Faktor Penyebab Credit Suisse Terjebak Krisis Kebangkrutan

DR Frank Tian Xie

Perang Rusia-Ukraina yang sudah dimulai sejak Februari tahun ini, hingga kini telah berlangsung 8 bulan lebih. Perang yang berlangsung hingga hari ini, telah membuat Ukraina mengalami banyak kerusakan dan di ambang kehancuran, kini bahkan harus menghadapi kemungkinan terpecahnya wilayahnya. 

Ini dikarenakan, dukungan bagi Ukraina terutama berasal dari NATO, khususnya AS (Amerika Serikat), namun apakah kelompok oposisi AS bersedia untuk terus mendukung Ukraina, semakin lama sudah semakin banyak bermunculannya pertentangan. 

Hasil pemilu paruh waktu AS akan diketahui kurang dari tiga pekan lagi, Partai Republik yang diprediksi memenangkan kursi DPR telah melontarkan isu bahwa tidak akan terus memberikan dana dan senjata untuk mendukung rezim Zelensky. 

Begitu kehilangan dukungan senjata dan dana dari AS, maka Perang Rusia-Ukraina mungkin akan segera mengalami titik balik menentukan. Taktik perang konservatif yang kini diterapkan oleh Rusia Putin, hal ini berkaitan dengan penantiannya akan hasil pemilu paruh waktu AS dan tibanya musim dingin.

Dampak perang bagi AS, terutama berkaitan dengan inflasi dan bantuan hampir USD 70 Milyar (1.090 triliun rupiah, kurs per 25/10) kepada Ukraina. Tetapi dampaknya bagi Eropa, jauh lebih mendalam, dan sangat menyakitkan. 

Aksi unjuk rasa di Jerman dan Prancis, terfokus pada masalah inflasi, bantuan militer, energi penghangat ruang, dan pengungsi; dari Inggris sampai ke berbagai negara Uni Eropa, melemahnya nilai tukar mata uang, dijualnya obligasi pemerintah, bahkan juga inflasi yang lebih dari 10%, memang sangat mengkhawatirkan. 

Khususnya, negara kaya Eropa yakni Swiss yang selama ini dikenal bersikap netral, dan yang terkenal sebagai negeri stabil dan damai, sekarang telah mengalami tanda-tanda kehancuran sektor perbankannya, hal ini membuat kalangan finansial pucat pasi, dan menggemparkan seluruh dunia.

 Akan tetapi, di tengah krisis berat yang dialami oleh bank raksasa Credit Suisse yang berumur ratusan tahun itu, secara mengejutkan telah muncul faktor RRT. 

Apakah hancurnya saham konsep RRT, secara tidak langsung juga ikut menyeret raksasa lintas negara Credit Suisse? Bagaimana hendaknya masyarakat memahami krisis kebangkrutan yang menimpa Credit Suisse akibat faktor RRT, bagaimana memahami bahaya Rezim Merah PKT terhadap seluruh dunia?

Berita tentang bank kedua terbesar Swiss yakni Credit Suisse yang menghadapi kebangkrutan, terus menerus berkembang selama sebulan terakhir, dan kian hari kian parah. 

Keraguan terhadap kemampuan solvabilitas bank tersebut yang kian hari kian melemah, telah menimbulkan kekhawatiran pasar finansial terhadap Eropa, akankah kembali terulang tragedi seperti Lehman Brothers di AS.

 Kantor pusat Credit Suisse berlokasi di Zurich, Swiss, telah memiliki sejarah 166 tahun dan merupakan salah satu anggota penting dalam sistem finansial Eropa bahkan seluruh Negara Barat. 

Credit Suisse memiliki kantor cabang di lebih dari lima puluh negara dan kawasan di seluruh dunia, operasionalnya mencakupi perbankan komersil konvensional, bank investasi, private banking, bisnis bersama dan lain-lain, serta jajaran 50.000 orang karyawannya yang menyebar di seluruh dunia. 

Dalam peringkat bank dunia yang terbaru, Credit Suisse menduduki posisi ke-41, dengan total nilai aset mencapai USD 812 Milyar (16.620 triliun rupiah per 25/10).

 Pada saat didirikan pada 1856, Credit Suisse telah menyediakan dana pembangunan bagi jaringan rel KA di Swiss, ia juga memberikan kredit pembiayaan bagi pembangunan jaringan listrik negara Swiss dan juga jaringan KA Eropa. 

Sejak era 1900-an, Credit Suisse beralih haluan menjadi perbankan retail. Kini, para pemegang saham terbesar Credit Suisse antara lain adalah Harris Associates (10%) dari AS, Qatar Investment Authority dan BlackRock (AS), masing-masing memiliki saham 5%, juga Dodge & Cox (AS), Norges Bank (Norwegia), Olayan Group (Arab Saudi) dan lain-lain. 

