Perang Manakah yang Disiapkan oleh Beijing?

oleh James Gorrie

Bukan rahasia lagi  Beijing sedang mempersiapkan perang.

Salah satu alasan utamanya adalah runtuhnya ekonomi Tiongkok secara dramatis. Runtuhnya perusahaan pengembangan real estat Evergrande baru-baru ini hanyalah yang terbaru dari serangkaian gejala yang mengerikan yang memicu meningkatnya ketidakpuasan domestik. 

Krisis utang sebesar  8 triliun dolar AS dalam ekonomi bayangan”–lebih dari setengah Produk Domestik Bruto Tiongkok-”juga menjulang besar dalam kemampuan Tiongkok untuk menjaga sistem keuangannya terhindar dari utang. Populasi yang menua dan kurang produktif, biaya produksi lebih tinggi, dan menghindari investasi asing semuanya mengakibatkan penurunan Produk Domestik Bruto Tiongkok.

Kekuatan Tiongkok Telah Memuncak

Kenyataannya, kekuatan ekonomi Tiongkok sudah menurun.

Tentu, statistik dapat disesuaikan, tetapi hal itu tidak mengubah kenyataan. Penurunan ekonomi yang menyeluruh ini mendorong Partai Komunis Tiongkok untuk memberlakukan tindakan yang lebih ekstrim dan lebih menindas terhadap orang-orang dan dunia bisnis. Tanggapan Partai Komunis Tiongkok hanyalah memperburuk kinerja ekonomi dan kerusuhan sipil.

Bersamaan dengan itu, rezim di Beijing telah menyesuaikan pengaturan internalnya pengaturan selama beberapa tahun. Misalnya,  Undang-undang Transportasi Pertahanan Nasional yang dibuatnya mulai berlaku pada 1 Januari 2017. Undang-undang tersebut merestrukturisasi kerangka hukum itu sendiri, menempatkan semua pelayaran komersial di bawah otoritas langsung Partai Komunis Tiongkok.

Secara eksternal, isolasi Tiongkok yang semakin dalam dari dunia jelas terlihat dan menggarisbawahi pemisahannya yang berkelanjutan dari ekonomi global dan norma perdagangan dan diplomasi internasional. Tren ini mungkin membuat sebuah invasi Taiwan cenderung lebih cepat daripada nanti, jika hanya untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestik Tiongkok.

Para ahli militer dan angkatan laut menyimpulkan bahwa Beijing berencana menggunakan kapal pengangkut komersial untuk membantu mengangkut hingga 2 juta tentara dalam sebuah invasi ke Taiwan.

Laporan berita terbaru tampaknya memastikan kesimpulan semacam itu. Media resmi Tiongkok, Global Times, semua tetapi mengakui tidak terelakkan, jika tidak dekat, invasi Taiwan.

Tiongkok bersiap untuk skenario terburuk–Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, termasuk Jepang, sedang meluncurkan sebuah intervensi militer habis-habisan untuk mengganggu reunifikasi nasional Tiongkok.

Jelas-jelas, perang atau ancaman perang ada di depan mata, dan semua bangsa di kawasan Asia-Pasifik mengetahuinya.

Menanggapi sikap Tiongkok yang semakin agresif, yang mencakup pengaturan pengiriman komersial, Taiwan dan negara-negara lain menambahkan lebih banyak kapal jarak jauh anti-rudal. Jepang, yang selama beberapa dekade telah mempertahankan sebuah kebijakan luar negeri yang menentang adanya perang, juga telah membuat sebuah perubahan besar-besaran dalam berpikir, menghubungkan keamanan Taiwan dengan keamanannya sendiri.

Dampak sebuah invasi Tiongkok ke Taiwan tidak akan hanya terbatas pada Taiwan saja. Jika invasi Tiongkok ke Taiwan itu terjadi, seperti Jepang, hal itu akan dirasakan oleh Amerika Serikat dan negara-negara lain sebagai sebuah ancaman strategis bagi keamanan nasionalnya sendiri.

Hal ini sebagian karena Taiwan menyediakan lebih dari 50 persen kebutuhan semikonduktor dunia yang diperlukan untuk pemrosesan data yang canggih, mobil-mobil, kecerdasan buatan, dan teknologi canggih lainnya. Tetapi sebuah invasi juga akan mengancam negara-negara demokratis di kawasan Asia-Pasifik, serta juga akan mengancam perdagangan dan  norma-norma hukum internasional.

