Apakah Anggota Politbiro Baru PKT Benar-benar Setia kepada Xi Jinping?

Zhou Xiaohui

Tak ada orang yang menyangkal, yang terpilih pada Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis Tiongkok (PKT) baik Komite Tetap Politbiro maupun anggota komite, satu indikator terpenting adalah: Semuanya adalah pejabat yang dipercaya atau dianggap “setia” dan sepenuhnya patuh pada Xi. 

Jelas, “kesetiaan” bawahan adalah prasyarat penting bagi Xi untuk mendapatkan rasa aman politik.

Beberapa tahun terakhir ini, dalam beberapa kali pidatonya Xi berulang kali menyinggung “kesetiaan”, berulang kali menekankan status inti dirinya, instansi terkait PKT bahkan mengeluarkan dokumen, meminta penerapan penilaian “dua penjagaan” dalam membimbing kader pemimpin agar dijadikan sebagai tuntutan utama. 

Yang disebut dengan “dua penjagaan” adalah memimpin bawahan menjaga “posisi Xi Jinping sebagai inti dari partai pusat dan posisi inti dari partai secara keseluruhan”, menjaga “Kewenangan Komite Sentral Partai dan kepemimpinan terpusat dan terpadu”. 

Oleh karena dengan adanya tuntutan semacam ini, sama sekali tidak aneh jika kita melihat dalam pembicaraan dari setiap pejabat tinggi maupun rendah, harus berulang kali menyebut “empat kesadaran”, “empat keyakinan”, dan “dua penjagaan”, seakan bila tidak begitu, dianggap tidak menyatakan kesetiaan kepada Xi Jinping. 

Tidak diragukan lagi, Komisi Tetap Politbiro dan anggota komisinya telah membuat Xi sangat puas dalam hal ini, di antaranya perkataan dari Sekretaris kota Tianjin yakni Li Hongzhong yang terkenal “jika kesetiaan tidak mutlak, maka pasti tidak setia”, kata-kata ini sepertinya sangat mendapat tempat di hati Xi Jinping.

Lalu, para pejabat yang menyerukan “kesetiaan” dan berupaya menyampaikan kesetiaannya kepada Xi Jinping, apakah benar dapat melakukan seperti yang disampaikan oleh media massa partai berupa “kesetiaan satu-satunya, tuntas, tanpa syarat, serta tanpa dicampur-aduk dengan kotoran apapun” dan kesetiaan yang murni?

Penulis pernah membaca anekdot politik Uni Soviet, dikatakan demikian: “Tuhan memberikan manusia tiga macam kualitas: kesetiaan, kecerdasan, dan sifat kepartaian, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memiliki ketiganya sekaligus. Karena manusia yang cerdas dan setia, tidak akan memiliki sifat kepartaian; jika dia setia dan bersifat kepartaian, maka tidak cerdas; jika seseorang cerdas dan memiliki sifat kepartaian, maka dia tidak setia. Para pejabat elite politbiro PKT ini tergolong kasus yang manakah?

Di mata penulis jika mereka tidak cerdas di arena birokrasi, maka tidak akan mampu berspekulasi terhadap maksud pemimpin, untuk kemudian setiap saat menyodorkan berbagai sanjungan dan kebohongan.  Jika mereka tidak mempunyai sifat kepartaian, dengan sendirinya mereka tidak mampu meraih kekuasaan di dalam kelompok geng hitam PKT. 

Oleh sebab itu, mereka yang cerdas dan memiliki sifat kepartaian, bagaimana mungkin setia? Sebenarnya, Eropa Timur dan sejumlah negara totaliter lainnya telah sejak lama menyimpulkan, yakni antara penguasa tertinggi dengan para pejabatnya tidak ada kesetiaan politik yang sesungguhnya, yang ada hanyalah perebutan kekuasaan dan pertukaran kepentingan saja.

Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang lain, tidak sedikit orang yang dipromosikan Xi adalah sekumpulan yesman, dalam bidang politik dan pemerintahan mereka tidak memiliki kecerdasan, alias bodoh, dan ini mungkin adalah salah satu alasan mereka bisa terpilih, karena “licik dan ketidakmampuan adalah jaminan kesetiaan politik yang paling dapat diandalkan”.

Lalu, apakah para pejabat tinggi yang kesetiaannya bukan berasal dari lubuk hatinya itu tidak akan pernah setia pada Xi? Tidak juga. 

Di bawah kekuasaan mutlak Xi, mereka pasti harus tunduk kepada Xi, bukan semata karena mereka dipromosikan oleh Xi, juga karena Xi memegang rahasia banyak pejabat tinggi, dan melalui sistem pengawasan modern Xi telah memperketat pengawasan terhadap pejabat tinggi. 

Mereka lebih memahami bahwa masa depan karir mereka sepenuhnya tergantung pada tingkat kesetiaan mereka pada Xi.

Akan tetapi, masalahnya adalah, ketika terjadi perubahan situasi dan kondisi, ketika kekuasaan mutlak Xi menemui tantangan yang paling besar, ketika tiba saatnya keruntuhan PKT, ketika kepentingan mereka mungkin saja dirugikan, apakah mereka masih tetap memilih untuk setia pada Xi? 

Apakah mereka akan mempertaruhkan nyawanya demi membela kekuasaan Xi? Mentalitas seperti apakah yang ada pada diri mereka sebenarnya?

Lima dasawarsa lalu, seorang warga AS bernama Hedrick Smith pernah menjadi kepala kantor wartawan surat kabar New York Times di Moskow. 

Waktu itu Uni Soviet masih dalam periode kekuasaan Leonid Brezhnev, yang secara internal diberlakukan pengendalian yang sangat ketat, dan kaum oposisi ditekan; secara eksternal diberlakukan ekspansi global, dan berebut hegemoni dengan AS. Untuk itu, masyarakat Uni Soviet menjadi suram, dan korupsi merajalela. 

Di bawah situasi seperti itu, dengan mengandalkan observasinya yang begitu cermat dan interaksi dengan rakyat jelata, Smith telah memahami sisi sebenarnya dari masyarakat Uni Soviet, dan 4 tahun pasca kembalinya ke AS ia menulis buku berjudul “The Russians”.

Dalam buku itu, ia menjelaskan mentalitas para pejabat komunis Soviet yang aneh. Dia menemukan, faktanya adalah sangat sedikit orang yang percaya pada ideologi komunisme, bahkan pemimpin komunis Soviet sendiri tidak lagi mempercayainya. 

Setelah Uni Soviet runtuh, keponakan perempuan Brezhnev yang bernama Lyubov Brezhneva dalam memoarnya juga telah membuktikan bahwa hasil observasi Smith tersebut benar adanya. Dia mengemukakan, Brezhnev sendiri pernah berkata pada adiknya: “Apa itu komunisme, itu hanya omong kosong untuk membujuk rakyat saja.” 

Jelas sekali, seorang pemimpin komunis Soviet dengan mempropagandakan ideologi yang tidak banyak dipercaya orang, tujuan utamanya hanya untuk melindungi kekuasaannya saja, dan hanya demi melindungi kekuasaannya sendiri. 

Sedangkan pejabat berbagai tingkatan, berbagai tokoh dalam sistem internalnya, juga sama saja dan tidak mempercayai ideologi pemerintah. Bahkan di dalam hati mereka penuh dengan rasa antipati, namun setiap orang harus terus memainkan perannya masing-masing saat tampil di hadapan publik: Mendukung sang pemimpin, dan mengulang-ulang kata-kata usangnya.

Dalam buku tersebut juga dilukiskan tipe tipikal para pejabat komunis Soviet: Kaum oportunis yang bergaya sinisme. Pejabat semacam ini merupakan sosok kumpulan rumit yang penuh dengan kontradiksi. 

