Perang Teknologi AS-Tiongkok : AS dari Bertahan Berubah Menyerang

Xia Yu

Seiring dengan baru saja diloloskannya undang-undang baru yakni “Chips & Science Act” yang bernilai USD 280 Milyar itu (4.151 triliun rupiah), serta pengetatan lebih lanjut terhadap pengawasan ekspor produk hi-tech, sejumlah analisa menilai bahwa dalam perang teknologi antara AS (Amerika Serikat) dengan Tiongkok yang semakin sengit, pihak AS telah mengubah orientasi terhadap PKT (Partai Komunis Tiongkok) dari bertahan berubah menjadi menyerang. 

Walaupun Beijing menginvestasikan dana raksasa, tapi karena korupnya internal PKT, menyebabkan produksi keping chips RRT (Republik Rakyat Tiongkok) gagal mencapai sasaran.

Di bawah kepemimpinan mantan Presiden Trump, AS mulai secara luas memperketat pengawasan ekspor, untuk memutus mata rantai bagi para raksasa teknologi RRT termasuk Huawei memperoleh perlengkapan dan peranti lunak yang krusial dan presisi. Presiden Biden tidak hanya telah melanjutkan upaya ini, bahkan dalam beberapa aspek lainnya semakin memperluas upaya ini.

Rezim RRT selalu menghabiskan banyak uang untuk mengembangkan produk hi-tech termasuk kepingan chips, juga menghalalkan berbagai cara seperti serangan internet, merekrut dan mengirimkan mata-mata, untuk mencuri teknologi dan rahasia dagang dari negara Barat secara menyeluruh. Ini membuat negara Barat termasuk Amerika Serikat menjadi waspada, dan mulai mengambil langkah antisipasi.

UU Chips dan Pengetatan Pengawasan Ekspor

Sekarang AS sudah mulai mengobarkan serangan di bidang semi konduktor, minggu lalu (9/8) Biden telah menandatangani “Chips & Science Act”, yang bertujuan memperkuat industri semi konduktor di AS, serta memanfaatkan pengawasan ekspor, audit investasi dan subsidi besar bagi perusahaan non-RRT, untuk membuat Beijing semakin sulit memperoleh teknologi semi konduktor yang canggih.

Pada 13 Agustus lalu Bloomberg memberitakan, JPMorgan Chase memprediksi, kapasitas produksi chips di AS dari 37% pangsa pasarnya pada 1990 telah turun menjadi hanya 12% tahun lalu. Akan tetapi, kondisi seperti ini mungkin akan berubah pada akhirnya, lantaran seiring dengan adanya “Chips & Science Act”, Kementerian Perdagangan AS yang mulai menginvestasikan USD 52,7 Milyar (781 triliun rupiah) untuk meneliti, mengembangkan, juga membuat dan mengembangkan tenaga kerja demi tujuan tersebut.

Menteri Perdagangan Gina Raimondo menyatakan, dana federal baru akan menimbulkan efek berganda, karena perusahaan akan memanfaatkan subsidi tersebut untuk menarik lebih banyak lagi dana dari sektor swasta. Raimondo berkata, semoga akan dapat membuka lagi keran sebesar USD 20 Milyar (296 triliun rupiah) hingga USD 400 Milyar (5.927 triliun rupiah).

Analis bernama Guarav Gupta dari lembaga riset dan konsultan semi konduktor yakni Gartner kepada media cetak Nikkei Asian Review menyatakan, walaupun data (dana) awal mungkin tidak akan mengalami perubahan yang menyeluruh, tetapi sinyal bahwa AS sedang mensubsidi industri chips di dalam negerinya sangatlah penting.

 Pada Jum’at (12/8) lalu AS juga mengumumkan pemberlakukan pembatasan ekspor terhadap empat jenis teknologi, keempatnya merupakan pendukung bagi teknologi semi konduktor dan produksi generator turbin gas, AS menyebutkan keempat teknologi ini sangat krusial bagi keamanan nasional AS.

