Pakar Memperkirakan Taliban Cenderung Akan Melanjutkan Perdagangan Narkoba yang Menguntungkan

Rachel Brooks

Pengambilalihan Taliban atas sebagian besar Afghanistan, kelompok tersebut diperkirakan siap untuk mengendalikan perdagangan opium dan heroin yang bernilai miliaran dolar di Afghanistan

Afghanistan adalah pemasok opiat ilegal terbesar di dunia, di mana  U.N. Office on Drugs and Crime -UNODC- memperkirakan Afghanistan menyumbang 80 persen pasokan opium dan heroin global.

Sejak mengambil alih kekuasaan di Kabul, Taliban mengindikasikan pihaknya akan melarang perdagangan narkoba. Tetapi, karena Taliban berupaya mengamankan arus kas untuk mempertahankan sebuah rezim yang baru, para analis yakin bahwa perdagangan narkoba yang sudah ramai di Afghanistan akan terus tumbuh.

Narkotika Terselubung

Taliban memanfaatkan perdagangan opium dan heroin yang terlarang untuk kepentingan keuntungan ekonominya sendiri, sejak Taliban terbentuk dan naik ke tampuk kekuasaan pada awal hingga pertengahan tahun 1990-an.

“Taliban menganggap dirinya adalah Muslim yang taat. Tetapi, ketika Taliban menanam dan mengekspor opium, Taliban tidak memiliki sebuah masalah,” kata Terry Blevins, kepala staf eksekutif ARMAPLEX Security dan seorang mantan sersan polisi.

Sementara, kelompok teroris tersebut telah mengubah narasinya seputar perdagangan narkotika di masa lalu, Taliban tetap konsisten menggunakan narkoba untuk mendanai operasinya, menurut Jason Li, seorang rekan peneliti di Program  Asia Timur di  Stimson Center.

Perkiraan pendapatan tahunan Taliban dari perdagangan narkoba berkisar dari puluhan juta dolar Amerika Serikat hingga 400 juta dolar Amerika Serikat, menurut sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana penghasilan Taliban dari memungut pajak atas produksi opium, laboratorium heroin, dan para pedagang narkoba. 

Sebuah laporan Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan pada tahun 2018 mengatakan, bahwa peredaran gelap narkotika mencapai 60 persen pendapatan tahunan Taliban.

Dengan kemungkinan kembalinya kekuasaan, Taliban dapat mengambil sebuah sikap resmi  mirip dengan sikap yang diambilnya pada tahun 2000, ketika Taliban melarang perdagangan opium di Afghanistan dengan harapan diakui oleh dunia masyarakat internasional, kata Jason Li. Taliban akhirnya mengubah sikap ini setelah reaksi balik yang populer terhadap kebijakan tersebut.

Tetapi, bahkan jika Taliban mengadopsi sebuah narasi publik semacam itu untuk menenangkan negara-negara lain, Jason Li yakin perdagangan opium yang ilegal di Afghanistan akan tetap tidak terpengaruh.

Baru-baru ini, Wall Street Journal melaporkan bahwa para pemimpin Taliban mengatakan kepada petani setempat untuk berhenti membudidayakan bunga-bunga opium, setelah pada 18 Agustus seorang juru bicara  berjanji, bahwa sebuah rezim baru di bawah Taliban tidak akan memberikan sanksi terhadap perdagangan narkoba.

“Perdagangan opiat yang terlarang dari Afghanistan cenderung akan berlanjut–—secara terselubung dan perlindungan yang kurang resmi. Produksi haram tidak dibatasi di bawah rezim Ashraf Ghani yang didukung Amerika Serikat,” kata Jason Li, yang mengacu pada bekas pemerintahan Afghanistan yang runtuh ketika Presiden Ashraf Ghani meninggalkan Kabul.

Jason Li menunjukkan bahwa, menurut UNODC, keuntungan dari opium dan heroin telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. 

“Hal itu memiliki maksud penting untuk bagaimana  Taliban akan membingkai sikapnya terhadap aliran obatan terlarang untuk mencari pengakuan internasional,” tambahnya.

Sementara Taliban berisiko mendapat reaksi global yang kuat, jika Taliban mendukung perdagangan obatan terlarang, para analis memperkirakan sebuah kenaikan dalam produksi karena Taliban memandang untuk  mengamankan sumber pendanaan.

“Sebagian besar ahli yakin akan ada sebuah peningkatan produksi narkoba yang drastis,” kata Terry Blevins.

Narkoba yang Berakhir di Eropa

Pengambilan keuntungan oleh Taliban dari perdagangan opium telah membantu mendorong krisis narkoba di Barat.

