PKT Ingin Tiru Cara Dinasti Qin Berjaya di Tiongkok Tapi Mempercepat Hengkangnya Perusahaan Barat

NTD

Di bawah pengendalian ketat yang diterapkan otoritas Tiongkok terhadap penyebaran epidemi, virus COVID-19 selain tidak mau dikendalikan malahan muncul di berbagai tempat di Tiongkok. Sedangkan panjang pendeknya waktu serta ketat longgarnya pembatasan pencegahan epidemi yang dilakukan oleh pihak berwenang setempat lebih bergantung pada kebutuhan politik dan data mengenai jumlah kasus yang dilaporkan ke pusat pemerintahan. Situasi yang tidak menentu inilah yang membuat perusahaan asing yang beroperasi di Tiongkok memperkecil skala bisnisnya untuk menghindari risiko kerugian.

Data resmi pemerintah Tiongkok pada 21 September menyebutkan bahwa meskipun pemerintah daerah patuh dalam melaksanakan kebijakan Nol Kasus Infeksi jangka panjang, tetap masih terdapat kasus infeksi baru di 20 provinsi Tiongkok. Provinsi-provinsi seperti Guizhou, Heilongjiang dan Daerah Otonomi Tibet berada di peringkat tiga teratas. Karena itu kontrol penyebaran yang ekstrem masih perlu terus dilakukan di seluruh wilayah.

Selama Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-20 (mulai 1 hingga 20 Oktober), otoritas ibu kota Beijing wajib memperkuat inspeksi keamanan dan desinfeksi terhadap kiriman paket ekspres, melarang keras penerbangan drone. Selain itu, selama liburan dan perayaan hari jadinya RRT, para warga sipil di berbagai kota besar dan provinsi seperti Beijing, Shanghai, Guangzhou, Jiangxi, Zhejiang dan lainnya dihimbau untuk tetap berada di tempat atau melakukan perayaan di tempat, tidak melakukan perjalanan jarak jauh. Sebuah komunitas di Kota Zigong, Sichuan, baru-baru ini dijadikan percontohan dalam manajemen pengontrolan penyebaran epidemi yang disebut “1 positif 10 rumah tangga jadi suspek”. Hal ini telah menimbulkan perdebatan panas masyarakat.

Zhang Tianliang, seorang pakar sejarah dan budaya mengatakan dalam video channel “Tianliang Time” : “Sistem yang diterapkan otoritas Tiongkok sekarang mengingatkan kita pada sistem hukum yang menggunakan pendekatan hukuman kolektif yang diluncurkan oleh Adipati Xiao dari Qin (381 SM – 338 SM) setelah Reformasi Shang Yang (356 SM) pada era Dinasti Qin. (Red. Setelah Reformasi Shang Yang, Dinasti Qin menjadi makmur dan kuat, ia meletakkan dasar bagi kekuatan solid Dinasti Qin di Zaman Negara-Negara Berperang (475 SM – 221 SM), dan memainkan peran penting dalam kejayaan Dinasti Qin). Dengan kata lain bahwa pemerintah Tiongkok ingin memperketat pengontrolan terhadap masyarakat dengan mengikuti teori hukuman kolektif. Jadi jika satu orang dalam keluarga menimbulkan masalah, maka 10 keluarga lainnya menjadi suspek”.

Pengusaha kaya Taiwan Robert Tsao mengatakan : “Yang ada dalam kepalanya (Xi Jinping) cuma hal-hal yang diberikan Mao Zedong kepadanya di masa lalu, Revolusi Kebudayaan, Buku Merah Kecil dan Kutipan Mao, jadi benaknya tidak berkesempatan untuk menyentuh konsep peradaban modern”.

Kebijakan Nol Kasus yang terus diperketat, serta meningkatnya ketegangan geopolitik telah meningkatkan risiko pemisahan ekonomi, dan mempercepat hilangnya bakat dan industri dari Tiongkok.

Tiga laporan terakhir menunjukkan bahwa investasi perusahaan-perusahaan Eropa di daratan Tiongkok menurun secara tajam. “Kamar Dagang Eropa di Tiongkok” menunjukkan bahwa setelah pecahnya epidemi, tidak ada lagi perusahaan Eropa baru yang bersedia masuk ke Tiongkok, Orang-orang Barat sudah kehilangan minat untuk berinvestasi di Tiongkok. Agence France-Presse melaporkan bahwa Kamar Dagang Eropa mengecam kebijakan Nol Kasus Tiongkok yang dianggap “tidak fleksibel” dan “tidak konsisten dalam pelaksanaannya”. Kondisi tersebut telah merugikan sekitar 75% perusahaan Eropa di Tiongkok.

Albert Park, Kepala Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan : “Pada tahun 2022 dan 2023, pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia tidak termasuk Tiongkok  diperkirakan mencapai 5,3%, yang berarti telah melampaui PDB Tiongkok untuk pertama kalinya selama 30 tahun terakhir”.

Bulan ini, dalam pertemuan tingkat menteri G7. para menteri sepakat untuk mengambil sikap yang lebih keras terhadap Beijing.

Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck mengatakan : “Kami tidak akan lagi naif terhadap komunis Tiongkok. Kami telah menyadari bahwa ketergantungan pada mitra yang kurang dapat diandalkan adalah ancaman bagi kemakmuran bangsa-bangsa, juga menjadi ancaman bagi perdagangan dunia”. (sin)