 Asisten Menteri Perdagangan yakni Thea D. Rozman Kendler yang bertanggung jawab atas masalah pengawasan ekspor mengatakan, Kementerian Perdagangan sedang berusaha melindungi keempat teknologi yang sudah dipastikan dalam peraturan ini, lewat mekanisme multilateral menerapkan berbagai tindakan pengawasan dan pengendalian, untuk mencegah teknologi tersebut pada akhirnya dimanfaatkan oleh pihak yang jahat.

 UU Chips Stimulus Perusahaan Semikonduktor Perkuat Produksi Dalam Negeri, Serta Mengurangi Investasi di Tiongkok

Dana yang disahkan melalui “Chips & Science Act” tidak hanya membuat perusahaan teknologi AS seperti Intel Corporation, Micron Technology, dan GlobalFoundries Inc. memperoleh manfaat, bahkan perusahaan milik negara sekutu juga rekan kerjasama AS, seperti Samsung Electronics dan SK Hynix juga akan turut merasakan manfaatnya. Program tersebut juga dapat membantu produsen chips terbesar di dunia yakni Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC). Analis menyatakan, walaupun biaya produksi AS akan tetap lebih tinggi daripada proyek di luar negeri, tapi UU (Undang Undang) baru itu akan membantu membuat kebijakan stimulus dalam segala aspek yang dianggap penting.

 Bloomberg memberitakan, Direktur Riset Teknis Asia dari JPMorgan Chase yakni JJ Park mengatakan, “Diperkirakan undang-undang tersebut akan menstimulus cadangan dalam negeri dan perusahaan chips yang logis untuk meningkatkan produksi chips di dalam negeri”, dan berpendapat UU tersebut akan dapat mendorong produsen dalam negeri Korea Selatan tidak lagi menempatkan produksinya di Tiongkok, namun akan beralih mendukung produksi di Amerika Serikat atau di Korea Selatan.

 Micron Technology pada 9 Agustus lalu mengumumkan, pihaknya merencanakan investasi senilai USD 40 Milyar (593 triliun rupiah) hingga akhir 2030, untuk membangun fasilitas “produksi memori yang paling canggih” di AS secara bertahap. Micron menyatakan, UU Chips sangat membantu meningkatkan kapasitas produksi chips oleh Micron di dalam negeri AS, dari yang dulunya hanya 2% dari pangsa pasar global saat ini, maksimal dapat meningkat hingga 10%, membuat AS menjadi pusat riset dan produksi tercanggih di dunia.

 Surat kabar Financial Times pada 3 Agustus lalu memberitakan, sebelum Mei lalu berstatus sebagai pejabat perekonomian Korea Selatan yang sekarang Menteri Perdagangan yakni Yeo Han-Koo menyatakan, “penyesuaian kembali” strategi para produsen chips Korea Selatan terhadap AS dan RRT telah dimulai.

 Berita menyebutkan, sejumlah tokoh yang mendalami pandangan kedua perusahaan tersebut menyebutkan, aturan pada UU chips tersebut menyebabkan Samsung dan SK Hynix mempertimbangkan kembali bisnis mereka di Tiongkok. Seorang pejabat senior Korea Selatan menambahkan, seiring dengan bergulirnya waktu, sejumlah investasi produksi chips Korea Selatan terhadap Tiongkok mungkin akan “dibatalkan”.

 Bagi Beijing, mungkin secara khusus menyoroti tindakan pemosisian diri kembali dari industri semi konduktor Taiwan terhadap AS, saat ini TSMC telah membangun pabrik senilai USD 12 Milyar (178 triliun rupiah) di Arizona, Amerika Serikat, selain itu dalam hal penjualan produknya kepada Tiongkok mengalami tekanan dari pihak AS.

 Beberapa hari lalu Bloomberg menerbitkan sebuah artikel yang menyebutkan, ketika Ketua Kongres AS Pelosi berkunjung ke Taiwan, Presdir TSMC Mark Liu dan pendiri TSMC Morris Chang ketika bertemu dengan Pelosi beserta Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen, sikap mereka yang netral telah lenyap, TSMC telah memilih Amerika, tapi ini bukan berarti Beijing akan berdiam diri, mereka kemungkinan akan menggunakan sanksi-sanksi lainnya.

