Mitos yang Hancur Lebur, Nilai Tukar Renminbi Anjlok

Shi Shan

Pada 28 September lalu, nilai tukar  RMB (Renminbi, mata uang RRT)  terjun bebas hingga menyentuh atau turun sebesar 878 basis poin dibandingkan hari sebelumnya, sedangkan nilai tukar RMB offshore anjlok hingga menembus angka 7,26. 

Dalam setahun terakhir, RMB telah turun sekitar 12%. Hal ini menarik perhatian dari banyak pihak. Pada 29 September lalu, Tiongkok mengeluarkan sinyal kuat melindungi RMB, sehingga nilai tukar RMB sedikit merangkak naik.

Jatuhnya nilai tukar RMB ini, akan menimbulkan beberapa permasalahan besar bagi Tiongkok. 

Masalah pertama adalah, jika dihitung dengan mata uang USD, PDB dan PDB perkapita akan mengalami “pertumbuhan negatif”, misalnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebesar 3%, maka jika dihitung dengan mata uang USD akan terjadi pertumbuhan negatif 9%, hal ini akan menjadi kondisi yang sangat sulit untuk dijelaskan oleh Departemen Propaganda RRT. 

Dulu,perekonomian Tiongkok melampaui AS, tidak hanya karena digoreng oleh para pakar mereka, sebagian akademisi di luar negeri juga beranggapan demikian, tapi begitu RMB anjlok, maka angka ini pun akan sulit untuk dihitung.

Masalah kedua adalah berdampak terhadap ekspektasi para investor. Sederhananya, modal besar yang diinvestasikan di Tiongkok, harus mempertimbangkan risiko nilai tukar mata uang, jika ekspektasi turunnya RMB benar terjadi, akan membuat investor menjadi lebih hati-hati. 

Jika setahun sebelumnya Anda berinvestasi USD di Tiongkok, dikonversikan ke RMB akan mendapatkan keuntungan  modal 5%, akibatnya pada saat ditukar kembali ke USD, malahan telah berkurang 10%, tentu saja ini adalah investasi yang merugikan. 

Oleh sebab itu, Li Keqiang di saat bicara soal ekonomi disebutkan mengenai “enam stabilitas” dan “enam jaminan”, di antaranya adalah “stabilkan ekspektasi” dan “jaminan ekspektasi” adalah sangat penting, karena bagi pemodal asing, ekspektasi arah pergerakan nilai tukar RMB, akan sangat menentukan investasi mereka.

Ketiga, anjloknya RMB, juga menimbulkan masalah inflasi impor (imported inflation, red.). Ekonomi Tiongkok sangat bergantung pada perdagangan luar negeri, ia adalah negara pengimpor terbesar dunia dalam bidang: Minyak bumi, bahan pangan, semikonduktor, dan lain sebagainnya. Anjloknya RMB berarti biaya produksi dalam negeri akan menanjak, yang menyebabkan kenaikan harga barang.

Keempat, beban biaya akibat pengeluaran modal (capital expenditure, red.) yang meningkat drastis. Saat ini Tiongkok memiliki utang luar negeri sebesar USD 2,7 triliun (41.285 triliun rupiah), di antaranya utang yang jatuh tempo tahun ini dan tahun depan adalah mayoritas. Anjloknya nilai tukar RMB, itu berarti beban biaya bagi perusahaan dan lembaga finansial Tiongkok meningkat drastis.

Masalah utang luar negeri, sebagian besar adalah utang instansi dan lembaga pemerintah. Khususnya lembaga pemerintah, misalnya utang luar negeri pemerintah tingkat provinsi atau kota, akan mengalami tekanan yang teramat besar. Sebab sepanjang tahun ini pendapatan pemerintah daerah Tiongkok menurun. Untuk membayar utang dalam mata uang USD, harus menukar 12% lebih banyak dengan mata uang RMB dibandingkan sebelumnya, ini berarti semakin memperunyam masalah.

Ini hanya masalah teknis saja, dengan kata lain, kencangkan ikat pinggang, dengan hidup hemat, dan pengiritan, masalah ini masih bisa diatasi. Tetapi bagaimana jika nilai tukar RMB terus anjlok? Jika tekanannya terus-menerus membesar hingga tahap tertentu, ekonomi akan mengalami situasi kemerosotan yang bersifat kehancuran, maka pasti akan menimbulkan lebih banyak masalah yang serius.

