Pengiriman Vaksin COVID-19 oleh Militer Tiongkok: Mempraktikkan Soft Power

Richard A. Bitzinger

Tentara Pembebasan Rakyat sangat aktif dalam memproyeksikan Soft Power Tiongkok selama pandemi COVID-19.

“Armada mengikuti bendera,” kata pepatah kuno. Pepatah ini berakar pada argumen ahli strategi angkatan laut terkemuka abad ke-19, Alfred Thayer Mahan, yang berpendapat bahwa kekuatan laut bergantung pada perdagangan. 

“Perdagangan adalah raja,” tulisnya, dan angkatan laut bertindak untuk mendukung pelayaran niaga. Pandangan bahwa “perdagangan adalah raja” sangat menentukan pendekatan Tiongkok saat ini terhadap proyeksi kekuatan. 

Terbukti dalam dorongan Beijing untuk inisiatif-inisiatif yang berpusat pada Tiongkok seperti Inisiatif Belt and road. Khususnya, aspek berbasis laut dari rencana ini —– yang disebut Jalur Sutra Maritim—–sangat bergantung pada sebuah jaringan pelabuhan dan proyek infrastruktur pesisir lainnya, membentang dari Tiongkok ke Laut Mediterania.

Hal ini juga terlihat dalam pendirian pangkalan militer Tentara Pembebasan Rakyat yang pertama di luar negeri di Djibouti, sebuah negara kecil di Tanduk Afrika berlokasi strategis di dekat beberapa jalur pelayaran tersibuk di dunia.

Namun, terkadang armada mendahului bendera. Dengan kata lain, militer membuka jalan bagi—–atau yang lain melengkapi—–upaya sipil dan komersial untuk menjangkau negara-negara lain. Ini sering disebut “diplomasi militer,” juga dikenal sebagai Soft Power

Diplomasi militer datang dalam berbagai bentuk. Yang paling jelas adalah penjualan senjata, yang merupakan sebuah cara yang baik untuk memperkuat ikatan politik (serta militer) antara negara. Sebagian besar negara penghasil senjata–—Tiongkok termasuk–—menggunakan ekspor senjata sebagai sebuah alat politik.

Jenis diplomasi militer lainnya adalah MOOTW, kependekan dari “military assistance other than war” (diucapkan moot-wah) (“bantuan militer selain perang”). Usaha keras ini termasuk menjaga perdamaian, berpatroli di “global commons”—yaitu, melakukan operasi-operasi kontra-pembajakan atau kontra-terorisme di laut terbuka–—dan khususnya bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana.

Tentara Pembebasan Rakyat menjadi sangat aktif dan mahir dalam “bantuan militer selain perang” selama dekade terakhir. Misalnya, selama perang saudara tahun 2011, Tiongkok melakukan pengerahan operasi militer pertamanya ke Mediterania, serta evakuasi non-kombatan terbesar yang dilakukan Tiongkok. 

Operasi ini melibatkan pengerahan fregat Xuzhou Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat, bersama dengan empat pesawat angkut jarak jauh Il-76 Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat. Memanfaatkan ase militer ini, bersama dengan  kapal dagang sewaan dan pesawat, Tiongkok memindahkan 35.000 warganegara dari Libya.

Pada tahun 2015, Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat melakukan sebuah evakuasi serupa terhadap 600 warganegara Tiongkok dan lebih dari 200 orang asing dari Yaman.

Operasi militer non-perang juga telah memberikan Beijing–—dan oleh karena itu militer Tiongkok—–dengan alasan untuk meningkatkan kehadiran global Tiongkok. Tentara Pembebasan Rakyat  meningkatkan kontribusinya untuk operasi pemeliharaan perdamaian PBB, di mana lebih dari 2.600 personel terlibat dalam misi-misi di Mali, Republik Demokratik Kongo, Darfur, Lebanon, Liberia, dan Sudan Selatan. Selain itu, Tentara Pembebasan Rakyat terlibat dalam operasi keamanan bersama di Afghanistan dan operasi-patroli sungai anti-kejahatan di Sungai Mekong.

Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat berpartisipasi dalam upaya kontra-pembajakan internasional di luar pantai Somalia.

Setelah Topan Haiyan melanda Filipina pada tahun 2013, Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat mengirim kapal rumah sakitnya Peace Arc ke pulau-pulau tersebut.

Semakin, “bantuan militer selain perang” menjadi salah satu bentuk kekuatan lunak favorit Tiongkok, di samping alat-alat biasa (yaitu, perdagangan, investasi asing, dan pertukaran kebudayaan). Di tengah pandemi, militer Tiongkok menyediakan  berbagai alat pelindung diri seperti masker dan pakaian, ventilator, alat-alat uji, dan persediaan medis lainnya ke beberapa negara di seluruh dunia.