 Akan tetapi, Kepala Kebijakan Teknologi dari Albright Stonebridge Group yakni Paul Triolo belum lama ini dalam podcast-nya menyatakan, di satu sisi lewat pengendalian ekspor, AS sedang “mengupas bagian yang krusial dalam keseimbangan teknologi” (peeling off a critical piece of the technology equation). Di sisi lain, UU baru “sedang menarik perusahaan Taiwan untuk membangun pabriknya di Amerika”.

 PKT Gelontorkan Dana Raksasa Untuk Mengembangkan Teknologi Chips, Namun Gagal Karena Korup

Pakar permasalahan Tiongkok dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) merangkap penasihat senior yakni Scott Kennedy menyatakan, dalam hal tertentu, kebijakan yang mendukung industri dalam skala terbatas yang tercakup dalam UU Chips mungkin merupakan hal baik.

 Dalam laporannya minggu ini Kennedy menyebutkan, dukungan dana raksasa oleh Beijing terhadap industri semi konduktor dan teknologi canggih yang lebih luas lainnya, telah menyebabkan pemborosan yang sangat besar. 

“Karena dana telah mengalir ke perusahaan yang tidak memenuhi syarat, lalu perusahaan tersebut menggunakan dana itu untuk berinvestasi di bidang properti, apalagi perusahaan yang mengelola dana semi konduktor nasional sangat korup, hal ini seharusnya sudah tidak mengherankan”, imbuhnya.

 Sebelumnya Bloomberg juga memberitakan, ketika pejabat RRT melakukan audit perkembangan industri semi konduktor pada Juli lalu, mereka merasa sangat frustrasi karena perkembangan yang telah direkayasa dan investasi yang tidak memperoleh hasil yang diharapkan.

 Harapan Beijing adalah, setelah investasi yang sangat besar, industri chips RRT tidak hanya melampaui standar internasional, tapi juga dapat melangkah menuju swa-teknologi. Artikel Bloomberg itu menjelaskan, chips terbaik Tiongkok hanya mampu mendekati standar saingannya beberapa tahun lalu, ini berarti, perkembangan chips di Tiongkok tertinggal sangat jauh dari sasaran yang hendak dicapai.

 Kesimpulan

Kader berbakat adalah satu kendala terbesar bagi PKT dalam mengembangkan industri chips. Beijing berhasil merekrut tidak sedikit tenaga ahli berbakat dari Taiwan, tapi fenomena kekacauan industri chips di Tiongkok justru menjadi kendala untuk mempertahankan para ahli tersebut. 

Sebagai contoh, Chiang Shang-Yi selaku mantan Co-Chief Operating Officer TSMC, setelah kedua kali pensiun dari TSMC pada 2013, dan pada 2016, dirinya menjabat sebagai direktur independen pada Semiconductor Manufacturing International Co. (SMIC) milik RRT, hal itu sempat menggemparkan industri semikonduktor dunia. 

Setelah mengundurkan diri dari jabatan direktur independen SMIC, Chiang beralih menjadi CEO di Wuhan Hongxing Semiconductor Manufacturing Corp (HSMC); tak lama kemudian HSMC mengalami masalah keuangan, lalu pada akhir 2020 Chiang pun kembali menjadi wakil direktur dan CEO di SMIC, namun kurang dari 1 tahun dia pun akhirnya mengundurkan diri, meninggalkan SMIC. 

Pada Maret tahun ini, diwawancarai saat berada di Computer History Museum (CHM) tentang pengalamannya itu, Chiang menyatakan keputusannya bergabung dengan SMIC adalah keputusan yang keliru, juga merupakan salah satu keputusan paling bodoh yang pernah dilakukan seumur hidupnya.

 Di sisi lain, setelah “Chips & Science Act” resmi berlaku, ketepatan hantaman AS terhadap PKT akan semakin meningkat drastis. Selain banyak perusahaan chips akan “memilih berpihak” di antara AS dengan RRT; apalagi, dengan mengandalkan posisinya yang lebih unggul, AS akan mendobrak pola dan pembagian kerja industri chips dunia, dan merangkai ulang rantai industri chips global. 

Jika benar demikian, maka kesenjangan antara RRT dengan AS akan semakin melebar. Ada orang yang bahkan bertanya, pada saat itu apakah PKT masih dapat melihat lampu rem Amerika Serikat? (sud)