Beijing Berupaya Menghidupkan Kepulauan Solomon Menjadi Sebuah Negara Bagiannya

Anders Corrs

Dokumen terbaru menunjukkan bahwa Tiongkok berusaha untuk memperluas pengaruhnya dan pengerahan militer di pulau Asia-Pasifik hampir mencapai titik untuk membuat satu negara, Kepulauan Solomon, menjadi negara bagiannya.

Namun demikian, kebijakan yang diusulkan untuk menentang ekspansionisme terbaru Beijing bergantung pada diplomasi lunak lama yang gagal, insentif-insentif ekonomi, dan non-konfrontasi yang menciptakan insentif  merugikan dan mendorong negara-negara ke dalam orbit Partai Komunis Tiongkok.

Naskah dokumen Sino-Solomon, berjudul sebagai sebuah perjanjian kerangka kerja mengenai kerja sama di bidang keamanan, tunjukkan minat Beijing terlebih dahulu dalam pengaturan untuk penyisipan pasukan keamanannya dengan cepat, dan penggunaan  serangkaian pelabuhan laut dalam secara global untuk kegiatan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat yang semakin meningkat.

Draf tersebut menunjukkan bahwa Beijing mendekati pakta sebuah keamanan yang, menurut Financial Times, akan mengizinkan pasukan bersenjata dan polisi Tiongkok di Kepulauan Solomon untuk memadamkan kerusuhan, di mana Tentara Pembebasan Rakyat boleh membangun sebuah pangkalan angkatan laut di Pasifik Selatan, sekitar 900 mil timur laut Australia.

Kapal Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat yang berlabuh di Kepulauan Solomon kemudian dapat seharusnya melindungi warganegara Tiongkok dan proyek infrastruktur Tiongkok, sesuai dengan dokumen tersebut. Personil keamanan setempat Tiongkok dapat memberikan kepolisian ekstrateritorial dan memadamkan “kerusuhan sosial” di dalam negeri Kepulauan Solomon.

Langkah Beijing untuk memiliterisasi dan mengendalikan secara domestik Kepulauan Solomon adalah sebuah ancaman langsung terhadap upaya Amerika dan Australia untuk mendorong usaha demokrasi kecil dan independen di kawasan tersebut.

Jika Partai Komunis Tiongkok menyisipkan pasukan militer ke Kepulauan Solomon, hal itu akan menjadi sulit untuk mengusir mereka, bahkan jika sentimen publik menentang Tentara Pembebasan Rakyat, karena Beijing memiliki sejarah publik mengenai suap kepada para politisi yang hampir tidak terpapar ke permukaan, menurut sumber penulis dengan pengetahuan mengenai urusan itu.

Uang tunai Tiongkok untuk pemungutan suara di Kepulauan Solomon diduga telah mencapai sebanyak  615.000 dolar AS per anggota parlemen, menurut laporan itu.

Masyarakat Solomon sebagian besar menentang pengaruh Beijing di negara itu, sampai-sampai pada bulan November, warganegara Kepulauan Solomon melakukan kerusuhan terhadap pemerintah Kepulauan Solomon dan membakar sebuah kantor polisi dan daerah-daerah Pecinan di Kepulauan Solomon.

Sayangnya, baru-baru ini imigran Tiongkok dan etnis Tionghoa setempat lainnya, termasuk imigran generasi kedua, menanggung beban terbesar dari upaya pengaruh Partai Komunis Tiongkok yang berlebihan. Tiga mayat yang hangus terbakar  ditemukan di dalam salah satu bangunan yang terbakar di daerah Pecinan setelah kerusuhan pada bulan November.

Rancangan perjanjian dengan Beijing mencakup sebuah ketentuan untuk pemolisian ekstrateritorial oleh rezim Tiongkok di Kepulauan Solomon.

“Perjanjian itu mencakup klausul bahwa kapal-kapal Tentara Pembebasan Rakyat akan dilindungi oleh personel keamanan Tiongkok ketika kapal-kapal itu berlabuh di Kepulauan Solomon,” menurut Financial Times. 

“Pasukan Tiongkok juga dapat dipanggil untuk mengendalikan ‘kerusuhan sosial’ di Kepulauan Solomon dan untuk melindungi personel dan proyek-proyek Tiongkok.”