Sebenarnya, beberapa waktu lalu pada suatu masa, menguatnya mata uang USD telah menjadi topik yang disoroti seluruh dunia, Beijing juga sangat khawatir dan mencemaskan hal ini. Sejak pertengahan tahun ini, media massa resmi RRT kerap memublikasikan berbagai macam artikel, yang isinya mengutuk “hegemoni dolar AS”, termasuk belum lama ini di New York, Menlu RRT, Wang Yi juga mengkritik AS telah memanfaatkan “hegemoni dolar AS” untuk merampas kekayaan negara lain.

Apakah hegemoni dolar AS itu memang eksis? Faktanya, memang benar eksis. Namun hegemoni dolar AS tidak eksis secara tunggal, karena ada penyebab sejarah dan realitanya. Penyebab sejarah adalah pasca PD-II mata uang dunia membentuk sistem Bretton Woods, untuk menstabilkan transaksi internasional dan mengurangi risiko, maka mata uang USD dan emas dijadikan sebagai patokan. Sistem Bretton Woods sudah runtuh di era 1970-an, mata uang USD dan emas pun kemudian decoupling, tapi mata uang USD masih menjadi mata uang utama dalam transaksi internasional.

Sekarang dalam cadangan devisa berbagai negara di dunia, mata uang USD masih mencakup bobot 60%, lebih dari 60% penyelesaian transaksi internasional menggunakan mata uang USD, sekitar 45% mata uang USD dipergunakan di luar wilayah AS, terutama semua perhitungan produk komoditas menggunakan mata uang USD, misalnya minyak bumi.

Tapi kondisi semacam ini tidak seperti “hegemoni” yang dipaksakan, melainkan ditimbulkan oleh sistem internasional pasca PD-II, Amerika Serikat sebagai badan ekonomi terbesar dunia memiliki kekuatan militer dan pengaruh politik yang paling kuat, juga memainkan peran menjaga ketertiban internasional di seluruh dunia, semua ini adalah pondasi yang harus ada dalam “hegemoni dolar AS”.

Dulunya di dunia ini bukan tidak pernah eksis hegemoni mata uang lain, contohnya mata uang rubel Uni Soviet. Organisasi yang disebut Comecon atau Council for Mutual Economic Assistance yang dipimpin oleh Uni Soviet, secara hukum menetapkan mata uang transaksi menggunakan rubel. Pada masa puncaknya negara yang menjadi anggotanya mencapai belasan negara Eropa, dan belasan negara lainnya dari Asia termasuk RRT, Afrika, dan juga Amerika Latin hampir saja menjadi anggotanya. 

Tetapi mengapa organisasi ini kemudian jatuh? Uni Soviet juga sebagai negara pemenang utama dalam PD-II, kekuatan militernya juga sama kuat, ketika kapasitas ekonominya paling besar pernah mencapai 70% lebih dari Amerika, namun mengapa sistem transaksi rubel tidak bisa berhasil, dan tidak terjadi “hegemoni rubel”? Hal ini tentu ada hubungannya dengan sistem ekonomi yang sama sekali berbeda. 

Negara-negara tersebut adalah negara dengan sistem ekonomi terencana, mata uang dan rakyat semua negara sama-sama tidak bebas, nilai tukar antara mata uang, pada dasarnya “direncanakan” oleh Uni Soviet, yang secara langsung hanya menguntungkan dirinya saja, bahkan pasar pun tidak digunakan. Begitu terjadi transaksi antar-negara, lalu ditemukan terjadi kerugian, maka diri sendiri “merencanakan” mata uangnya masing-masing.

Jadi, “hegemoni dolar AS” sebenarnya adalah hasil dari semacam sistem ekonomi bebas. Ia beroperasi berdasarkan perilaku pasar. Hal ini agak mirip dengan bursa efek, di dalam bursa efek terdapat berbagai macam transaksi insider trading dan konspirasi, tapi secara keseluruhan bursa itu relatif adil, ketika skala pasar membesar hingga taraf tertentu, sangat sedikit orang yang mampu “mengendalikan”-nya.

Seperti artikel yang diterbitkan kantor berita Xinhua News Agency Juli lalu, dengan mewawancarai seorang ekonom Meksiko sekaligus Direktur Institut Pengembangan Industri dan Pertumbuhan Ekonomi Meksiko (Instituto para el Desarrollo Industrial y el Crecimiento Económico), Jose Luis de la Cruz Gallegos, yang menuding The Fed menaikkan suku bunga yang berdampak buruk bagi perekonomian Meksiko. 

