Pakar Rusia: De-dolarisasi dan Menggantinya dengan RMB Bisa Menemui Jalan Buntu

Song Tang

Selama bertahun-tahun, Rusia dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) terus menerus berusaha mengurangi ketergantungan mereka terhadap penyelesaian global dengan mata uang dolar AS (Amerika Serikat) dalam transaksi energinya. Setelah Rusia menginvasi Ukraina, Barat memberikan sanksi finansial terhadap Rusia, dengan mengeluarkan Rusia dari sistem SWIFT, maka Rusia pun mulai mencoba menggunakan mata uang RMB (Ren Min Bi, mata uang RRT) sebagai mata uang cadangan.

Tapi nilai tukar RMB dikendalikan oleh bank sentral RRT, aturannya tidak jelas, juga tidak sepraktis dan bisa menguntungkan seperti mata uang cadangan USD (Dollar Amerika Serikat) atau Euro, beberapa pakar Rusia menyampaikan keraguan dan kekhawatiran mereka terhadap RMB, serta berpendapat jika Rusia hendak sepenuhnya meninggalkan mata uang cadangan dan mata uang transaksi utama dunia, sama saja dengan bunuh diri ekonomi.

 Rusia Hendak Menerapkan “De-Dolarisasi”

Rusia hendak melakukan “de-dolarisasi” sudah bukan hal baru, pernyataan ini dapat ditelusuri hingga era 1990-an abad lalu, hingga tiba tahun 2018, Moskow telah mempunyai sebuah rencana “de-dolarisasi”.

 Sebelum Perang Rusia-Ukraina meletus pada 24 Februari lalu, Deputi Dewan Keamanan Federasi Rusia yakni Dmitry Medvedev menyatakan, jika operasional Istana Kremlin dengan menggunakan mata uang USD mengalami kendala, maka Moskow dapat sepenuhnya menggunakan RMB dan Euro.

 Tetapi setelah meletusnya perang Rusia-Ukraina, tidak hanya Amerika, Uni Eropa dan badan ekonomi besar lainnya telah melarang Moskow menggunakan mata uang mereka, Rusia pun hanya bisa menggunakan RMB, sebagai pengganti USD dan Euro.

 Pada 6 September lalu, perusahaan gas alam Rusia mengumumkan, pasokan gas alam ke RRT dikalkulasi dengan mata uang Rubel dan RMB. Kemudian pada 7 September, pada Eastern Economic Forum, Putin menyatakan, perusahaan gas alam Rusia dan pihak RRT telah memutuskan menggunakan rasio 50:50 antara Rubel dan RMB untuk menyelesaikan pembiayaan gas alam.

 Akibat sanksi ekonomi yang kian hari kian parah, “de-dolarisasi” menyeluruh dalam perekonomian Rusia tinggal masalah waktu saja, demikian pernyataan Putin pada 12 September. Sedangkan sebelum pidato Putin tersebut, suatu pernyataan dari Kementerian Keuangan Rusia menyebutkan, “Rusia tak lagi membutuhkan USD untuk dijadikan sebagai mata uang cadangan”, Rusia harus menggunakan mata uang yang disebutnya dari “negara bersahabat” seperti RMB, untuk dijadikan sebagai mata uang cadangan.

 Reuters memberitakan, sejak April hingga Juli tahun ini saja, minyak bumi yang dibeli oleh RRT dari Rusia telah meningkat 17% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, gas alam cair yang dibeli dari Rusia telah meningkat lebih dari 50%, dan batu bara yang dibeli telah meningkat 6%. Hingga saat ini, total nilai dari minyak bumi, gas alam, batu bara, dan juga daya listrik yang dibeli oleh RRT dari pihak Rusia telah mencapai USD 43,68 milyar dollar (664 triliun rupiah).

 Pakar Ekonomi Terkenal Rusia: Ada 3 Risiko Atas Peningkatan Penggunaan RMB

Pada 27 September lalu wadah pemikir AS yakni Jamestown Foundation merilis artikel yang menyebutkan, walaupun Putin dan sejumlah pejabat setuju dengan penggunaan RMB, tapi banyak pakar dan pejabat Rusia lainnya yang menyampaikan keraguan dan kekhawatiran mereka terhadap penambahan porsi RMB dalam transaksi finansial Rusia.

 Artikel tersebut mengutip rekomendasi penasihat ekonomi Putin yakni Maxim Oreshkin yang dimuat di media massa Rusia bahwa mata uang cadangan harus dalam mata uang Rubel dan bukan mata uang lainnya, bahkan mata uang RMB dari “negara yang bersahabat” sekalipun.

 “Pandangan saya sangat jelas, USD dan Euro seharusnya diganti dengan Rubel, bukannya dengan mata uang lain”, ia bahkan meragukan RMB dapat menjadi mata uang cadangan yang cocok bagi Rusia, “Tiongkok adalah sebuah negara dengan defisit anggaran 5% dari PDBnya, tahun ini PDBnya adalah 5,1%.”

 Komisi Manajemen VTB Bank yakni Andrey Kostin, pada saat berpidato pada Eastern Economic Forum berkata, sisi negatif dari penggunaan RMB adalah akan timbul risiko ketergantungan berlebihan terhadap mata uang negara Tiongkok, dan nilai tukarnya ditentukan oleh “karakteristik UU finansial Beijing yang unik”.

Ekonom terkenal Rusia yakni Stanislav Mitrakhovych menganalisa, saat Rusia menambah ketergantungannya terhadap mata uang RMB, maka Rusia akan menghadapi tiga risiko.

