahui.(jhn/yant)

Apakah Anda menyukai artikel ini? Jangan lupa untuk membagikannya pada teman Anda! Terimakasih.