Nasib Ditentukan di Tangan Siapa? Dapatkah Nasib Diubah?

Fu Yao

Acapkali ada orang mengatakan, segala sesuatu dalam kehidupan manusia sudah ditakdirkan. Ada juga yang mengatakan, nasib ditentukan oleh diri kita sendiri. Lalu pernyataan manakah yang lebih mendekati realita?

Kecelakaan Udara yang Aneh di Belgia

Kisah pertama, disebut sebagai salah satu peristiwa paling aneh di masa Perang Dingin. Sebuah pesawat militer Uni Soviet, tanpa suara, tanpa bunyi terbang melintasi lima negara, dan pada akhirnya jatuh menimpa seorang pemuda Belgia yang tak berdosa.

Pada 4 Juli 1989 dini hari, sebuah pesawat tempur jenis MiG-23 lepas landas dari pangkalan AU Uni Soviet di Polandia, dan melakukan suatu latihan terbang. Akan tetapi baru saja tinggal landas, pesawat itu mengalami kerusakan, saat pesawat- mulai jatuh tanpa bisa dikendalikan, pilotnya yang bernama Nikolai Skuridin langsung memutuskan melompat dengan parasut, demi keselamatan dirinya.

Aneh bin ajaib, kerusakan pada pesawat tersebut seolah telah diperbaiki secara otomatis ber- tepatan setelah si pilot terlontar keluar menyelamatkan diri, dengan fungsi auto pilot pesawat tersebut terus terbang ke arah barat, melewati Polandia dan Jerman Timur, lalu tiba di wilayah udara NATO. Radar milik NATO dengan cepat telah mendeteksi adanya tamu tak diundang itu. Dua unit pesawat tempur jenis F-15 pun segera mengudara, dan menghadang pesawat MiG itu di wilayah udara Jerman Barat.

Tapi para pilot yang berpengalaman itu segera menemukan bahwa pesawat nirawak itu walaupun agak aneh dan mencurigakan, tapi tidak bersifat agresif, juga tidak membawa senjata apapun. Setelah berkomunikasi dengan pangkalan di darat, para pilot akhirnya membatalkan niatnya untuk menembak jatuh pesawat tersebut. Jika melihat jalur penerbangannya, pesawat itu pada akhirnya kemungkinan akan kehabisan bahan bakar, dan jatuh di Selat Inggris, dengan demikian tidak akan menimbulkan korban tewas di darat. Begitulah, sebuah pesawat siluman pun terbang memasuki wilayah Belgia melewati Jerman Barat dan Belanda setelah diberi izin diam- diam oleh NATO.

Akan tetapi di saat berada di atas sebuah kota kecil di Belgia yakni Kota Kortrijk, pesawat itu dengan sangat tidak kooperatif melayang jatuh, tepat dan tidak meleset sedikit pun, menimpa sebuah rumah penduduk. Di dalam rumah itu sedang berdiam seorang pemuda berusia 18 tahun yang bernama Wim Delaere yang langsung tewas di tempat. Kakaknya yang bernama Yves Delaere yang diwawancarai surat kabar setempat pasca kejadian mengatakan, adiknya itu tadinya berniat hendak pergi bersama dirinya dan ibu mereka untuk berbelanja, tapi pada saat hendak berangkat adiknya berubah pikiran, dan merasa lebih baik ia menggenapi tidurnya di rumah. Tidak disangka malah mengalami bencana yang melayang dari udara ini. Ketika jasadnya ditemukan, selimut berwarna putih beras itu masih membalut badannya, pada bajunya terdapat tulisan dalam bahasa Prancis “Avion” (artinya pesawat, red.)

Pasca peristiwa itu diberitakan secara luas, banyak orang yang mendesah, Wim benar-benar bernasib malang, ada orang yang berbaring kejatuhan roti dari langit, tapi ada pula orang yang berbaring kejatuhan pesawat dari langit. Khususnya tulisan “Avion” di bajunya menjadi sangat menarik untuk direnungkan, apakah ini diam- diam mengisyaratkan pertanda takdir?

Itu sebabnya, seiring cerita ini menyebar luas, maka telah memunculkan sebuah prakisah yang mengatakan bahwa pemuda ini pernah meramalkan nasibnya, dan diperingatkan bahwa dalam setengah tahun ini dirinya akan mengalami kecelakaan udara. Pemuda itu lantas berpikir, pokoknya selama saya tidak bepergian jauh, dan menghindari naik pesawat, pasti akan baik-baik saja. Tak disangka, yang seharusnya terjadi tetap saja terjadi. 

