Misteri yang Belum Terungkap : Kisah Pengalaman Mati Suri Masyarakat Tiongkok Kuno

Fu Yao

Tiongkok kuno beranggapan bahwa tubuh manusia bahkan segala materi memiliki jiwa spiritual, yang juga disebut “Hun Po*¹”. Dalam kitab klasik aliran Konfusius di era Tiongkok kuno, kitab “Li Ji” yang termasuk dalam salah satu dari Enam Kitab Klasik ada kalimat seperti ini: “Energi Hun kembali ke Langit, wujud jasad kembali ke tanah”. Dengan kata lain, 2.500 tahun silam para bijak di Tiongkok telah sangat paham bahwa di dalam diri manusia eksis jiwa.

Dalam agama Buddha dan Tao yang telah diyakini selama beberapa generasi dan dinasti di Tiongkok, juga diyakini keberadaan jiwa manusia, yang dapat bereinkarnasi atau terlahir kembali setelah kematian. 

Jadi, bagi masyarakat Tiongkok kuno yang respek terhadap Sang Pencipta, pengalaman mati suri yang dibahas kali ini sebenarnya adalah hal yang sangat mudah diterima.

Jiwa Zhao Jianzi Meninggalkan Jasad Pergi ke Kerajaan Langit

Selain catatan simpang siur di kalangan rakyat, dalam sejarah otentik era Tiongkok kuno pun pernah dicatat pengalaman mati suri seorang pejabat penting istana, dan peristiwa ini ada kaitannya dengan tabib sakti bernama Bian Que (dibaca: pièn jhué).

Menurut  catatan  di  kitab  “Shi  Ji  (catatan sejarah)” jilid ke-105, di masa Zhao-gong dari kerajaan Jin  (dibaca: cin), yakni pada Periode Musim Semi dan Gugur (770 – 403 SM) sekitar tahun 500 SM, waktu itu urusan kerajaan ditangani  oleh  Perdana  Menteri  Zhao  JianZi. 

Zhao  JianZi  memiliki  kemampuan  dan  kebijaksanaan, tegas dan berani, sangat berbakat, acap kali diutus sebagai duta ke kerajaan lain, atau  memimpin  pasukan  menaklukkan  para bangsawan daerah yang membangkang, serta sangat berjasa dalam menjaga status pemimpin  aliansi  seluruh  kerajaan  Jin.  Oleh  sebab itu  Zhao  sangat  dipercaya  oleh  Raja  Jin,  dan menyandang  reputasi  yang  sangat  tinggi  di kerajaan.

Suatu  hari,  Zhao  JIANZI  mengidap  suatu penyakit,  sempat  tidak  sadarkan  diri  selama 5  hari.  Para  tabib  istana  sangat  khawatir  dan panik, maka diundanglah tabib sakti bernama Bian Que, untuk mengobati Zhao JIANZI. Setelah memeriksa kondisinya, Bian Que memberitahu kepala pelayan di rumah keluarga Zhao: “Penyebab penyakit majikan Anda karena aliran pada pembuluh darah tidak lancar, sakit semacam ini mudah diobati, tidak perlu cemas!”

Lalu Bian Que pun memberitahu sebuah kisah kepada kepala pelayan itu. Ternyata dulu Mu-gong dari kerajaan Qin pernah mengalami sakit yang sama, sampai 7 hari berturut-turut tidak sadarkan diri.

Pada saat tersadar, sang raja memberitahu kedua tabib kerajaan Qin yakni Gongsun Zhi dan Zi Yu, bahwa dia telah pergi ke tempat kediaman mendiang ayahnya, dan merasa sangat bahagia disana. Begitu lama dia tidak sadarkan diri, ternyata karena dia telah belajar sesuatu disana.

Selain itu sang ayah memberitahu Mugong: “Di kemudian hari kerajaan Jin akan mengalami kekacauan besar dan selama lima generasi berturut-turut tidak akan damai. Akan tetapi setelah itu akan menjadi kerajaan hegemoni, sayangnya sang penguasa akan mati muda. Putra sang penguasa tersebut akan memerintahkan, di negerinya tidak ada pembedaan tata krama antara pria dan wanita.” Gongsun Zhi mencatat perkataan sang raja, yang kemudian dijadikan sebagai kebijakan kerajaan Qin.