Tentara Pembebasan Rakyat juga melakukan sebuah misi selama satu tahun lebih ke Ethiopia, di mana personel medis Tiongkok membantu tentara Ethiopia mendirikan sebuah pusat pengujian dan perawatan COVID-19.

Tentara Pembebasan Rakyat sekarang terlibat dalam upaya transportasi vaksin buatan Tiongkok ke negara-negara yang sangat dipublikasikan ke seluruh dunia yang berkembang. Menurut Wall Street Journal, Tentara Pembebasan Rakyat mengirimkan vaksin ke sekitar puluhan negara di empat benua.

Menariknya, banyak dari pengiriman ini akan terlebih dahulu ke  personil militer negara-negara ini. Di Zimbabwe, misalnya, di mana kurang dari 20 persen penduduk sipil menerima vaksin COVID-19, sebenarnya ada surplus vaksin Tiongkok di antara militer Zimbabwe. 

Di Filipina, Ethiopia, dan Sudan, Tentara Pembebasan Rakyat membantu banyak sekali pasukan pertahanan negara tersebut menerima vaksinasi.

Secara khusus, prioritas diberikan kepada Afrika, dan untuk alasan yang baik. Di dalam tempat pertama, Afrika Sub-Sahara adalah salah satu pembeli terbesar persenjataan Tiongkok, dan Beijing menguasai sekitar sepertiga dari pasar persenjataan ini. Ini adalah sebuah alasan yang bagus, oleh karena itu, mengapa pembeli-pembeli utama senjata Tiongkok, seperti Zimbabwe, juga merupakan beberapa penerima utama pasokan vaksin yang disuplai Tentara Pembebasan Rakyat.

Beijing juga memiliki alasan ekonomi yang penting untuk memasok vaksin ke Militer Afrika. Tiongkok adalah pembeli utama minyak mentah dari Afrika, khususnya Sudan. Awal tahun ini, Tentara Pembebasan Rakyat mengirimkan 250.000 dosis vaksin COVID-19 untuk pasukan Sudan yang beroperasi di perbatasan dengan Sudan Selatan, di mana Tiongkok juga berpartisipasi dalam pasukan penjaga perdamaian PBB.

Juga, dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah menjadi mitra dagang terpenting untuk negara Afrika Sub-Sahara. Tiongkok telah menghasilkan investasi miliaran dolar di kawasan tersebut. Negara-negara seperti Zimbabwe dan Ethiopia adalah pemain utama di Inisiatif Belt and Road.

Secara alami, Beijing ingin mempertahankan dan memperkuat hubungannya dengan negara-negara di kawasan ini, dan terutama dengan militer negara di kawasan ini yang sering menggunakan kekuatan dan pengaruh yang sangat besar dalam politik-politik domestik (Myanmar, Sudan, dan Zimbabwe semuanya pernah mengalami kudeta militer di tahun-tahun terakhir). Menjual senjata dan secara langsung membantu militer setempat membantu Tiongkok melewati pemerintah sipil dalam membangun hubungannya dengan pialang kekuasaan yang kritis.

“Bantuan militer selain perang” juga membantu Tentara Pembebasan Rakyat mendapatkan pengalaman praktis di bidang logistik-logistik jarak jauh, memobilisasi aset militer dan sipil untuk melayani kepentingan nasional. Hal-hal tersebut juga merupakan latihan yang baik, yang membantu perolehan pengalaman Tentara Pembebasan Rakyat dalam transportasi udara jarak jauh, kegiatan angkatan laut air biru yang berkelanjutan, dan sejenisnya.

Semua kemampuan ini adalah penting untuk meningkatkan persyaratan ekspansi Tiongkok untuk proyeksi kekuatan, yang pada gilirannya dapat digunakan melawan Taiwan, di Laut Tiongkok Selatan, atau melawan pasukan Amerika Serikat.

Maka, untuk Tentara Pembebasan Rakyat kekuatan keras dan kekuatan lunak berjalan beriringan. (Vv)

Richard A. Bitzinger adalah analis keamanan internasional independen. Dia sebelumnya adalah rekan senior di Program Transformasi Militer di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) di Singapura, dan dia telah memegang pekerjaan di pemerintah AS dan di berbagai think tank. Penelitiannya berfokus pada isu-isu keamanan dan pertahanan yang berkaitan dengan kawasan Asia-Pasifik, termasuk kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan militer, dan modernisasi militer serta proliferasi senjata di kawasan tersebut