 Pertama, Rusia tidak memiliki infrastruktur untuk bertransaksi dalam RMB, ada kesulitan transaksi. Untuk saat ini, jika berinvestasi pada RMB, mungkin tidak dapat diambil, khususnya dalam kondisi tidak tahu menahu sistem transfer dengan mata uang RMB.

 Kedua, pengendalian berlebihan oleh PKT terhadap RMB. Berbeda dengan pengalaman Rusia dalam menangani devisa asing, USD dan Euro merupakan mata uang di negara pasar bebas, sedangkan nilai RMB selalu dikendalikan oleh PKT. Oleh sebab itu, pada saat dibutuhkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor, pemerintah RRT dapat dengan mudah menentukan nilai tukar RMB, ini mungkin akan menjadikan Rusia sebagai “sandera” bagi kepentingan PKT.

 Ketiga, RMB belum menjadi mata uang yang sepenuhnya independen, masih terhubung dengan mata uang utama dunia lainnya, untuk saat ini, melulu hanya mengandalkan mata uang RMB, mungkin akan berisiko.

 RMB Adalah Semacam Mata uang cadangan Yang Relatif Tertutup

Asisten dosen dari Plekhanov Russian University of Economics yakni Diana Stepanova kepada Regnum News Agency menyampaikan kekhawatiran yang sama, “Hingga kini, selain tabungan di sejumlah bank dan obligasi tunggal, hampir tidak ada instrumen investasi untuk RMB. Dewasa ini Rusia sangat kekurangan akan berbagai instrumen investasi terhadap RMB, ini masih saja menjadi kelemahan serius dalam membeli mata uang RMB.”

 Stepanova berkata, “Jika kondisi ekonomi Tiongkok memburuk, maka People’s Bank of China mungkin akan tiba-tiba melemahkan RMB, ini akan menyebabkan RMB melemah dan investasi dalam RMB mengalami penyusutan. RMB masih merupakan semacam aset investasi yang terbatas, semacam mata uang cadangan yang relatif tertutup, yang sangat tergantung pada pengendalian devisa asing oleh People’s Bank of China.”

 Setelah negaranya dilarang bertransaksi dengan menggunakan mata uang USD dan Euro, para ekonom Rusia telah mulai menyadari, bekerjasama dengan mata uang cadangan yang transparan ternyata jauh lebih aman, dan juga lebih menguntungkan.

 Pakar ekonomi Rusia yakni Sofia Donets mengeluhkan, dahulu, para ekonom dan pakar finansial Rusia dapat dengan mudah membaca peraturan yang ringkas dalam Bahasa Inggris, The Fed bahkan terus memberikan informasi tentang risiko dan sisi negatif dari mata uang USD. Sekarang bekerjasama dengan PKT, aturannya tidak jelas, informasi yang diberikan oleh PKT jauh lebih sedikit daripada yang hendak kami ketahui.

 Analis Rusia: Sepenuhnya Meninggalkan Mata uang cadangan Utama Dunia dan Mata Uang Transaksi Adalah Tindakan Bunuh Diri Ekonomi

Faktanya, sejumlah masalah yang dikhawatirkan oleh pakar ekonomi dan keuangan Rusia, sedang berubah menjadi kenyataan.

 Pihak Rusia mau tak mau harus mengakui, Moskow mengemukakan niatnya mempererat jalinan kerjasama dengan RRT, namun tidak mendapatkan dukungan penuh dari Beijing.

 Realitanya, penguasa PKT tidak ingin mengubah aturan dalam negeri, yakni dengan mengizinkan para investor Rusia melakukan operasionalnya dengan obligasi yang diedarkan oleh pihak Rusia. Sebaliknya, PKT lebih percaya pada “Obligasi Panda” yang diinvestasikan oleh para investor asing di Tiongkok, obligasi itu pada dasarnya hanya dijual di pasar dalam negeri Tiongkok. Selain itu, pakar Rusia khawatir, karena 17% dari cadangan devisa adalah dalam RMB, Istana Kremlin tidak akan dapat sewaktu-waktu menarik modalnya pada saat dibutuhkan, sehingga terbelenggu oleh PKT.

 Analis dari FG Finam yakni Andrey Maslov berpendapat, “Tetapi ekonomi Rusia dari dulu hingga sekarang masih merupakan bagian penting dari sistem dunia, dengan sepenuhnya meninggalkan mata uang cadangan utama dunia dan mata uang untuk bertransaksi adalah tindakan bunuh diri ekonomi.”

 Pakar menyatakan, dibandingkan dengan mata uang cadangan USD dan Euro, likuiditas dari mata uang non-cadangan sangat rendah, dan memiliki risiko ekonomi serta nilai tukar. Justru karena itu, sistem perbankan di berbagai negara terbiasa menggunakan mata uang cadangan dalam transaksi luar negeri, kecuali apabila ada keharusan, jika tidak maka mereka tidak akan membuka rekening dengan mata uang lain. Walaupun pada kondisi luar biasa, menyetujui penggunaan mata uang non-cadangan untuk bertransaksi, biasanya pihak lainnya juga akan diminta untuk memberikan diskon.

 Mata uang cadangan akan lebih praktis dalam bertransaksi dagang dibandingkan dengan mata uang non-cadangan, lebih menguntungkan. Walaupun secara teknis bisa saja dilakukan, mata uang non-cadangan akan sangat sulit digunakan saat bertransaksi dagang dengan negara lain. Misalnya perusahaan Tiongkok tidak akan dapat menggunakan Rubel Rusia untuk membeli produk dari Turki, ketika perusahaan Rusia berdagang di India, tidak dapat menggunakan Lira Turki untuk melakukan pembayaran. (sud)