Bian Que mengatakan pada kepala pelayan: “Sakit yang diderita majikan Anda saat ini berbeda dengan raja Mu-gong, tidak lebih dari tiga hari lagi akan sadar, setelah sadar nanti pasti ada yang akan ia sampaikan.” Perkiraan Bian Que ternyata tidak meleset. Setelah dua setengah hari, Zhao JIANZI pun sadar. Ia memberitahu para tabib itu suatu hal. Ternyata selama dirinya tidak sadarkan  diri,  tubuhnya  terbaring  di  ranjang  serta tidak bisa bergerak, juga tidak ada kesadaran, tapi arwahnya sangat sadar, dan bebas bepergian hingga tiba di Kerajaan Langit dan mengelilinginya satu putaran.

Menurut   penuturan   Zhao   JIANZI,   dirinya tiba di tempat mendiang raja terdahulu. Melihat  ayah  sang  raja  setelah  sekian  lama berpisah, hatinya merasa sangat senang, dan bersama para Dewa pergi melihat-lihat tempat kediaman Kaisar Langit yakni “Pusat dari kerajaan Langit”. Ia mendengar musik Dewa, yang  sangat  berbeda  dengan  musik  Dinasti Xia,  Dinasti  Shang,  maupun  Dinasti  Zhou, nada lagunya lebih enak didengar, dan lebih menyentuh sanubari.

Selama  melihat-lihat  itu,  ayah  sang  raja memberitahu Zhao JIANZI: “Di kemudian hari kerajaan  Jin  akan  semakin  lemah  dari  generasi  ke  generasi,  dan  setelah  tujuh  generasi kerajaan ini akan runtuh. Ada seseorang yang bermarga   Ying   akan   mengalahkan   semua kerajaan-kerajaan  di  sisi  barat  Fankui,  akan tetapi kerajaan yang dibangunnya juga tidak akan bertahan lama.”

Kepala pelayan mencatat  perkataannya,  bersamaan  itu  juga  melaporkan hal yang diceritakan Bian Que kepada Zhao JIANZI. Maka, Zhao JIANZI pun memberikan hadiah yang banyak pada Bian Que.

Menurut catatan sejarah, kerajaan Jin setelah melalui tujuh generasi pemerintahan mulai dari Raja Ding, Raja Chu, Raja Ai, Raja You, Raja Lie, Raja Xiao, tiba giliran saat Raja Jing berkuasa, benar-benar telah runtuh.

Lalu seseorang yang bermarga Ying itu adalah Kaisar Qin Shi Huang, yang kemudian mendirikan Dinasti Qin, masa kekuasaannya hanya berlangsung 15 tahun, memang terbilang sangat singkat.

Arwah Pei Gong Meninggalkan Jasad Menemui Mendiang Orang Tua

Kisah berikut ini, bahkan lebih aneh lagi, ada orang yang dipermainkan oleh Peri dan mengalami arwah meninggalkan jasadnya.

Menurut catatan kitab “Taiping Guangji” yang dibuat pada masa Dinasti Song (960- 1279) bahwa di zaman Dinasti Tang (618- 907), seorang pejabat Xiaolian yang bernama Pei Gong, tinggal di Luoyang, Dongjing. Apa yang dimaksud dengan Xiaolian? Sejak masa Dinasti Han (202SM -220M), telah diterapkan mekanisme seleksi orang berbakat yang dinamakan “pengangkatan pejabat sipil Xiaolian”, pejabat di daerah bertanggung jawab merekomendasikan anak-anak yang berbakti dan  jujur untuk  diangkat sebagai pejabat sipil Xiaolian calon pengganti pejabat  daerah, dan kerajaan akan membiayai pembinaannya.

Pada   pertengahan musim   panas,   Pei   Gong berangkat dari XINZHENG hendak pulang ke kampung halaman menjenguk orang tuanya sebelum Festival Perahu Naga. Setelah sehari perjalanan, tibalah ia di sebuah jembatan batu. Tiba-tiba dari arah belakangnya seorang pemuda membawa sejumlah pelayan sedang memacu segerombol kudanya. Pemuda itu menoleh pada Pei Gong sambil tersenyum berkata, “Besok sudah Festival Perahu Naga, Anda harus bergegas pulang, mengapa berjalan begitu pelan?” Sembari meminjamkan seekor kuda kepadanya, agar Pei Gong bisa segera tiba di rumah.

Pei Gong sangat kegirangan, kepada dua orang pelayannya itu ia berkata, “Kalian berjalan santai saja, malam hari bermalamlah kalian di kediaman kakak sepupu saya Dou Wen di sisi barat Kuil Kuda Putih, besok baru kembali jalan lagi pelan-pelan.” 