Prakisah ini semakin menambah nuansa misterius di balik peristiwa ini, sekaligus mengundang berbagai tanggapan dari banyak pembaca. Semua orang berkomentar, memang benar, “keberuntungan tidak perlu dihindari, dan kemalangan tidak akan dapat dihindari”, banyak kejadian memang sudah ditakdirkan dalam hidup.

Kisah Seorang Perwira Pemerintahan Nasional Republik Tiongkok

Berbicara tentang topik “takdir sudah ditentukan oleh Langit”, seorang teman baik dari penulis pernah berbagi kisah nyata dalam keluarganya.

Teman saya ini mempunyai kakek yang pernah menjabat sebagai seorang perwira di masa Pemerintahan Nasional Republik Tiongkok (Republik Tiongkok yang dipimpin Kuomintang 1912-1949, red.). Waktu itu karir sang kakek sedang berada di atas angin, bertemu dengan seorang peramal yang disebut-sebut sangat tepat ramalannya. Sang nenek pun meminta peramal itu untuk melihat masa depan kakeknya. Tak disangka setelah terdiam cukup lama, peramal itu berkata suaminya kelak mungkin akan mengalami nasib mati kelaparan. Nenek begitu marah, lalu sambil meninggalkan uang jasa, ditariknya tangan si kakek dan pergi begitu saja.

Kemudian Partai Komunis Tiongkok (PKT) merebut kekuasaan (pada 1949 dan sejak itu kekuasaan Republik Tiongkok hanya terbatas di Pulau Taiwan dan beberapa pulau di sekitarnya, red.), kakek pun membawa seluruh keluarga ke kampung halaman di selatan. Kampung halaman- nya adalah sebuah kota kuno berusia ribuan tahun, keluarga tradisional yang hidup berdampingan selama empat generasi dalam satu atap sudah umum di sini, kehidupan masyarakat sangat sederhana. 

Semasa Revolusi Kebudayaan (yang dimulai pada 1966) kakeknya telah dicap sebagai “reaksioner”, setiap ada gerakan selalu harus hadir, tapi tidak ada orang yang mempersulit dirinya, juga tidak ada orang yang menganiaya memukulinya. Begitulah kakek selamat bertahan hidup hingga Revolusi Kebudayaan berakhir (pada 1976), ia melewati hari- hari bahagia bersama anak cucunya.

Akan tetapi hidup selalu penuh dengan ketidakpastian. Pada suatu hari tenggorokan kakek terasa sakit sehingga harus dibawa ke dokter, setelah diperiksa ternyata kakek terdiagnosa mengidap kanker kerongkongan. Beberapa bulan kemudian sang kakek meninggal dunia. Dua minggu menjelang ajalnya, hampir tidak ada sebutir nasi pun bisa dimakannya akibat kesulitan menelan. Melihat wajah sang suami yang semakin kurus dan menderita, sang nenek teringat akan kata-kata peramal itu, air mata pun berderai tanpa bisa ditahan, ternyata semua ini sudah menjadi takdirnya.

Kemudian nenek sering bercerita, dulu di zaman kekacauan perang kakek bertugas di bagian logistik militer, pada saat kondisi logistik paling langka, kakek tidak serakah dan tidak korup, ia berhasil menjaga hatinya, sehingga bisa dibilang telah mengumpulkan pahala, pada masa bencana besar Revolusi Kebudayaan, kakek berhasil melaluinya dengan selamat. Tapi takdir kakek harus mati kelaparan, sepertinya bagaimana pun tidak bisa dihindari. Kisah seperti ini sebenarnya banyak terjadi di seputar kehidupan kita. Tanyakan saja pada orang-orang tua atau sesepuh di sekitar kita. Dalam keluarga, di antara leluhur kita, ada saja satu dua kisah serupa, selain dikatakan “sudah takdirnya”, tidak ada lagi alasan yang mampu menjelaskannya.

Tetapi dalam cerita berikut ini, tokoh utama bernama Pei Du di masa mudanya juga diramalkan akan mati kelaparan oleh seorang peramal, namun karena ia melakukan sebuah kebajikan, sehingga telah mengubah nasibnya. Kisahnya ini juga telah menjadi teladan baik di sepanjang zaman.