Lebih Banyak Titik-Titik Pemicu

Tetapi Taiwan bukanlah satu-satunya titik pemicu. Tiongkok juga mengancam Kepulauan Senkaku yang tidak berpenghuni di Laut Tiongkok Timur, yang dianggap Jepang sebagai wilayahnya. Kepulauan Senkaku juga diklaim oleh Tiongkok dan Taiwan, dan dapat menjadi sebuah titik nyala untuk perang. Pemerintahan Joe Biden baru-baru ini meyakinkan Perdana Menteri Jepang yang baru, Fumio Kishida, bahwa Amerika Serikat akan Jepang Kepulauan Senkaku jika Tiongkok harus menyerang.

Dan, seperti yang disebutkan dalam sebuah artikel sebelumnya, Partai Komunis Tiongkok telah memperingati Australia. Andai Canberra memperoleh kapal-kapal selam bertenaga nuklir dari Amerika Serikat di bawah aliansi militer AUKUS baru-baru ini, Tiongkok akan menambahkan Australia sebagai sebuah target yang sah untuk serangan nuklir.

Korea Selatan telah menyatakan penentangan yang jelas terhadap ambisi Beijing di Taiwan. Dalam sebuah pernyataan bersama dengan Amerika Serikat, dan untuk pertama kalinya, Korea Selatan dan Amerika Serikat berkomitmen untuk membela aturan dan norma internasional di Laut Tiongkok Selatan dan Selat Taiwan. Keterusterangan pesan yang tidak biasa itu, adalah sebuah pengakuan akan ancaman segera yang ditimbulkan Tiongkok terhadap Taiwan dan wilayah Asia Pasifik.

Lebih jauh, pertempuran kecil antara militer Tiongkok baru-baru ini dengan India di Lembah Galwan pegunungan Himalaya, telah mengingatkan New Delhi akan kenyataan bahwa Tiongkok sedang mencari hegemoni yang terang-terangan terhadap tetangganya, di mana India adalah salah satunya. Hal ini telah mendorong India untuk secara strategis menyelaraskan diri dengan aliansi AUKUS yang dipimpin Amerika Serikat.

Partisipasi India baru-baru ini dalam latihan angkatan laut bersama Malabar di lepas pantai wilayah Amerika Serikat di Guam pada 26 -29 Agustus mengirimkan sebuah pesan yang jelas ke Beijing.

Kunci utama dari semua pengaturan ini, tentu saja, adalah Amerika Serikat. Meskipun Amerika Serikat masih mempertahankan sebuah keunggulan angkatan laut yang bermakna atas Tiongkok, apa yang kurang pasti adalah kemauan politik pemerintahan Joe Biden untuk menindaklanjuti komitmen militernya.

 Dengan mundurnya Amerika Serikat dari Afghanistan, pemerintahan Joe Biden dianggap lemah dan lebih peduli dengan masalah ekonomi dan sosial domestik daripada memproyeksikan kekuatan Amerika Serikat untuk melindungi tatanan internasional. Di seluruh dunia, kepercayaan pada kepemimpinan Amerika Serikat sedang surut.

Beijing tentu menyadari fakta-fakta ini, dan hal itu mungkin memengaruhi strategi Beijing sehubungan dengan Taiwan dan kawasan tersebut secara keseluruhan.

 Kepemimpinan Tiongkok mungkin telah menyimpulkan bahwa kelemahan pemerintahan Joe Biden, menimbulkan sebuah kesempatan yang unik untuk menguji tekad Amerika Serikat di kawasan tersebut.

Persepsi semacam itu akan membantu menjelaskan ancaman baru dan lebih besar terhadap Amerika Serikat yang berasal dari Beijing. Tetapi, kepemimpinan pribadi Xi Jinping dan kepemilikan Partai Komunis Tiongkok, ditambah dengan meningkatnya kegagalan domestik Tiongkok, pasti juga merupakan faktor yang berkontribusi.

Tiongkok lebih suka menghindari perang”–setidaknya sampai Tiongkok dapat menandingi militer Amerika Serikat mungkin di kawasan tersebut. Tetapi satu area yang dipimpin Amerika Serikat adalah teknologi rudal anti-kapal hipersonik. Daripada berbenturan dengan tetangganya, mungkinkah Partai Komunis Tiongkok merencanakan sebuah serangan terhadap pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat untuk mengusir Amerika Serikat dari kawasan tersebut?

Jika demikian, bagaimana reaksi Amerika Serikat? Bagaimana reaksi kawasan tersebut?

Apa pun yang kurang dari sebuah tanggapan penuh oleh Amerika Serikat terhadap sebuah serangan Tiongkok, akan berarti bahwa aliansi keamanan Asia-Pasifik yang dipimpin Amerika Serikat akan segera tidak ada lagi. Maka kemudian cenderung terserah masing-masing negara untuk membuat perdamaiannya yang terpisah dengan Beijing”–jika itu sebuah pilihan.

Hal itu akan sesuai dengan keinginan Komunis Tiongkok. (Vv)

James Gorrie adalah penulis buku The China Crisis