Seorang Ayah Memiliki 9 Putra dan 1 Putri, Karen Salah Kata Putrinya Langsung Diusir dari Rumah! Beberapa Tahun Kemudian, Ayah Itu Mengemis di Rumah Putrinya

ETIndonesia. Semasa kepemimpinan Kaisar Kang Xi, Dinasti Qing (1647-1683), di sebuah Desa Xia Chuan, Midu Countyu, Provinsi Yunnan, Tiongkok, ada seorang hartawan bernama Jin Shan, selain memiliki sembilan putra dan satu putri. Dia selalu membanggakan dirinya sebagai orang yang hebat memiliki rezeki dan kehidupan yang makmur setiap bertemu dengan siapa pun.

Suatu hari, pria tua Jin Shan memanggil sembilan anaknya dan bertanya : “Anak-anakku! Kalian menikmati anugerah (hidup) siapa ?”

Sembilan anak laki-laki-nya menjawab serentak : “Menikmati anugerah ayah.” Jin Shan tersenyum senang mendengarnya. Ia tertawa dalam hati.

Kemudian ia bertanya pada putrinya, kalau kamu menikmati anugerah siapa : “Saya menikmati anugerah saya sendiri.” (Sekadar diketahui, Jin Shan adalah tipe orang yang hanya suka mendengar kata-kata yang menyenangkan) Mendengar kata-kata putrinya ini, Jin Shan pun naik pitam dan dengan marah mengatakan “Saya beri kamu 20 Tael (mata uang zaman Tiongkok dulu-1 Tael sekitar Rp.550 ribu uang sekarang) , satu ekor kuda, pergilah kau nikmati anugerahmu itu !Dan mulai sekarang tidak usah kembali lagi.”

Putrinya tahu betul dengan sifat ayahnya, kata-kata ayahnya seperti titah kaisar, tidak bisa dijilat kembali begitu terucap, dan siapa pun tidak bisa mengubahnya.

Lalu, ia pun mengucapkan selamat tinggal pada keluarganya, kemudian menunggang kuda dan pergi dari rumahnya sambil meneteskan air mata.

Meninggalkan desa yang memberik kenangan dalam hidupnya. Seorang anak perempuan yang tidak pernah pergi jauh, ia pun tidak tahu harus kemana.

Akhirnya ia pun mengikuti kemana langkah kaki kudanya membawanya disitulah ia menuju.

Saat Matahari terbenam, kuda membawanya masuk ke sebuah pakarangan rumah kecil yang dihuni sepasang keluarga petani yang hanya terdiri seorang ibu dan satu anak laki-lakinya.

Si putri yang dipanggil dengan nama Xiao Mei itu menjelaskan maksud kedatangannya dan mohon izin untuk menginap satu malam.

Malamnya, karena tidak tahan dengan pertanyaan berulang dari ibu tua itu, Xiao Mei pun menceritakan dengan jujur peristiwa yang dialaminya sambil menangis.

Setelah mendengar ceritanya, ibu tua itu dengan simpati berkata : “Jika nona tidak keberatan, tinggallah di rumah saya ! Anakku Li Ming adalah sesosok pemuda yang baik dan pekerja keras.

Setelah merenung sejenak, Xiao Mei pun mengiyakan.

Singkat cerita, akhirnya Xiao Mei menikah dengan Li Ming.

Musim demi musim silih berganti, Xiao Mei dan Li Ming, suami istri yang sederhana ini, bekerja keras dengan rajin, berbakti pada orangtua, meski cukup getir dalam kehidupan sehari-hari, tapi mereka bisa hidup rukun dan harmonis.

Satu tahun kemudian, Xiao Mei melahirkan seorang bocah laki-laki yang gemuk, dan suasana rumahnya pun seketika menjadi meriah, dan ibu mertuanya pun bukan main bahagianya.

Beberapa tahun kemudian, anak itu pun sudah tumbuh besar, dan sudah bisa membantu neneknya mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Suatu hari, halaman rumah mereka didatangi seorang pengemis tua yang minta sedekah.

Putra Xiao Mei yang melihat sosok orang tua itu lalu bertanya dengan polos : “Kakek tidak punya anak ya, mengapa mengemis?”

“Saya bukan saja punya 9 anak laki-laki, tapi juga punya satu anak perempuan, karena anak-anak dan menantu saya malas, setiap hari hanya makan dan bersenang-senang, sehingga menguras habis semua harta saya, kemudian menjarah kekayaan keluarga, lalu pergi bersama menantu dan membiarkan saya terlunta-lunta,”kata pengemis tua itu dengan sedih.

“Tapi, putri saya sendiri saya usir, entah dimana keberadaannya sekarang, saya benar-benar sangat menyesal,”lanjutnya.

Kebetulan pada saat itu, Xiao Mei dan Li Ming pulang, Xiao Mei terperanjat seketika melihat sosok pengemis tua di depan matanya itu, karena pengemis itu tak lain adalah ayahnya sendiri.

Mata Xiao Mei berkaca-kaca dan tak tahan air matanya pun berlinang sedih ketika membayangkan masa lalunya.

Pengemis tua itu merasa sangat malu, lalu berbalik hendak pergi dari rumah putrinya yang pernah diusirnya, namun ditahan oleh Li Ming, suaminya dan ibu mertuanya.

Sejak saat itu, sekeluarga yang sekarang terdiri dari lima orang itu pun hidup bahagia.

Mereka juga tidak menyalahkan Jin Shan lagi, yang dulunya angkuh dan sombong dengan hartanya.

Meski begitu, Jin Shan selalu tampak murung, lama kelamaan, ia pun jatuh sakit, dan meninggal.

Xiao Mei dan Li Ming membawa abu jenazah ayahnya ke kampung halamannya untuk dimakamkan di sana, dan Xiao Mei juga mendirikan sebuah batu nisan untuk ayahnya.

Sebagai anak yang berbakti, Xiao Mei memahat nama pendiri batu nisan dan mengukir namanya dan Li Ming, suaminya di atas batu nisan ayahnya.

Sementara nama kesembilan anak laki-laki atau saudara laki-lakinya itu tak satu pun yang terukir di atas batu nisan sang ayah.

Nilah kisah tentang “Sembilan anak durhaka yang tidak mengubur sang ayah, hanya seorang anak perempuan satu-satunya yang mengantar ke peristirahatan terakhir” turun temurun dalam dua ratus tahun terakhir ini.

Hingga detik ini, batu nisan yang tertinggal itu, orang-orang masih terbiasa menyebutnya sebagai “pusara bakti sang putri, yakni Xiao Mei”.(jhn/yant)

Sumber: twgreatdaily.com