Qatar Investment Authority adalah SWF (Sovereign Wealth Fund) atau dana investasi yang dikelola oleh negara Qatar. Total nilai kekayaan yang diserahkan otoritas pengelolaannya bagi Credit Suisse adalah sebesar 1,6 Trilyun Swiss Franc (sekitar USD 1,59 triliun dollar atau 24.670 triliun rupiah, kurs per 25/10).

 Yang paling awal mengungkap tentang krisis Credit Suisse adalah seorang wartawan bisnis dari Australian Broadcasting Corporation (ABC) yakni David Taylor, pada 1 Oktober lalu di akun Twitter-nya dan dikatakan, sebuah bank investasi besar mendekati kebangkrutan. 

Walaupun cuitan tersebut kemudian dihapus tapi pasar finansial segera mengarahkan ujung tombak kepada Credit Suisse. Karena sehari sebelumnya, CEO Credit Suisse yakni Ulrich Koerner lewat sebuah memo tengah berusaha menenangkan karyawannya dan pasar, dengan mengatakan Credit Suisse memiliki modal yang kuat dan likuiditas yang sangat baik, tapi ia juga mengakui bahwa Credit Suisse sedang menghadapi “masa krusial”. 

Walaupun pernyataan Koerner itu sangat hati-hati, agar masyarakat tidak mengaitkan harga saham harian Credit Suisse, dengan kekuatan modal serta likuiditas bank tersebut, tapi reaksi pasar justru sangat negatif, karena sebelumnya pada Credit Suisse telah terjadi berbagai masalah, dan sebelum Lehman Brothers di AS bangkrut pada 2008, para eksekutifnya juga mengatakan hal yang sama!

 Sepanjang tahun ini, terdampak berbagai berita negatif dan kerugian operasional, nilai pasar Credit Suisse telah menguap sekitar 60%, dan ada kemungkinan akan memecahkan rekor terendah sepanjang sejarah mereka. Rasio kontrak swap CDS (Credit Default Swap, red.) 

Credit Suisse hingga 30 September lalu telah naik hingga hampir 250 basis poin, sudah mendekati level kebangkrutan Lehman Brothers pada 2008 silam. Di awal tahun ini CDS Credit Suisse sebaliknya hanya sekitar 57 basis poin. 

CDS atau Credit Default Swap, adalah produk derivatif keuangan yang dirancang untuk surat hutang yang mengalami default atau gagal bayar, semakin tinggi basis poinnya menandakan risiko gagal bayar surat hutang tersebut semakin tinggi.

 Tapi berbagai berita negatif tentang Credit Suisse, kerugian operasional, pernyataan eksekutif, rumor pasar, dan melonjaknya suku bunga derivatif keuangan itu, bukanlah faktor penyebab paling utama terperosoknya Credit Suisse yang memicu “bom waktu” krisis kebangkrutan. 

Masalah Credit Suisse yang paling utama adalah, sudah ada sejak lama, karena dua klien besarnya telah menimbulkan kerugian teramat besar, yakni Archegos dan Greensill Capital.

 Archegos Capital Management adalah semacam perusahaan hedge fund yang beroperasi dengan konsep family office, yang khusus mengincar investasi saham pada produk derivatif yang high leverage

Pendiri perusahaan adalah seorang etnis Korea bernama Bill Hwang, yang menggunakan informasi palsu dan menyesatkan, untuk meminjam uang dari Credit Suisse, lalu dengan cara penjaminan besar sekuritas (instrumen finansial yang mewakili posisi kepemilikan saham dalam suatu perusahaan publik) yang kompleks terhadap sedikit saham, mendongkrak modal Archegos, dari USD 10 Milyar (156 triliun rupiah) membengkak hingga menjadi USD 160 Milyar (2.490 triliun rupiah, kurs per 26/10)! Perusahaan itu akhirnya mengalami masalah likuiditas pada 2021, dan Credit Suisse karena telah memberikan kredit besar bagi Archegos, sehingga mengalami kerugian sangat besar akibat “tragedi Archegos” ini.

 Pada Maret 2021, Credit Suisse dan Nomura Holdings Jepang telah mengeluarkan peringatan bahwa sebagai akibat memberikan kredit bagi Archegos yang melakukan transaksi derivatif, diprediksi akan mengalami kerugian besar, hal ini juga yang mengakibatkan rush penjualan saham perbankan pada 29 Maret lalu. 

Sementara Bill Hwang karena tidak mampu terus mengelola pada akhir Maret mau tidak mau harus menjual semuanya. Hampir seluruh saham yang terdampak Archegos mengalami anjlok harga. Setelah kejadian “default abad ini”, Bill Hwang pun kemudian dibui. Default Archegos mengakibatkan Wall Street mengalami kerugian lebih dari USD 10 Milyar. 

