Warga Tibet Berunjuk Rasa dengan Taruhan Nyawa, Warga Lanzhou Dikarantina di Udara Dingin Ruang Terbuka

oleh Ruili, Li Shanshan, Hong Ning 

Pencegahan epidemi di sejumlah daerah semakin meningkat setelah para pejabat terasnya kembali dari Beijing untuk mengikuti Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis Tiongkok. Sebaliknya unjuk rasa warga sipil juga menjadi semakin banyak dan besar.

Warga sipil yang ikut berunjuk rasa di Kota Lhasa mengatakan : “Wouw, adu kekuatan, adu jotos”.

Pada 26 Oktober, penduduk di pusat Kota Lhasa yang lokasinya diblokir karena pencegahan epidemi turun ke jalan untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Tak lama setelah itu sejumlah besar polisi didatangkan ke TKP untuk melakukan pengamanan. Sumber berita mengungkapkan bahwa berkumpulnya sejumlah besar warga sipil mungkin saja akan memicu bentrokan dengan polisi, yang dapat membahayakan situasi seperti penembakan.

Seorang wanita bermarga Zhou mengatakan : “Kota Lhasa masih berada dalam situasi lockdown, semua toko tidak boleh buka. Seluruh komunitas juga dalam keadaan terblokir. Warga hanya bisa tinggal dalam rumah. Situasi demikian sudah berlangsung hampir 3 bulan. Benar-benar tidak tahan lagi. Sewa ruang harus dibayar, harga barang-barang di sini sangat mahal. Harganya semakin tinggi terutama setelah memberlakukan lockdown. Sumber ekonomi terputus selama hampir 3 bulan, bagaimana hidup ?”

Sejak bulan Agustus tahun ini Tibet menjalani lockdown. ICT (International Campaign for Tibet), organisasi HAM untuk Tibet melaporkan bahwa di bawah kebijakan lockdown dan karantina ketat yang diberlakukan oleh otoritas Tiongkok, warga Tibet mengalami “kesulitan hidup ekstrem”, dan setidaknya ada 5 orang yang menempuh jalan pintas dengan melompat dari gedung.

Radio Free Asia melaporkan pada 27 Oktober bahwa beberapa warga Tibet mengancam akan membakar diri sebagai protes jika otoritas Tibet tidak membebaskan lockdown.

Staf Rumah Sakit Xiehe di Kota Wuhan mengatakan : “Rumah Sakit Xiehe telah menghentikan operasi, tidak ada ahli medis yang praktik. Para warga diminta tidak berkumpul di sini dan segera pulang”.

Rumah Sakit Universitas Kedokteran Xiehe yang berada di Wuhan, kota pertama di dunia yang menyebarkan virus COVID-19 sudah menutup diri sejak 27 Oktober. Kota Wuhan yang dalam pekan ini setiap harinya ada kasus COVID-19 yang terdeteksi, mendesak otoritas setempat untuk mengambil langkah penutupan dan memaksa satu daerah yang berpenduduk lebih dari 800.000 orang untuk tinggal di rumah hingga akhir Minggu.

Warga Wuhan mengatakan : “Warga Wuhan benar-benar kesulitan. 2 malam lalu Wuchang kebobolan (ada warga yang terinfeksi COVID-19). Semalam giliran Hanyang kebobolan, benar-benar membuat orang kelabakan. Sekarang Wuhan berada dalam periode yang luar biasa, saya menyarankan semua orang agar menyiapkan makanan dan kebutuhan lainnya”.

Menurut berita yang beredar di media sosial, beberapa tempat penjualan daging babi di Wuhan diminta menangguhkan penjualan oleh pihak berwenang setelah mereka mengatakan bahwa ada satu kasus infeksi yang terkait dengan rantai pasokan daging babi lokal.

Beberapa hari lalu, sejumlah besar karyawan pabrik “Foxconn” di Kota Zhengzhou telah terdiagnosa positif COVID-19 karena infeksi silang di tempat isolasi terpusat.

Ms. Yan, seorang karyawati “Foxconn” di Zhengzhou mengatakan : “Ruangan penuh dalam semalaman. Asrama yang terbesar dihuni oleh 20 orang, sedangkan yang terkecil saja dihuni 8 orang”.

Beberapa hari yang lalu, di lokasi isolasi “Future Light of Evergrande”, beberapa karyawan tidak kebagian makanan, persediaan dalam supermarket seperti dijarah pembeli, dan konflik pecah antara karyawan dengan petugas berpakaian APD.

Karyawan pabrik juga mengungkapkan bahwa meskipun jumlah kasus positif di pabrik terus meningkat, kontak dekat yang langsung dan tidak langsung masih terus bekerja.

“Menjalankan tes asam nukleat selama tiga hari. Begitu terdapat hasil yang abnormal, Anda diminta untuk menjalani pengambilan sampel. Setelah itu, keesokan harinya Anda sudah diminta untuk bekerja, didesak untuk kerja”, kata Ms. Yan.

Hingga saat ini, situasi epidemi di Kota Lanzhou, Provinsi Ganshu, Kota Xining di Provinsi Qinghai, Kota Datong di Provinsi Shanxi juga berada di daftar pencarian panas Weibo. Suhu udara di Kota Lanzhou pada malam hari hanya sekitar 10 derajat Celcius, tetapi para pejabat setempat justru menjadikan tempat parkir mobil di lapangan terbuka sebagai tempat isolasi terpusat. 

“Untuk mengurangi risiko penularan, beberapa toko sayur dan buah-buahan telah ditutup dan orang-orangnya dikarantina”, kata seorang pejabat pemerintah Kota Xining pada Rabu (26 Oktober).

Kota berpenduduk 2,5 juta ini mengalami kekurangan pangan yang serius dan kenaikan harga barang-barang penting, karena langkah-langkah pihak berwenang dalam upaya mencegah penyebaran wabah.

Mr. Wang, warga Kota Xining mengatakan : “Saya masih berada dalam situasi terblokir. Kita sekarang sedang kekurangan sayuran, harganya sudah naik 1 kali lipat”.

Satu demi satu warga sipil mencari bantuan secara online, karena mereka tidak dapat membeli persediaan, kelaparan, kesulitan mencari perawatan medis, dan tidak dapat kembali ke rumah.

Menurut Informasi yang dirilis “Baidu”, bahwa tercatat hingga 26 Oktober malam, terdapat lebih dari 2.000 daerah berisiko tinggi COVID-19 di daratan Tiongkok. Tragedi karena lockdown kembali terjadi di kota-kota besar. Dan suara protes warga sipil terus bermunculan.

Warga Shenzhen mendesak otoritas : “Bebaskan pemblokiran, bebaskan pemblokiran !” (sin)