Akademisi ini mengatakan, kenaikan suku bunga oleh The Fed telah mengakibatkan merosotnya perekonomian AS, sedangkan kemerosotan ekonomi AS juga akan menyeret perekonomian Meksiko menjadi ikut turun, khususnya terwujud dalam hal pengiriman uang luar negeri, pariwisata, dan finansial. Pasar dalam negeri AS yang tidak bergairah, konsumsi serta investasi juga akan terus melemah, dan sebagai negara sumber impor Amerika, produksi industri Meksiko juga menghadapi penurunan demand.

Dengan kata lain, “hegemoni dolar AS” adalah disebabkan karena orang AS sedikit mengeluarkan uang, sehingga berdampak pada ekspor Meksiko. Tetapi The Fed tentu saja hanya mempertimbangkan kepentingan AS, menurut kata orang AS, dolar AS adalah milik kami, masalah itu adalah milik kalian. Jika Anda ingin adanya lembaga seperti The Fed AS memperhatikan Anda, maka sebaiknya Anda tidak menggunakan mata uang peso lagi, gantilah dengan mata uang dolar AS, dan lebih baik menggabungkan diri dengan AS.

Belakangan ini indeks USD terus menguat, selain karena The Fed menaikkan suku bunga, juga karena ada faktor perang. Rusia memobilisasi perang, bahkan mengancam penggunaan senjata nuklir, kapital seluruh dunia pun pada hengkang diungsikan ke AS, inilah penyebab menguatnya dolar AS. Belum lagi adanya masalah petro-dolar. Mengapa transaksi minyak bumi Timur Tengah menggunakan dolar AS, selain karena dulu AS membeli paling banyak minyak bumi, juga karena AS adalah satu-satunya kekuatan yang mampu menjaga perdamaian di Timur Tengah.

Siapakah yang mampu menjaga kedamaian di kawasan produsen minyak bumi Timur Tengah selain AS? Tiongkok beserta Uni Soviet dan Rusia sekarang jelas tidak mampu. Konflik antar-negara di Timur Tengah sangat besar, seperti antara Iran dan Arab Saudi, antara negara Arab dengan Israel, antara sesama negara Arab sendiri, sulit untuk menyelesaikan konfliknya. Pasca PD-II, keberadaan pasukan AS di Timur Tengah, pada dasarnya telah menjaga perdamaian umum di kawasan tersebut.

Oleh karena itu, di balik hegemoni dolar AS, tentu saja dikarenakan adanya satu-satunya kekuatan militer yang besar yang dapat dengan cepat ditempatkan di berbagai penjuru dunia, yakni pasukan AS, juga adanya sebuah sistem dan aturan yang relatif adil.

Dikatakan relatif adil, maksudnya tentu saja orang Amerika juga mengutamakan kepentingannya sendiri. Dulu, Charles de Gaulle (Presiden Prancis 1959-1969) sangat membenci AS yang meraup keuntungan dengan dolar AS, juga pernah membeli emas dengan semua cadangan devisanya. Namun pondasi ekonomi zaman sekarang adalah mata uang kredit, mungkinkah dunia kembali ke era mata uang logam mulia? Itulah sebabnya sistem dolar AS adalah sistem terbaik yang bisa menjadi pilihan manusia modern saat ini.

Situasi global, yang disebut lama terpisah pasti akan menyatu, dan lama menyatu pasti akan berpisah, atau dikatakan lama berperang pasti akan damai, lama berdamai pasti akan perang. Sebelum AS, adalah eranya Kerajaan Inggris Raya, selama 65 tahun Ratu Victoria berkuasa, yang disebut sebagai Periode Damai Victoria, masa itu adalah hegemoni pound sterling Inggris. Setelah dua kali perang dunia, AS menjadi hegemon yang mendominasi dunia, maka muncullah hegemoni dolar AS.

Menilai dengan kepala dingin, sejak 1945 sampai sekarang, selama 77 tahun, boleh dibilang merupakan masa damai Amerika, di dunia ini tidak terjadi perang dunia yang berskala besar, umat manusia hidup di era yang relatif damai. Di era ini, jumlah populasi melonjak drastis, kekayaan juga meningkat pesat, kemiskinan jauh berkurang, usia rata-rata manusia juga meningkat, kemajuan teknologi semakin pesat, status warga negara lemah dari negara-negara kecil juga relatif meningkat.

