Kereta Cepat Jakarta-Bandung dari Percontohan Proyek OBOR, Biaya Membengkak Hingga Akhirnya Pakai Uang dari Pajak Rakyat

ETIndonesia- Groundbreaking kereta cepat Jakarta-Bandung dilakukan secara langsung oleh Presiden Jokowi di Perkebunan Maswati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat pada Kamis (21/1/2016).

Untuk menggarap proyek ini sudah dibentuk PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) pada 2015 lalu yang menjadi sebagai perusahaan patungan antara konsorsium BUMN dengan perusahaan Tiongkok. Ketika itu, skema business to business (B2B) dijadikan sebagai pijakan.

Sebut saja PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), PT KAI, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara atau PTPN VIII adalah perusahaan negara yang tergabung dalam konsorsium itu dengan  konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co.Ltd.

Awalnya proyek ini dilakukan studi kelayakan oleh pihak Jepang. Akan tetapi, justru  investor dari Tiongkok yang dipilih. Saat itu sebagai donator adalah Japan Internasional Corporation Agency (JICA) yang berpengalaman menggarap banyak proyek di Indonesia.

Dilansir dari situs Sekretariat Kabinet, Presiden Jokowi saat Groundbreaking menegaskan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak menggunakan APBN dan  jaminan dari pemerintah.

BACA JUGA : Menimbang Proyek OBOR Tiongkok di Indonesia, Mengundang Jebakan Petaka Utang atau Apa?

Pada kesempatan itu, Jokowi mengatakan APBN akan dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur di luar Jawa. Anggarannya akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur di luar Jawa, baik jalan tol di Sumatera, baik kereta api antara Makassar sampai Manado.

Pada 2017, disepakati Facility Agreement Pembiayaan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Beijing, Tiongkok antara PT KCIC dengan China Development Bank. Kesepakatan tersebut disaksikan secara langsung oleh Jokowi dan Xi Jinping. Demikian yang tercantum di situs resmi PT KCIC.

Proyek kereta cepat yang awalnya  hanya dengan nilai investasi sebesar USD 5,5 miliar itu, disebut oleh Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xie Feng yang dikutip oleh BBC Indonesia pada 2015 lalu, “Sepenuhnya unsur Tiongkok”, yaitu dalam standar, teknologi dan peralatan.

Bahkan,  proyek kereta cepat ini disebut  bisa menjadi proyek percontohan dari inisiatif One Belt One Road (OBOR).  Hal demikian mengemuka saat diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi One Belt One Road (OBOR) di Beijing, 14-15 Mei 2017. Presiden Jokowi langsung menghadiri forum tersebut.

BACA JUGA : Proyek OBOR Komunis Tiongkok Tinggalkan Utang Hingga Reruntuhan bagi Banyak Negara Afrika Sampai ke Montenegro

Seiring berjalan waktu, nilai investasi proyek kereta cepat kemudian membengkak menjadi USD 6,071 Miliar atau  Rp 86,5 triliun. Lalu kembali mengalami cost overrun atau pembengkakan hingga menjadi USD 8,6 miliar. Artinya dari semula Rp 86,5 triliun kini menjadi Rp 114,24 triliun. Walhasil, uang proyek melonjak sebesar Rp 27,09 triliun.

Hingga akhirnya proyek ini digarap dengan menggunakan uang dari pajak rakyat alias APBN. Itu setelah Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) No.93/2021 tentang Perubatan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Saranan Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.

“Pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat berupa pembiayaan dari APBN dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal,” demikian isi Pasal 4 ayat 2.

Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu kepada detik.com menuding proyek kereta cepat Jakarata-Bandung adalah jebakan utang rezim Tiongkok. Ia menilai proyek tersebut tidak layak dan modal tidak akan kembali. Lebih parah lagi, ketika utang sudah tidak bisa dibayar maka Tiongkok meminta kompensasi dengan infrastruktur lainnya dan memang seperti itu karakter rezim Tiongkok.

Didu juga mengungkapkan bahwa Menteri Perhubungan Ignasius Jonan tak setuju atas pembangunan proyek itu. Kala itu, Jonan pernah mengungkapkan tak bisa menerbitkan izin pembangunan karena ada persyarakat yang tak bisa dipenuhi PT KCIC.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada Kompas.com mengatakan ketika proyek Kereta Cepat didanai oleh APBN, berarti bisa mengancam alokasi dana pemerintah di proyek-proyek yang ada di luar Jawa.

Bhima juga mengungkapkan tentang adanya peningkatan beban utang pemerintah. Hingga akhirnya, kesulitan melanjutkan proyek ini menyita pajak masyarakat yang ditambah dengan utang baru.

Sedangkan Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Nevi Zuairina menilai ada masalaha besar ketika ada pembengkakan biaya sebesar 1,9 miliar dolar AS pada proyek kereta cepat. Negara, kata dia, mesti menunaikan janjinya untuk tidak melibatkan sepeserpun APBN atau mencoba mencari solusi lainnya.

Legislator asal Sumatera Barat itu, mengatakan  uang negara sangat besar ini semestinya dapat digunakan untuk mempercepat mengatasi pandemi dan mengembalikan perekonomian rakyat yang mayoritas terpuruk dihantam pandemi.

Nevi menegaskan, semestinya investasi kereta cepat dapat diperhitungkan secara matang. Pasalnya, proyek ini sangat besar menelan biaya. Jangan sampai pemerintah turun tangan menyelesaikan dengan menggelontorkan dana dari APBN ketika bermasalah seperti kasus PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sekarang.

Oleh karena itu, Nevi menyerukan agar segera dilakukan investigasi sehingga persoalannya tak terus berlarut-larut. Ia juga menuntut proyek tersebut seharusnya lebih transparan.

“Saya mengusulkan, kalau perlu didesak agar audit dan investigasi proyek kereta cepat segera dilakukan sehingga persoalan yang terjadi cepat dapat diselesaikan. Transparansi sangat penting dimunculkan agar rakyat pun dapat membantu mengawasi dengan rigid proyek yang melibatkan negara luar masuk dalam investasi ini,” tuturnya dalam siaran pers.

Lebih jauh, istri mantan Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno itu mengungkapkan hampir setiap tahun dana Penyertaan Modal Negara  (PMN) diberikan kepada BUMN. Akan tetapi, anggarannya justru menguap. Padahal, BUMN seharusnya memberikan keuntungan bagi Negara, malahan menjadi beban keuangan negara.

“Pembangunan proyek baik jalan tol, kereta cepat dan lain-lain belum prioritas di masa pandemi dan rakyat sedang menderita. Pemerintah seharusnya berani menunda proyek-proyek yang belum prioritas, untuk lebih fokus pada program kerakyatan menyelesaikan pandemi sampai tuntas dan mengembalikan perekonomian rakyat yang semakin hari semakin terpuruk,” pungkasnya. (asr)