Rekrut 300.000 Serdadu Untuk Balikkan Situasi Perang di Ukraina?

The Epoch Times

Presiden Putin pada Rabu (21/9) lalu menandatangani “Perintah Mobilisasi Militer Parsial”, untuk merekrut 300.000 orang serdadu. Namun menurut analisa pakar, penempatan ratusan ribu prajurit sepertinya dapat menyelesaikan masalah kurangnya personel militer Rusia, tapi tidak akan mampu menyelesaikan isu-isu strategis dalam meningkatkan sistem pertempuran Rusia untuk membalikkan situasi pertempuran di Ukraina.

Rekrut 300.000 Serdadu, Namun Masalah Krusial Yang Rugikan Pasukan Rusia Tak Dapat Diselesaikan

Pada Rabu lalu Putin menyampaikan pidato lewat siaran televisi, mengumumkan “Perintah Mobilisasi Militer Parsial” merekrut pasukan cadangan, untuk melindungi warga Rusia dari “ancaman kolektif Barat”. Menhan Rusia kemudian menambahkan, dalam mobilisasi ini hanya akan merekrut 300.000 orang, serta diumumkan serdadu Rusia yang telah gugur di medan perang Ukraina hingga hari ini sebanyak 5.937 orang.

 Pada akhir Februari 2022 lalu, pasukan Rusia menginvasi Ukraina dan mendapat perlawanan dari tentara dan warga setempat, belakangan ini mereka terus menerus mengalami kekalahan dan terdesak mundur. 

Sejak awal September lalu, pasukan Ukraina berhasil merebut kembali mayoritas wilayah negara bagian Kharkiv di timur laut Ukraina yang sempat dikuasai Rusia pada masa awal perang, menyatakan telah merebut kembali 8.000 km persegi wilayah kedaulatannya.

Kemenhan AS pada awal Agustus lalu memperkirakan, jumlah korban di pihak Rusia yang tewas di medan perang Ukraina adalah sekitar 70.000 hingga 80.000 orang. Di awal perang, Rusia telah mengerahkan sekitar 160.000 sampai 190.000 orang serdadu di perbatasan Ukraina.

 Terhadap aksi perekrutan serdadu oleh Rusia, berbagai pengamat berpendapat, menempatkan ratusan ribu serdadu di ajang perang Ukraina tampaknya dapat mengatasi masalah kurangnya kekuatan pasukan Rusia, namun tidak dapat mengatasi masalah jaminan logistik dan lain sebagainya yang mengakibatkan kekalahan pasukan Rusia di Ukraina.

 VoA pada Sabtu (24/9) lalu memberitakan, sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari silam, pasukan Rusia telah mengungkap sejumlah masalah di pihaknya sendiri, termasuk rendahnya semangat juang serdadunya, isu komando dan kendali, serta jaminan pasokan logistik. Pasukan Rusia tidak mampu merebut ibukota Kiev pada Maret lalu, kemudian pada April juga sulit meraih perkembangan yang berarti di Donbas, dalam banyak hal karena terkendala isu-isu di atas.

 Isu Strategis Sistemik yang Meningkatkan Kemampuan Tempur

Juru bicara Pentagon Brigjend AU Patrick Ryder Kamis (22/9) lalu dalam konferensi pers di Kemenhan mengatakan, “Yang perlu dijelaskan adalah, walaupun perintah (mobilisasi) ini dalam banyak hal mungkin dapat menyelesaikan isu kurangnya serdadu di pihak Rusia, namun saat ini belum bisa dipastikan apakah tindakan ini mampu mengatasi masalah kendali dan komando (pasukan Rusia) serta jaminan logistiknya.”

 Ia berkata, jika tidak mampu mengatasi isu strategis sistemik, dan menambah pasukan tidak akan membuat masalah menjadi lebih mudah.

 Ryder mengatakan, walaupun Rusia dengan cepat merekrut banyak personil, Rusia tetap butuh waktu untuk melatih tentara cadangan tersebut, mempersiapkan dan melengkapinya agar siap untuk diterjunkan di medan perang. Ada analisa mengatakan, Rusia mungkin membutuhkan waktu beberapa minggu, bahkan beberapa bulan untuk dapat melatih anggota baru agar siap ditempatkan di medan perang.

Minggu lalu, National Defense University AS merilis sebuah laporan investigasi, pasukan Rusia sangat minim akan kemampuan dan pengalaman tempur, termasuk pasokan logistik dan perawatan dan pemeliharaan yang stabil, pasukan darat juga tidak bisa mendapatkan perlindungan udara, apalagi di dalam pasukannya sebanyak 80% hingga 85% di antaranya adalah anggota wajib militer 7 bulan.

Sedangkan di pihak Ukraina jelas sangat berbeda. Sejak awal perang ini Ukraina telah melakukan mobilisasi militer penuh, dan sekarang telah menampakkan hasilnya.

Menurut data dari International Institute for Strategic Studies (IISS) Inggris, di awal perang Ukraina memiliki 200.000 orang tentara aktif, kemudian lewat perekrutan dan sistem prajurit sukarela, anggota baru itu lalu mendapat pelatihan di Ukraina atau di Polandia dan Inggris. Setiap bulan sebanyak 5.000 orang prajurit baru ukraina menerima pelatihan militer dan pelatihan lainnya di Inggris.

 Teknik Militer Yang Buruk

Selain itu, VoA mengatakan, dalam hal teknik militer Rusia juga sangat buruk. AS dan negara Barat lainnya telah memberikan bantuan militer yang besar bagi Ukraina, termasuk senjata, latihan prajurit, dan intelijen.

Menurut berita, AS baru-baru ini telah memasok HARM (High-speed Anti-Radiation Missiles) bagi Ukraina. HARM adalah rudal udara ke darat yang dapat ditembakkan dari pesawat ke darat. Jarak jelajah terjauh dapat menjangkau stasiun peluncuran radar yang berjarak 145 km jauhnya, dan menembak dengan akurat.

 Semangat Tempur Prajurit Rusia Yang Semakin Menurun

Ryder berkata, “Yang lebih penting lagi adalah, mampukah pasukan Rusia mengatasi masalah semangat tempurnya di medan perang Ukraina.”

Seiring dengan bertambahnya korban tewas di pihak Rusia, sikap warga Rusia terhadap perang ini telah berubah. Dari hari ke hari semangat tempur pasukan Rusia semakin menurun. Foto yang memperlihatkan pasukan Rusia yang kalah dan lari tunggang langgang menyelamatkan diri telah beredar luas di media massa Barat.

 Selain itu, Rusia yang telah menempatkan pasukan wajib militer sejak awal perang, setelah jumlah korban terus meningkat, khawatir rakyat akan bergejolak, serdadu bayaran atau bekas narapidana pun dikerahkan ke medan perang. Orang-orang seperti ini tidak memiliki kesiapan mental untuk berkorban demi membela negara dan hal ini tidak bisa dibandingkan dengan pasukan Ukraina.

Kali ini begitu perintah mobilisasi Rusia dikeluarkan, puluhan kota di Rusia telah meletus aksi unjuk rasa anti perang, puluhan ribu pemuda Rusia pun telah berebutan menyerbu bandara dan perbatasan karena hendak meninggalkan Rusia. (sud)