Beijing dapat menunjukkan preseden untuk memasukkan pasukan keamanannya. Selain lebih dari 100 personel polisi dan pertahanan Australia, Pemerintah Kepulauan Solomon mengundang 10 petugas polisi dari Tiongkok selama kerusuhan pada November.

Mengingat sifat totaliter rezim Beijing, pemerintahan Kepulauan Solomon yang meningkatkan kerjasama di bidang keamanan dengan kediktatoran harus diperhatikan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya mengenai pengaruh Beijing yang berkembang di Asia Pacifik. Pada 2019, Kepulauan Solomon mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taiwan ke Tiongkok, dan jatuhnya Kepulauan Solomon ke dalam orbit Beijing semakin memburuk sejak itu.

Sebagian besar analisis dan pelaporan Barat, selain di The New York Times, benar-benar pedas dalam penilaian mereka terhadap rancangan perjanjian, yang  disebut sebagai gejala “kekaisaran Tiongkok di Indo-Pasifik” dan “kolonialisme Sabuk dan Jalan,” oleh Kepala Fakultas Keamanan Nasional Universitas Nasional Australia, Rory Medcalf, di Financial Times.

Grant Newsham, seorang ahli keamanan yang berfokus pada Asia-Pasifik, mengatakan kepada The Wall Street Journal bahwa rancangan perjanjian itu “pada dasarnya adalah sebuah perjanjian untuk  sebuah protektorat.”

Jonathan Pryke, di lembaga pemikir Institut Lowy di Australia, mengatakan kepada The Wall Street Journal, “Ini adalah sebuah perjanjian keamanan yang cukup luas yang akan jauh lebih besar dari perjanjian apa pun yang telah dibuat Tiongkok dengan negara kepulauan Pasifik mana pun.”

Perdana Menteri Solomon, Manasseh Sogavare, membenarkan adanya perjanjian tersebut, yang menyerukan kerahasiaan antara kedua negara, mengatakan bahwa “hegemoni liberal” Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya telah gagal.

Karena hegemoni liberal adalah kontradiksi, Manasseh Sogavare salah memahami satu atau kedua konsep. Liberalisme, sebagaimana diterapkan pada hubungan internasional, mendukung sebuah dunia demokrasi yang bebas dan mandiri  tanpa kekuatan hegemonik.

Karena Amerika Serikat sejak Perang Dunia I menjadi yang  demokrasi liberal terkuat di dunia, beban pelanggaran kepolisian melawan tatanan dunia liberal cenderung, tidak adil, jatuh pada Washington. Ini termasuk melawan Adolf Hitler, Josef Stalin, Mao Zedong, Xi Jinping, dan Vladimir Putin di seluruh Eropa dan negara-negara seperti Korea, Vietnam, Afghanistan, dan Ukraina, di mana Josef Stalin, Mao Zedong, Xi Jinping, dan Vladimir Putin mendukung ekspansi otoriter militer yang tidak liberal.

Beijing mendukung upayanya untuk menggantikan tatanan dunia liberal dengan hegemoni Partai Komunis Tiongkok sendiri dengan mengklaim bahwa tanggung jawab mahal ini, ditanggung oleh Washington sebenarnya merupakan bentuk hegemoni atau imperialisme, yang tidak bisa jauh dari kebenaran.

Sekretaris tetap Kementerian Kepolisian, Keamanan Nasional dan Layanan Pemasyarakatan Kepulauan Solomon, Karen Galokale, berupaya menganggap remeh rancangan perjanjian di bidang keamanan itu dalam sebuah komentar ke The Wall Street Journal, mengatakan, “Jika pernah ada … perjanjian semacam itu, itu akan sama saja seperti yang kita miliki dengan negara-negara seperti Australia.”

Tetapi, Karen Galokale menghindari fakta bahwa pengaturan apa pun di bidang keamanan dengan sebuah  kekuatan totaliter yang agresif adalah kebalikan dari perjanjian di bidang pertahanan   dengan sesama negara demokrasi. Melalui perjanjian di bidang keamanan dengan Beijing, pemerintah Kepulauan Solomon sedang menentang demokrasi, bukannya untuk mendukung demokrasi. Kepulauan Solomon sedang memilih untuk berpihak, dan pihak itu adalah Partai Komunis Tiongkok.

