Komandan Indo-Pasifik AS : Tiongkok Meningkatkan Persenjataan Nuklir, dengan ‘Penumpukan Militer Terbesar dalam Sejarah’

Aldgra Fredly

Komandan Indo-Pasifik AS  memperingatkan bahwa persenjataan nuklir Tiongkok yang berkembang menimbulkan ancaman bagi stabilitas kawasan, dengan ambisi Beijing mengejar “penumpukan militer terbesar dalam sejarah” sejak Perang Dunia II.

Laksamana John Aquilino, komandan Indo-Pasifik AS, membuat pernyataan tersebut menyusul perlawanan Tiongkok terhadap pakta pertahanan Australia, Inggris, dan AS (AUKUS), yang akan mempersenjatai Australia dengan kapal selam bertenaga nuklir. Beijing mengatakan akan menimbulkan risiko proliferasi nuklir.

“Jika Anda ingin berbicara tentang senjata nuklir dan kepedulian terhadap perlombaan senjata nuklir, yang harus Anda lakukan adalah melihat ke RRT [Republik Rakyat Tiongkok],” kata Aquilino pada konferensi pers di Indonesia.

“Satu-satunya negara yang meningkatkan persenjataan nuklir saat ini adalah RRT,” katanya, seraya menambahkan bahwa Tiongkok memiliki “300 silo nuklir yang masuk” saat konferensi berlangsung, demikian The Washington Times melaporkan.

Menurut lembar fakta yang dirilis oleh Departemen Pertahanan AS tahun lalu, percepatan pembangunan nuklir Tiongkok dapat memungkinkannya  memiliki hingga 700 hulu ledak nuklir pada 2027.

Laporan tersebut menyatakan bahwa Tiongkok dapat merencanakan untuk memiliki setidaknya 1.000 hulu ledak pada tahun 2030, melebihi proyeksi awal AS pada  2020.

“RRT mungkin telah membentuk ‘triad nuklir’ yang baru lahir dengan pengembangan air-launched ballistic missile  (ALBM) berkemampuan nuklir dan peningkatan kemampuan nuklir berbasis darat dan laut,” katanya.

Aquilino berada di Indonesia untuk latihan Super Garuda Shield, latihan militer gabungan tahunan yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama regional. Lebih dari 5.000 tentara dari Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Singapura, dan Australia berpartisipasi dalam latihan tersebut, yang diadakan dari 1 Agustus hingga 14 Agustus.

Kanada, Prancis, India, Malaysia, Korea Selatan, Papua Nugini, Timor Leste, dan Inggris bergabung sebagai negara pengamat. Washington mengatakan bahwa latihan tersebut tidak terfokus pada negara mana pun.

Pakta Pertahanan AUKUS

Beijing menuduh negara-negara AUKUS tidak memperhatikan “risiko proliferasi nuklir secara serius” yang memperingatkan dapat merusak “perdamaian dan keamanan di kawasan.”

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Zhao Lijian mengatakan dalam konferensi pers 29 Juli bahwa berbagi informasi nuklir tidak boleh diizinkan kecuali semua pemangku kepentingan di Badan Energi Atom Internasional setuju dan jika badan tersebut mengawasi kesepakatan tersebut.

Komentar dari Beijing datang ketika PBB mengadakan Konferensi Peninjauan Kesepuluh Para Pihak Perjanjian tentang Non-Proliferasi Senjata Nuklir (1 Agustus hingga 26 Agustus), yang akan meneliti AUKUS setelah permintaan peninjauan diajukan oleh Tiongkok dan Indonesia.

Tetapi Australia  mengatakan bahwa komitmennya terhadap perjanjian itu tidak goyah, maka itulah sebabnya akan berusaha mendapatkan senjata dengan cara yang paling transparan.

Asisten Menteri Pertahanan Tim Ayres mengatakan pada konferensi pada 2 Agustus bahwa Australia bekerja dengan regulator dan komunitas nuklir internasional untuk mempertahankan “Pasifik yang bebas senjata nuklir dan independen.”

“Ketiga mitra [AUKUS] berkomitmen untuk menegakkan kewajiban hukum kami dan untuk memperkuat integritas rezim non-proliferasi. Kami tidak hanya akan menegakkan tetapi memperkuat integritas rezim,” katanya. (asr)

Victoria Kelly-Clark berkontribusi pada laporan ini.