Usai berkata, Pei Gong menunggangi kuda itu dan memacunya. Tak lama kemudian, ia tiba di gerbang timur kota Luoyang, dan mengembalikan kuda itu kepada sang pemuda, lalu keduanya pun berpisah. 

Pei Gong buru-buru menuju pulang, saat tiba di rumah telah senja, terlihat orang tua dan saudara-saudaranya sedang menyiapkan meja jamuan. Ia berdiri di depan ruang tengah, dengan suara lantang ia memberi salam kepada orang tuanya, tapi anehnya kedua orangtuanya tidak mempedulikannya. Pei Gong merasa keheranan, lalu ia memanggil keras nama para kakak dan adiknya, mereka semua pun tak menghiraukannya.

Seluruh keluarga tidak menghiraukannya, Pei Gong pun merasa aneh, lalu berteriak lagi dengan lantang, tetap saja tidak ada yang mempedulikannya. Malahan terdengar orang tuanya berkeluh kesah, “Pei Gong sampai hari ini belum juga datang.” Lalu mereka pun menangis, para kakak dan adiknya pun ikut menangis.

Saat itu Pei Gong berpikir, “Apakah saya telah menjadi makhluk aneh?” Lalu ia pergi ke jalan raya, mondar mandir beberapa lama. Kemudian ia melihat seorang bijak yang membawa banyak pengikut melalui jalan itu, dari jauh melihat Pei Gong, orang itu menunjuknya dengan cambuk dan berkata, “Itu adalah roh hidup manusia yang masih bernyawa.”

Seorang pengikut yang membawa sarung anak panah menghampiri pinggir jalan, lalu mengatakan sesuatu kepadanya. Pei Gong baru menyadari, ternyata pemuda yang ditemuinya di jalan adalah  Pangeran  Ketujuh dari Dewa Kunmingchi. 

Pangeran Ketujuh sangat usil, bercanda dengan Pei Gong dengan cara membuat rohnya meninggalkan tubuhnya. Beruntung ia bertemu orang bijak tersebut, lantas rohnya bisa kembali ke tubuhnya.

Pelayan pembawa sarung anak panah itu membawa Pei Gong ke gerbang timur, melewati celah gerbang dengan menembus pintu gerbang itu, lalu seketika telah tiba di kediaman Dou di dekat Jembatan Batu. Saat itulah Pei Gong melihat tubuh jasadnya sendiri terbaring kaku, kedua pelayannya sedang mengerubuti dan menangisinya! Sang Dewa meminta Pei Gong memejamkan mata, lalu mendorongnya dari belakang, roh Pei Gong pun kembali masuk ke tubuhnya, dan dia pun langsung tersadar kembali.

Pei Gong dalam kondisi menjelang kematiannya telah melihat tubuh jasadnya, juga telah mengalami sendiri saat di luar tubuh jasad, ia dapat dengan mudahnya menembus lewat celah pintu gerbang.

Kasus pengalaman mati suri di atas, dari Periode Musim Semi dan Gugur sampai ke Dinasti Tang, suatu rentang waktunya yang mencapai seribu tahun lebih, namun ada satu kesamaan, yakni menjelaskan satu hal bahwa tubuh kita hanyalah satu bagian dari kehidupan kita ini, sedangkan roh atau jiwa adalah bagian yang lain. 

Ketika roh meninggalkan tubuh jasad ini, indera manusia akan berubah menjadi semakin jelas, bahkan mampu melihat orang dan benda yang tidak kasat mata, dengan kata lain telah memecahkan berbagai halangan yang ditimbulkan oleh tubuh fisik manusia, serta keterbatasan pemikirannya. (sud)

*1)  Hun  (HANZI:  魂;  Pinyin:  hún;  Wade–Giles: hun;  harfiah:  ‘cloud-soul’)  dan  Po  (HANZI:  魄;  Pinyin:  pò;  Wade–Giles:  p’o;  harfiah:  ‘white-soul’) adalah  dua  jenis  jiwa  dalam  filsafat  dan  agama tradisional  Tiongkok.  Hun  adalah  jiwa  yang  meneruskan perjalanan ke nirwana setelah kematian, sementara po adalah jiwa yang tetap berada di Jenazah  orang  meninggal.  Po  baru  dapat  bersatu kembali dengan hun melalui upacara.