Amerika Serikat dan Australia sedang berusaha untuk melawan  penumbuhan pengaruh Beijing tidak liberal di Kepulauan Solomon, melalui pendekatan  insentif yang besar untuk meningkatkan kegiatan ekonomi secara regional. Amerika  Serikat berencana untuk membuka Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kepulauan Solomon, di mana saat ini  hanya ada Konsulat Amerika  Serikat. Kedutaan Besar Amerika Serikat terdekat saat ini di Port Moresby, Papua Nugini, lebih dari 800 mil dari Honiara, ibukota Kepulauan Solomon.

Namun demikjian, bahkan perbaikan-perbaikan diplomatik dan ekonomi yang direncanakan ini, yang merupakan bagian strategi sikap mendua yang diperlihatkan pemerintahan Joe Biden yang seharusnya tidak meminta negara-negara untuk memihak melawan Beijing, terlalu lemah untuk menghentikan pertumbuhan pengaruh regional dan internasional Partai Komunis Tiongkok.

Lebih buruk lagi, meningkatkan keterlibatan ekonomi dengan penghargaan  perilaku buruk Kepulauan Solomon. Berdasarkan insentif jangka pendek yang merugikan, negara-negara lain secara rasional akan menyimpulkan bahwa merundingkan sebuah pangkalan Tentara Pembebasan Rakyat mungkin juga memberi keuntungan ekonomi dari demokrasi kepada mereka.

Sebaliknya, Beijing memiliki suatu pendekatan disinsentif yang berat terhadap politik-politik internasional, sanksi atau bahkan menyerang negara-negara yang melintasi Partai Komunis Tiongkok. Di Februari, Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat menyorotkan sebuah laser tingkat militer ke sebuah kapal  pesawat pengintai Australia di atas perairan teritorial Australia sendiri.

Selama lima tahun terakhir, Tiongkok juga menyerang pesawat-pesawat Amerika Serikat. Laser-laser tersebut dapat merusak penglihatan para pilot dan jelas-jelas merupakan  provokasi militer terhadap ketentuan keamanan global yang sejak akhir Perang Dunia II sudah sepatutnya dipimpin oleh negara-negara demokrasi.

Upaya Beijing untuk memperluas pengaruh dan kegiatan militernya di Kepulauan Solomon, atau di mana pun, harus ditentang dengan lebih keras oleh Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan negara demokrasi lainnya di kawasan itu, melalui hukuman. Melakukannya akan membutuhkan komitmen yang lebih besar oleh para pemimpin demokratis di kawasan tersebut untuk mengakui Taiwan daripada Beijing. Tetapi hal itu juga akan membutuhkan permintaan disiplin yang lebih banyak  di antara negara-negara seperti Kepulauan Solomon, yang seharusnya diperkirakan akan menolak tawaran ekonomi atau militer dari Beijing.

Para pemimpin dan negara-negara yang membiarkan dirinya digunakan oleh kekuatan totaliter seperti Tiongkok, harus dienyahkan dari kekuasaan, dengan dorongan Barat dan sekutunya, dan sanksi ekonomi  untuk membimbing negara mereka kembali ke jalan yang mendukung demokrasi tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga di tingkat global.

Jika situasi di Kepulauan Solomon menurun ke tingkat militer Tentara Pembebasan Rakyat yang dekat dengan sekutu negara demokrasi yang penting seperti Australia, orang-orang yang percaya pada membela kebebasan harus mendukung blokade laut di Kepulauan Solomon.

Pada titik tertentu, harus bertarung melawan kekuatan totaliter  seperti Tiongkok, atau kekuatan totaliter itu akan terus berkembang secara geografis dan militer, sehingga merugikan masa depan demokrasi. (Vv)

Anders Corr memiliki gelar sarjana/master dalam ilmu politik dari Universitas Yale (2001) dan gelar doktor dalam bidang pemerintahan dari Universitas Harvard (2008). Dia adalah kepala sekolah di Corr Analytics Inc., penerbit Journal of Political Risk, dan telah melakukan penelitian ekstensif di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Buku terbarunya adalah “The Concentration of Power: Institutionalization, Hierarchy, and Hegemony” (2021) dan “Great Powers, Grand Strategies: the New Game in the South China Sea” (2018).