Di satu sisi saat berbincang dengan teman-temannya mereka akan mengkritik politik aktual dan menghujat korupsi, seolah-olah dirinya adalah reformator; di sisi lain, mereka merasa bangga akan politik di negaranya, merasa puas dan bangga karena bisa berada di dalam lingkup kekuasaan. 

Di satu sisi mereka mengetahui betapa mengerikannya masa pemerintahan Stalin, dan juga tidak mau kembali ke masa itu; tapi di sisi lain mereka juga merasa bangga karena Stalin telah membangun sebuah negara imperial merah yang besar itu dengan mengandalkan kekuasaan tangan besi. 

Di satu sisi mereka senang berbagi dengan orang lain akan keterbukaan pikiran mereka, dan sama sekali tidak percaya pada dogma pemerintah; tapi di sisi lain mereka mahir menutupi pandangan pribadi mereka, dan bangga akan kemahiran mereka berorasi dalam rapat internal partai. 

Maka dari itu Smith menyimpulkan: “Setiap individu asalkan tunduk dan patuh, tidak menantang ideologi secara terbuka, tak peduli percaya atau tidak, semuanya bukan masalah krusial.”

Hal ini sangat mirip dengan Tiongkok saat ini. Para pejabat yang baru terpilih itu sebenarnya tidak ada yang percaya pada pikiran Marx, Lenin dan Mao, tidak ada yang percaya pada “2442” (salah satu slogan politik Xi Jinping), di dalam hati mereka sangat memahami betapa PKT sangat licik, memalukan dan jahat. 

Bahkan mungkin diam-diam dalam pembicaraan pribadi pun mereka pernah mengungkapkan perasaan muak itu, tapi demi mempertahankan kekuasaan di tangan, demi kepentingan pribadinya, di depan publik mereka tetap saja menyerukan mendukung “inti”, tidak bosan-bosannya mengulang omong kosong, kata-kata klise, dan kebohongan, berupaya dengan segala daya upaya mempertahankan sistem ini, tidak mau menyerahkan kepentingan pada rakyat.

Bagi para pejabat PKT yang memiliki beberapa set mulut dan wajah itu, selama mereka tidak menantang ideologi, tidak menantang “inti”, maka akan dapat terus eksis di dalam sistem, namun tidak perlu diragukan, para pejabat yang tampaknya setia itu, yang aslinya menjunjung tinggi oportunisme itu juga bisa pada saat yang krusial ikut menguburkan PKT.

Ketika Uni Soviet runtuh pada 1991, mayoritas pejabat Uni Soviet yang merupakan oportunis memilih berpangku tangan, dan menerima fakta runtuhnya komunis Soviet. Seperti yang dikeluhkan oleh Xi Jinping sebelumnya: Berdasarkan rasio anggota partai, kala itu jumlah anggota partai komunis Soviet melampaui kita, namun pada saat itu tidak ada satupun lelaki jantan, yang berani tampil untuk melawan.

Mungkin Xi Jinping juga bakal menyaksikan sendiri, pada saat PKT runtuh nanti, para pejabat yang setiap hari meneriakkan yel-yel “setia” kemungkinan besar juga tidak akan ada yang maju ke depan untuk memperjuangkannya, karena para pejabat penganut oportunisme itu, termasuk para perwira militer, pasti akan bergerak mengikuti arah angin, pasti tidak akan tampil ke depan untuk membela partai ini, apalagi membela Xi Jinping, untuk melakukan tindakan sebagai apa yang disebut “lelaki jantan”.

Itu sebabnya, harapan Xi Jinping agar para pejabat bawahannya mutlak setia pada dasarnya adalah tidak mungkin, sumpah janji kesetiaan yang diperolehnya hanyalah kebohongan, kesetiaan yang hanya untuk menyenangkan hatinya saja, kesetiaan yang hanya bisa ditukarkan dengan kepentingan, kesetiaan yang hanya didapatkan di bawah ketakutan pada kekuasaan, kesetiaan yang sejati sama sekali tidak ada hubungannya dengan kekuasaan. (sud)