Serangga Berusia 250.000 Tahun Menantang Teori Evolusi

Lily Kelly

Para peneliti dari University of Melbourne telah menemukan bahwa pemahaman evolusi saat ini mungkin tidak benar setelah sebuah penelitian pada spesies belalang kuno Australia mengungkapkan wawasan baru tentang kerajaan hewan

Para peneliti menemukan bahwa Warramaba virgo, yang menggunakan reproduksi   partenogenetik—suatu   bentuk reproduksi oleh betina dari spesies yang dapat mengembangkan telur menjadi embrio tanpa pembuahan—sama suksesnya dengan kerabatnya yang bereproduksi secara seksual.

Penulis utama makalah penelitian, Prof. Michael Kearney mengatakan dalam rilis berita Universitas Melbourne bahwa temuan penelitian ini penting karena menantang pemahaman teori evolusi saat ini. Teori evolusi, seperti sekarang ini, menunjukkan bahwa reproduksi seksual memiliki keunggulan dibandingkan partenogenesis.

“Kebanyakan spesies di Bumi memiliki dua jenis kelamin, jantan dan betina, yang mencampurkan gen mereka saat bereproduksi. Metode reproduksi ini dianggap dapat meningkatkan keragaman genetik dan keberhasilan ekologi suatu spesies,” kata Kearney.

“Spesies partenogenetik dalam teori evolusi seharusnya menderita parasit dan banyak mutasi buruk. Namun studi kami tidak menemukan hal itu pada W. virgo dibandingkan dengan spesies belalang lain yang bereproduksi secara seksual.”

“Bahkan, W. virgo berhasil menyebar dari barat ke timur Australia, tidak seperti kerabat seksualnya.”

Rekan penulis  makalah  ini,  Prof. Ary Hoffmann juga mencatat bahwa reproduksi melalui interaksi pria-wanita dapat membutuhkan lebih banyak upaya. 

“Menemukan pasangan membutuhkan waktu dan energi serta dengan peningkatan risiko predasi. Jika kita bisa menyingkirkan pejantan dan masih memiliki keturunan yang layak dan spesies itu tumbuh subur, lalu mengapa kita repot-repot dengan seks?” kata Hoffmann.

Tujuan Reproduksi Seksual dalam Teori Evolusi

Warramaba virgo adalah belalang hijau “batang korek api”—subfamili belalang tanpa sayap—yang asli dan terbatas di Australia. Mereka terdiri dari sekitar 250 spesies dan diberi nama karena penampilannya yang seperti batang korek api.

Kearney mengatakan dalam sebuah email kepada The Epoch Times bahwa perkembangbiakan  aseksual dari jenis belalang yang sukses itu sebelumnya disebut secara teori mengembangkan mutasi yang buruk dan kecenderungan parasit karena ketidakmampuan mereka untuk mengacak gen melalui reproduksi pria-wanita. Ketidakmampuan untuk mengacak gen berarti bahwa dari waktu ke waktu kondisi perkembangan suatu spesies dapat merosot akibat tidak dapat mengikuti evolusi.

“Parasit dan penyakit dapat berevolusi dengan cepat dan satu gagasan tentang keuntungan seks adalah memungkinkan spesies mengembangkan pertahanan baru yang mampu dengan cepat melawan mereka.”

Kearney mengatakan bahwa masalah lain yang timbul melalui perkembangbiakan aseksual adalah bahwa mutasi dapat terus meningkat.

“Spesies yang bereproduksi secara seksual dapat menggabungkan dua mutasi buruk yang berbeda menjadi satu individu dan ketika individu itu mati, mutasi tersebut hilang dari kumpulan gen,” katanya.

“Spesies partenogenetik tidak dapat melakukan ini sehingga mereka memba- ngun banyak mutasi buruk lebih cepat. Dalam jangka panjang, seharusnya hal ini menjadi masalah bagi 

spesies partenogenetik.”

“Namun pada belalang yang kami teliti, belum ada bukti terjadinya hal tersebut, pa- dahal perkiraan kami spesies belalang itu telah berumur 250.000 tahun,” lanjutnya.