“Reformasi Keterbukaan” oleh Deng Xiaoping, selalu menekankan harus senantiasa memanfaatkan kondisi eksternal di lingkungan dunia yang damai ini, memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk peningkatan ekonomi. Yang dimaksud di sini adalah masa damai Amerika ini.

Kembali ke Topik RMB

Sekarang PKT sedang menghadapi sebuah masalah yang sangat besar, perekonomian Daratan Tiongkok secara diametris bertentangan dengan ekonomi utama Barat. AS sedang mengalami perekonomian yang terlalu bergairah, inflasi parah, tingkat pengangguran rendah, maka itu harus menaikkan suku bunga.

 Sedangkan di RRT karena secara ketat harus menerapkan Zero COVID, mengakibatkan seluruh negeri menjadi berbalik arah, jadi sebaliknya, RRT sekarang justru sangat rendah tingkat pertumbuhan ekonominya, konsumsi sangat lesu, investasi tidak bergairah, dan tingkat pengangguran begitu tinggi, maka dari itu RRT harus mengurangi suku bunga untuk menstimulus ekonomi. 

Mengurangi suku bunga menyebabkan nilai tukar RMB menjadi anjlok, ekspektasi investasi pun berubah, nilai aset menyusut, tetapi jika mengikuti jejak AS dan Barat menaikkan suku bunga, itu berarti akan semakin memperunyam kondisi ekonomi yang sedang lesu, situasinya akan semakin memburuk.

Justru karena dilema yang saling berbenturan seperti inilah, maka media resmi RRT berturut-turut merilis artikel yang mengkritik “hegemoni dolar AS”. Tetapi The Fed tentu saja mengutamakan kondisi perekonomian AS, apakah pada saat RRT mengatur suku bunga RMB, akankah mempertimbangkan kondisi ekonomi negara AS atau negara lain? Tentu saja tidak.

Akan tetapi, PKT memiliki yang disebutnya “keunggulan sistem”, ia selain bisa lolos dari berbagai instrumen finansial dan keuangan, lolos dari berbagai aturan dan hukum, secara legal mengendalikan nilai tukar, juga bisa menggunakan cara-cara ilegal lainnya untuk mengendalikan hubungan permintaan dan pasokan antara RMB dengan USD. Misalnya melarang atau menunda mengalirnya akun modal valuta asing ke luar negeri, atau membatasi warga Tiongkok individu menggunakan mata uang asing, melarang warganya bepergian ke luar negeri, dan lain sebagainya.

Tapi di sisi lain, jika PKT memaksa mengendalikan nilai tukar RMB, maka akan menabrak sasaran strategis dan besar, yakni “internasionalisasi RMB”. Jadi saat ini, PKT akan mengambil langkah agak lunak, berusaha mengendalikan RMB agar tidak anjlok, setidaknya dalam suatu lingkup tertentu mencegah agar tidak menempuh cara keras dengan langsung memotongnya.

Maka dari itu RMB kemungkinan akan merosot secara perlahan, dan kembali ke level pada 2007 lalu, yakni sekitar 8 yuan (RMB )ditukarkan menjadi 1 dolar (USD), tapi jika terus merosot lagi, maka penguasa mungkin akan mengambil sejumlah tindakan drastis.

Sesungguhnya, melemah dan menguatnya mata uang, tidak begitu besar kaitannya dengan nilai tukar. Di era 1980-an, nilai tukar resmi 1 dolar (USD) terhadap RMB adalah sekitar 2,5 yuan, jauh lebih kuat daripada sekarang, tapi pada waktu itu RMB adalah mata uang yang sangat lemah, karena tidak bisa dipertukarkan dengan bebas, sama sekali bukan mata uang yang bisa diperjual-belikan bebas. Yang dimaksud dengan mata uang yang kuat, masih harus diwujudkan dengan sebuah lingkungan ekonomi yang terbuka dan bebas. Sementara serangkaian rancangan top terkait ekonomi yang diterapkan PKT saat ini, sepertinya justru sangat bertolak belakang. Jadi secara jangka panjangnya, RMB sama sekali tidak berjaya. (sud)