Mandat Nol-COVID Diterapkan di Shenzhen, Penduduk Setempat Berjuang untuk Mendapatkan Sumber Makanan

Nicole Hao

Pemerintahan Tiongkok terus-menerus mengamanatkan kebijakan nol-COVID yang mengkarantina semua kota berpotensi terjadi kasus infeksi dan melockdown kota.

Para penduduk di Shenzhen, sebuah kota dengan banyak distrik yang melaporkan wabah COVID-19, mengeluh bahwa mereka dikelilingi oleh “gunung sampah” dan sangat membutuhkan makanan karena dilockdwon. 

“Pada malam 28 Februari, seorang tetangga berusaha melompat keluar dari gedung apartemennya. Tetangga lainnya  mengatakan kepada saya bahwa tetangga tersebut mengalami depresi dan tidak makan selama dua hari. Tetangga tersebut kehilangan semua harapan dan berusaha untuk bunuh diri,” kata Lin Dai (nama samaran), penduduk desa Shangshadong di kota Shenzhen, kepada The Epoch Times berbahasa Mandarin pada 2 Maret.

“Setelah kami dikurung di rumah, kami tidak bisa keluar untuk membeli makanan. Saya berusaha untuk memesan secara online, tetapi  sangat sulit untuk menemukan makanan yang bisa diantarkan kepada kami,” kata Lin Dai.

“Saya kenal seorang wanita muda yang tinggal di gedung apartemen di mana saya tinggal. Ia hanya mempunyai nasi dan acar di rumahnya. Ia berusaha makan sesedikit mungkin, dan hanya makan satu atau dua mangkuk bubur dengan acar setiap hari di hari-hari lalu.”

“Kami terus-menerus memanggil pihak berwenang untuk meminta bantuan dan diberitahu bahwa mereka tidak memiliki cukup tenaga untuk menjaga para penduduk yang dikurung,” kata Lin Dai. 

“Akhirnya, rezim Tiongkok mengirimi kami susu dan apel pagi ini serta beberapa makanan cepat saji dan sayuran di siang hari.”

Chen Dong (nama samaran) adalah adalah penduduk baru di Shenzhen yang mengemudikan taksi di Shenzhen. Pada 22 Februari, Chen Dong dikurung di apartemennya di desa Shangshadong. Sejak itu, ia tidak bisa bekerja dan tidak dapat menghasilkan uang.

“Rezim Tiongkok mengatakan bahwa anggota-anggota staf mereka akan mengirim makanan ke rumah kami, tetapi sebagian besar relawan yang membawa makanan tidak berani datang ke sini. Mereka takut terinfeksi,” kata Chen Dong. 

Ia juga mengatakan, “Pada hari-hari pertama, warga boleh turun ke bawah untuk mengambil makanan dari pintu depan gedung.”

Kehidupan Chen Dong dan tetangganya menjadi lebih buruk pada 26 Februari, ketika rezim Tiongkok tiba-tiba tidak mengizinkan mereka meninggalkan apartemennya.

“Rezim Tiongkok mengunci gedung kami, tidak mengirimi apa pun untuk kami, dan tidak membuang sampah. Sekarang, sampah di mana-mana dan menumpuk seperti gunung,” kata Chen Dong.

“Tidak ada yang merawat kami, dan banyak orang berteriak dari jendela-jendelanya bahwa mereka lapar dan membutuhkan makanan,” tambahnya. 

Pada 1 Maret, Chen Dong dan tetangga-tetangganya menerima makanan yang pertama, yang menurut Chen Dong makanan tersebut tidak  cukup untuk sebuah keluarga. 

“Kami tidak punya solusi lain. Jika sebuah keluarga belum menimbun makanan, dan ada anak-anak, maka mereka akan mati kelaparan. Kami naik dan turun tangga untuk memeriksa tetangga-tetangga kami. Kita saling membantu,” kata Chen Dong. 

Li Fei (nama samaran), seorang pegawai rezim di komunitas Shatou di Shenzhen, mengatakan kepada The Epoch Times bahasa Mandarin pada 2 Maret, bahwa rezim Tiongkok menyegel bangunan tempat tinggal dan kompleks tempat tinggal di mana infeksi baru dilaporkan dengan menggunakan kawat berduri. “Kami tidak mengizinkan penduduk mana pun untuk melarikan diri dari daerah yang disegel.”

Li Fei mengatakan bahwa sekitar 60.000 hingga 70.000 orang tinggal di desa Shangsha di komunitas Shatou dan semuanya dikarantina di rumah mereka.

Tes COVID-19 Massal

Seperti kota Tiongkok lainnya, pihak berwenang Shenzhen mengamanatkan bahwa semua penduduk di kota Shenzhen harus menjalani uji COVID-19 setiap tiga hari. Pada 2 Maret, rezim Tiongkok mengumumkan bahwa orang-orang tidak diizinkan untuk naik metro jika mereka tidak memiliki hasil uji COVID-19 negatif dalam waktu 48 jam.

Di dalam kompleks perumahan, pengeras suara terus-menerus menyiarkan: “Kode kesehatan anda akan berubah menjadi kuning jika anda belum diuji dalam 72 jam terakhir” dan “Anda tidak dapat pergi bekerja besok jika tidak menjalani uji hari ini.”

Seorang penduduk bermarga Chen yang tinggal di komunitas Shekou di distrik Nanshan di Shenzhen mengatakan dalam sebuah wawancara telepon, bahwa ia dan sebagian besar penduduk Shenzhen bekerja untuk mendapatkan uang. 

“Aturan di mana orang-orang tidak dapat bekerja tanpa sebuah hasil uji, membunuh kita. Adalah mengerikan jika seorang penduduk Shenzhen tidak dapat pergi bekerja,” kata Chen.

Rezim Tiongkok tidak mengizinkan orang-orang untuk bergerak tanpa sebuah kode kesehatan yang dibuat oleh aplikasi ponsel. Kode hijau berarti pemilik dapat melewati pos-pos pemeriksaan untuk transportasi umum, memasuki sebuah gedung, atau bahkan pulang ke rumah. Kode kuning berarti pemilik harus tinggal di rumah. Kode merah berarti pemilik harus dikarantina di sebuah pusat karantina.

Tes PCR di Tiongkok terkait dengan aplikasi kode kesehatan setiap penduduk. Jika aplikasi tersebut belum menerima sebuah hasil uji yang diperlukan, kode tersebut akan menunjukkan warna kuning. Sistem tersebut memaksa orang-orang Tiongkok untuk menjalani uji tersebut.

Namun, titik tes COVID-19 secara massal diyakini menjadi tempat berkembang biaknya COVID-19.

“Pada 22 Februari, panitera komunitas memerintahkan kami untuk melakukan uji asam nukleat untuk COVID-19. Kami pernah berkerumun bersama dan harus menunggu lebih dari empat jam, Kami dituntut untuk diuji bahkan sekarang,” kata Chen Dong. 

Pada 3 Maret, rezim Tiongkok di kota Shenzhen mengumumkan pada konferensi pers harian bahwa infeksi baru dilaporkan di distrik Futian, Luohu, Nanshan, Bao’an, dan Yantian.

Pada Kamis, Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok mengumumkan infeksi-infeksi domestik baru dilaporkan terjadi di Guangdong, Mongolia Dalam, Hubei, Jilin, Shanghai, Guangxi, Tianjin, Hebei, Shanxi, Provinsi Heilongjiang, Provinsi Jiangsu, Provinsi Sichuan, dan Provinsi Yunnan. (Vv)