Kisah Pei Du Mengembalikan Sabuk

Pei Du adalah seorang pejabat terkenal pada masa akhir Dinasti Tang, pernah menjabat sebagai pejabat tertinggi, dan semasa hidupnya telah menikmati kemakmuran melimpah. Akan tetapi nasibnya di masa muda sangat mengenaskan. Pada suatu hari di kotanya kedatangan seorang peramal, konon sangat tepat ramalannya, Pei Du pun mendatanginya untuk menanyakan nasibnya. Tak disangka peramal itu berkata, “Anak muda, wajahmu sangat berbeda dengan orang awam. Di masa mendatang, jika bukan menjadi orang hebat, maka pasti akan mati kelaparan. Tapi sekarang saya belum bisa melihat di mana letak kemuliaan Anda. Begini saja, bagaimana jika selang beberapa waktu, datanglah lagi, saya akan meramalkan lagi nasib Anda?”

Walaupun peramal itu mengatakan dengan nada halus, namun Pei Du telah memahami maksudnya. Untungnya Pei Du berpikiran terbuka dan berjiwa besar, kalau memang nasib sudah berkata demikian, maka diterima sajalah.

Di hari itu, Pei Du berwisata di Kuil Xiangshan, di sana ia melihat seorang wanita yang ber- penampilan sangat sederhana, dia meletakkan sebuah bungkusan di pagar kuil tersebut, setelah berdoa cukup lama wanita itu baru bersujud dan pergi meninggalkan kuil. Setelah beberapa lama, Pei Du mendapati bungkusan milik wanita itu ketinggalan. Tapi sudah tidak bisa lagi mengejar wanita tersebut. Maka Pei Mengambil Bungkusan itu dan menjaganya baik-baik. Matahari telah terbenam, namun belum juga kelihatan wanita itu kembali, Pei Du pun membawa bungkusan itu kembali ke penginapannya.

Keesokan paginya, Pei Du membawa lagi bungkusan itu kembali ke Kuil Xiangshan, pintu kuil baru saja dibuka, wanita itu sudah berlari datang menghampiri, kebingungan dan putus asa meratap sedih seperti mengalami bencana yang sangat besar. Pei Du pun menghampirinya dan menanyakan kondisinya. Wanita itu berkata, “Ayah saya tidak bersalah tapi ditangkap. Kemarin seorang dermawan memberikan saya dua buah sabuk dari batu giok, dan satu buah sabuk dari cula badak, nilainya mencapai seribu untai uang, saya berencana menggunakannya untuk menyuap sipir penjara, tapi naas sabuk itu hilang di sini, sepertinya ayah saya akan mengalami bencana besar.”

Pei Du mengembalikan bungkusan itu kepadanya. Wanita itu berterima kasih kepadanya, dan memberikan satu buah sabuk giok kepada Pei Du, walaupun pada saat itu Pei Du hidup miskin, namun ia tetap menolak menerimanya.

Tak lama kemudian, Pei Du kembali ber- temu peramal itu. Setelah melihat wajahnya beberapa saat, peramal itu terkejut, “Anak muda kau pasti telah melakukan kebaikan, dan mengumpulkan banyak pahala, masa depanmu sangat cerah.” Maka Pei Du pun menceritakan apa yang dialaminya beberapa hari lalu kepada sang peramal, sambil menganggukkan kepala peramal itu memujinya. Ternyata benar Pei Du kemudian menjadi pejabat, pernah mengabdi kepada empat orang raja, hingga akhirnya pensiun dengan penuh tanda jasa, dan meninggal dunia dengan tenang di Kota Luoyang pada usia 76 tahun.

Kisah Yuan Liaofan Mengubah Nasib dengan Berbuat Kebajikan

Kisah lain pengubahan nasib terjadi pada masa Dinasti Ming. Di Kabupaten Wujiang Provinsi Jiangsu ada seorang terpelajar yang bernama Yuan Huang, dan bernama kecil Liaofan, di masa muda ia pernah bertemu seorang tua bermarga Kong, yang mendorong dirinya untuk mengikuti ujian kerajaan. Orang tua itu berkata dirinya mewarisi ajaran sejati dari seorang maha guru kosmologi dari Dinasti Song bernama Shao Kangjie (Shao Yong, red.), dan mampu meramal nasibnya, lalu memberitahunya bahwa dalam ujian tersebut ia akan meraih peringkat ke berapa, tahun ke berapa akan diangkat sebagai Gongsheng (lulusan unggulan yang memperoleh beasiswa dan diterima di Imperial Collage Beijing), tahun ke berapa menjadi bupati, lalu tiga setengah tahun kemudian mengundurkan diri dan pulang ke kampung halaman, meninggal di usia 53 tahun, dan tidak mempunyai keturunan.