“Sebagian besar opium yang dibuat di Afghanistan dijual ke Eropa,” kata Gary Hale, mantan kepala intelijen di Houston Drug Enforcement Agency -DEA-, mencatat bahwa lebih dari 90 persen opium Afghanistan berakhir di Eropa. Hanya sekitar 1 persen pasokan heroin di Amerika Serikat berasal dari Afghanistan, menurut DEA.

Gary Hale mencatat bahwa DEA, dapat menentukan di mana heroin yang dihasilkan Afghanistan dikirim. Dikarenakan, intelijen pemerintah menganalisis tanda kimia dari berbagai tingkat opium jalanan, dan ciri khas kimianya yang unik untuk opium Afganistan telah dilacak terutama pada narkoba yang dijual di Eropa.

“Sebuah konsekuensi yang tidak terduga dari pendapatan yang dihasilkan dari penjualan opium di Eropa adalah bahwa sebagian besar dari pendapatan itu digunakan untuk tujuan teror,” kata Gary Hale. 

Gary Hale mengatakan Taliban menggunakan hasil penjualan narkotika ilegal di dunia Barat, untuk menyediakan organisasi tersebut dengan pelatihan dan senjata.

Selama perang di Afghanistan yang dipimpin Amerika Serikat dari tahun 2001, menghancurkan perdagangan narkotika Taliban adalah sebuah perhatian utama untuk misi Amerika Serikat, yang berusaha membatasi kemampuan Al Qaeda, Taliban, dan kelompok teroris lainnya untuk menargetkan Amerika Serikat.

“Setelah tragedi 9/11, 75 hingga 100 agen-agen DEA dan tim pendukung penasihat yang ditempatkan di luar negeri dikirim untuk menemukan lokasi pasar heroin di Afghanistan,”kata Gary Hale. 

Gary Hale menambahkan bahwa pentingnya produksi narkoba bagi pejuang digunakan untuk membenarkan  kehadiran agen DEA di wilayah itu, pada waktu itu.

Sulit untuk Membatasi Aliran

Karena kekuatan Barat masih bergulat dengan maksud keamanan dari kedaruratan Afganistan yang dikuasai Taliban, sebuah perdagangan narkoba yang lebih kuat dan cepat mungkin memperumit langkah lebih lanjut.

Dari tahun 2002 hingga 2017, Amerika Serikat menghabiskan 8,6 miliar dolar AS sebagai upaya memotong akses Taliban ke perdagangan yang menguntungkan itu, yang mencakup pemberantasan opium, serangan udara, dan penggerebekan di laboratorium narkoba, menurut laporan Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan tahun 2018. Tetapi Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan mencatat, upaya itu terbukti sia-sia, karena Afghanistan masih menjadi pusat produksi dan perdagangan opium ilegal yang utama.

Terry Blevins mencatat bahwa upaya kontra-narkotika global sekarang, menghadapi tantangan besar mengingat penyebaran berbagai obat-obatan terlarang di Barat.

“Munculnya lebih banyak produk ilegal di pasar lebih mempersulit untuk membuat kemajuan reformasi kebijakan narkoba,” kata Terry Blevins.

Sementara Barat tidak akan terlihat ramah pada Taliban yang mendukung sebuah perdagangan obat-obatan terlarang, hal ini mungkin tidak berlaku untuk tetangga Afghanistan, yaitu Tiongkok dan Rusia.

“Tiongkok, seperti halnya Rusia, berusaha untuk melemahkan Amerika Serikat di setiap kesempatan, jadi Rusia dan Tiongkok bergerak dengan cepat untuk mengembangkan hubungan dengan Taliban untuk sejumlah alasan geopolitik,” kata Gary Hale.

Sementara rezim Komunis Tiongkok belum mengakui Taliban, para pejabat dan media pemerintah telah mempertahankan sebuah sikap bersahabat terhadap Taliban. 

Menurut para analis, pelukan Beijing untuk Taliban, sebagian disebabkan oleh peluang di bidang ekonomi Afghanistan menghadirkan Komunis Tiongkok. Tetapi lebih yang penting, Beijing mencari Taliban untuk memastikan Taliban tidak menyembunyikan  pemberontak yang bertekad menyerang wilayah Xinjiang Tiongkok, sebuah kepedulian yang utama bagi rezim komunis Tiongkok.

“Meskipun Tiongkok dan Rusia tidak akan secara langsung membenarkan atau mendukung penyelundupan narkoba keluar dari Afghanistan, Tiongkok dan Rusia akan menutup mata terhadap produksi dan distribusi heroin Afghanistan,” kata Gary Hale. (Vv)