Sejarah Warramaba virgo

Para peneliti memeriksa lebih dari 1.500 penanda genetik W. virgo untuk menilai keragaman genetik spesies dan menemukan hampir tidak ada perbedaan dibandingkan dengan kerabatnya yang bereproduksi secara seksual.

“Spesies ini tampaknya telah berkem- bang dari hanya satu klon yang sangat sukses,” katanya.

Sebuah artikel Pursuit yang ditulis oleh Kearney dan Hoffman mengatakan bahwa dari jumlah dan sifat mutasi yang terkumpul pada belalang, tim peneliti memperkirakan bahwa aseksual diciptakan sekitar 250 ribu tahun yang lalu. Kurangnya variasi dalam W. virgo menunjukkan bahwa spesies tersebut diciptakan melalui kasus tunggal perkembangbiakan antarspesies antara belalang W. whitei dan belalang W. flavolineata.

Tim peneliti telah mempelajari spesies ini selama 18 tahun, tetapi studi tentang belalang ini telah dilakukan sejak 1962, ketika putra ahli biologi dan genetika, Profesor Michael White, menemukannya. Putra White, Nicholas, menemukan belalang di dekat Kota New South Wales, Hillston, dan memberitahu ayahnya bahwa dia tidak dapat menemukan sang pejantan.

White mengonfirmasi bahwa spesies itu partenogenetik dan menetapkan bahwa spe- sies itu ada di Australia Barat, 2.000 km dari Hillston.

Spesies ini mendiami bagian selatan zona kering Australia, memakan tanaman asli seperti pohon mulga serta semak-semak di musim panas.

Mengapa Reproduksi Seksual Begitu Umum

Meskipun beberapa spesies bereproduksi melalui partenogenesis di Australia, secara umum, spesies partenogenetik masih sangat langka.

“Penelitian kami mengusulkan, kelangkaan ini kemungkinan besar terjadi karena kendala di wilayah asal dibandingkan dengan laju kepunahan yang cepat,” kata Kearney.

Para peneliti telah berusaha untuk memproduksi W. virgo dengan membiakkan W. whitei dan W. flavolineata bersama-sama, tetapi spesies hibrida yang diciptakan tidak mengembangkan partenogenesis. Kearney dan Hoffman mengatakan bahwa partenogenesis mungkin merupakan fenomena yang sangat langka, umumnya, karena keadaan hibrida cukup mengganggu proses perkembangan telur normal.

Namun, sebuah artikel di The Conversation mengajukan penjelasan lain, yang menunjukkan bahwa alasan mengapa reproduksi partenogenetik sangat langka adalah karena sifat reproduksi seksual yang menetap. Artikel tersebut membahas kemungkinan bahwa reproduksi seksual menjadi lebih umum bukan karena merupakan strategi yang lebih baik tetapi karena sulit untuk menyingkirkan proses itu setelah sebuah spesies berkembang.

Manusia dan Partenogenesis

Partenogenesis pada homo sapien sangat tidak mungkin untuk menjadi kenyataan.

Menurut Kearney, mamalia lebih kecil kemungkinannya daripada serangga untuk bereproduksi secara aseksual karena mereka memiliki sesuatu yang disebut “pencetakan genom”. 

“Pencetakan genom adalah di mana gen tertentu tidak aktif kecuali mereka berada di lingkungan wanita, dan gen lain kecuali mereka berada di lingkungan pria, tidak aktif,” ujar Kearney.

“Jadi embrio tidak dapat berkembang secara partenogenesis dari satu telur atau dua telur yang menyatu karena tidak semua gen yang dibutuhkan untuk perkembangan yang sukses telah diaktifkan,” kata Kearney. “Hal ini bertindak sebagai ‘perlindungan’ bawaan dari partenogenesis yang berkembang, meskipun tidak jelas mengapa pencetakan genom berevolusi.”

Lebih lanjut, Kearney dan Hoffman mengatakan bahwa setiap penelitian masa depan tentang reproduksi seksual harus mengeksplorasi apa yang mencegahnya punah dibandingkan dengan keunggulannya semata.

Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal Science. (osc)