Setelah mendengar kata-kata orang tua itu, Yuan Liaofan pun pergi mengikuti ujian di ibu kota, dan beberapa tahun kemudian apa yang dikatakan peramal tua itu memang tepat. Awalnya ia keheranan, tapi kemudian dapat memandangnya hambar, sambil menantikan ajalnya tiba. Tapi pada usianya yang ke-37 suatu pertemuan yang aneh telah mengubah total sisa perjalanan hidupnya.

Di tahun itu, ia telah bertemu dengan Master Zen bernama Yun-gu. Yun-gu berkata padanya, “Nasib ditentukan diri sendiri, pancaran wajah timbul dari hati (jiwa), nasib baik dan buruk dalam hidup sebenarnya terletak pada orang itu sendiri.” 

Kemudian sang Master Zen mengimbuhkan, kunci untuk menciptakan keberuntungan, kemalangan, berkah, dan bencana dalam kehidupan, sebenarnya terletak pada orang itu sendiri. Ubahlah sifat kikir menjadi amal, keekstreman menjadi kedamaian, kemunafikan menjadi ketakwaan, kesembronoan menjadi ketenangan, kesombongan menjadi kesopanan, kemalasan menjadi ketekunan, kekejaman menjadi belas kasih, terlalu menuntut menjadi toleransi, sebanyak mungkin mengumpulkan kebajikan, sebanyak mungkin mengasihi diri sendiri. 

Selama Anda memperkuat moralitas yang sudah menjadi bawaan, sedapat mungkin lakukanlah kebajikan, mengumpulkan pahala, maka akan menciptakan kesejahteraan bagi Anda sendiri, dan tidak akan pernah bisa dirampas oleh orang lain.

Perkataan sang Master Zen ibarat suatu pencerahan bagi Yuan Liaofan. Daripada menerima nasib secara pasif, lebih baik hidup dengan lebih berarti. Setelah berterima kasih pada sang Master Zen, di hadapan Buddha ia pun mengungkapkan segala kesalahan dan kejahatan yang pernah diperbuatnya, entah itu besar maupun kecil, dan berjanji akan melakukan tiga ribu perbuatan baik. Sejak saat itu ramalan yang pernah dikatakan oleh Tuan Kong pun sudah tidak tepat lagi.

Selama sisa hidupnya, ia berusaha keras memperbaiki diri, berusaha melakukan kebaikan mengumpulkan pahala. Dan sisa hidupnya pun telah berubah sepenuhnya, tidak hanya berhasil dalam ujian pejabat, jabatannya meliputi sampai bidang kemiliteran, bahkan memiliki putra yang meneruskan garis keturunannya, ia hidup sehat hingga usia 74 tahun, boleh dibilang mendapat- kan dengan sendirinya tanpa niat disengaja.

Pada usia 69 tahun, ia menulis sebuah buku wejangan keluarga bagi putranya yang sangat terkenal dan berjudul “Liaofan’s Four Lessons”. Di dalam buku itu dibahas tentang fakta memahami takdir, kriteria membedakan dengan jernih antara kebajikan dengan kejahatan, cara mengubah diri berbuat kebaikan, serta selain berbagai efek dari berbuat kebaikan dan mengumpulkan kebajikan, setelah membaca semuanya membuat orang tiba-tiba tercerahkan. 

Lebih penting lagi, ia menggunakan hidupnya sendiri untuk “muncul dan berbicara”, hal ini membuktikan bahwa berbuat baik dan mengubah hidup seseorang adalah hal yang nyata dan kredibel. “Liaofan Four Lessons” dianggap oleh generasi selanjutnya sebagai buku bagus langka yang bermanfaat bagi orang- orang di dunia dan meningkatkan suasana sosial. 

Lao Tzu mengatakan, “Hukum langit tidak mengenal kerabat, berpihak pada orang yang baik.” Dengan kata lain Yang Maha Kuasa sangat adil dalam segala hal, bagi orang yang bermoral dan berbuat kebajikan, maka akan mendapatkan bantuan dari Yang Kuasa. Dan kisah Pei Du dan Yuan Liaofan sepertinya telah membuktikan hal ini. 

Seseorang yang memiliki niat pikiran yang baik sepanjang waktu, banyak melakukan kebajikan, menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang yang berjodoh, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan balasan yang baik, maka tanpa disadari nasib pun akan berubah. Dengan demikian, bukankah berarti nasib ditentukan oleh kita sendiri? (sud)