Credit Suisse mengalami kerugian terbesar, dalam default ini merugi USD 5,5 Milyar (86 triliun rupiah per 26/10); perusahaan lain seperti Nomura Holdings, Morgan Stanley, dan UBS, masing-masing mengalami kerugian tidak merata antara USD 800 Juta ~ 3 Milyar (12,4 triliun – 46,7 triliun rupiah per 26/10).

 Sebelum Archegos mengalami default, serangkaian saham yang dimilikinya terus memperburuk situasi. Tapi para eksekutif Credit Suisse tidak menyadari risiko ini, juga tidak secara tepat waktu melakukan antisipasi risiko. 

Gelombang default memicu pergantian besar-besaran kalangan manajemen Credit Suisse, CEO Credit Suisse Brian Chin dan CRO-nya Lara Warner mengundurkan diri, Presiden Direktur Credit Suisse Urs Rohner kemudian juga mengundurkan diri pada akhir April 2021 lalu.

 Greensill Capital adalah sebuah perusahaan pembiayaan supply chain, kebangkrutannya juga terjadi hampir pada waktu bersamaan, hal ini menyebabkan Credit Suisse yang menyediakan modal baginya, mengalami kerugian sekitar USD 3 Miliar. 

Archegos ditambah Greensill Capital, mengakibatkan Credit Suisse mengalami kerugian sekaligus sebesar USD 8,5 Milyar (132 triliun rupiah per 26/10) atau setara dengan 1% dari total asetnya USD 810 Milyar (12.599 triliun rupiah). 

Pada Februari 2022, Credit Suisse juga digugat oleh Pengadilan Swiss karena menerima dan melakukan pencucian uang bagi dana milik lebih dari 18.000 orang klien kriminal seperti oligarki negara asing, para gembong narkoba dan lain sebagainya, serta menjadi bank skala besar pertama yang divonis bersalah dalam kasus pidana dalam sejarah Swiss. 

Pada saat ini, Credit Suisse harus mengumpulkan modal sekitar USD 3 Milyar untuk menambah modalnya, yang akan digunakan untuk melakukan restrukturisasi bisnis bank tersebut, agar terhindar dari kebangkrutan.

 Apakah rumor kebangkrutan Credit Suisse ada kemungkinan menjadi kenyataan? Melihat situasi saat ini, memang ada kemungkinan Credit Suisse akan menjadi Lehman Brothers yang berikutnya. 

Tapi bisnis yang utama Lehman Brother ada di AS, yang terdampak adalah sektor keuangan AS, lalu dampaknya meluas dari AS hingga mencapai seluruh dunia. Krisis Credit Suisse memang akan berdampak negatif bagi ekonomi dunia, khususnya akan berdampak relatif besar terhadap sektor finansial. Tapi karena besarnya bisnisnya dan luasnya ruang lingkupnya, kekuatan dampaknya belum tentu akan seperti Lehman Brothers

Credit Suisse mungkin mau tidak mau harus menjual aset dan segmen bisnisnya, menurut informasi Credit Suisse sedang mempertimbangkan menjual hotel Savoy Baur en Ville di Zurich untuk mendapatkan likuiditas.

 Pihak pemerintah Swiss juga telah mengungkap sinyal pertolongan, pada 5 Oktober lalu, anggota Dewan Operasional Bank Sentral Swiss (SNB) yakni Andrea Maechler menyatakan secara terbuka, SNB sedang menyoroti secara cermat kondisi Credit Suisse.

 Pembicaraan masyarakat terhadap berbagai pemberitaan mengenai Credit Suisse, banyak menonjolkan informasi negatif terkait Credit Suisse, seperti kerugian usaha, pernyataan eksekutif, rumor pasar, melonjaknya suku bunga produk derivatif, serta kebangkrutan Archegos dan Greensill Capital.  Tapi masyarakat jarang membicarakan tentang mengapa Archegos bangkrut, mengapa Hedge Fund dan produk derivatif high leverage Bill Hwang bisa anjlok. 

Faktanya, Credit Suisse menghadapi kebangkrutan, terutama penyebabnya karena Archegos; bangkrutnya Archegos, terutama disebabkan high leverage Hedge Fund-nya semuanya dipertaruhkan pada saham konsep Tiongkok (China concept stocks), serangkaian produk derivatifnya mengandalkan saham konsep Tiongkok yang listing di bursa efek AS. Dengan latar belakang masa depan pemerintahan RRT, telah mempercayai kisah dongeng perekonomian Tiongkok akan terus “lepas landas”. Dongeng yang dikarang bahkan telah menipu Credit Suisse yang memiliki sejarah panjang, yang membuat bank lawas itu menghadapi risiko kebangkrutan.

Menurut berita, waktu itu Credit Suisse telah menandatangani persetujuan Valuation Adjustment Mechanism (VAM), dengan menaikkan leverage sampai 5 kali lipat, tapi tidak disangka saham konsep Tiongkok rontok mendadak secara bersamaan, yang mengakibatkan Archegos seketika mengalami default, dengan paparan risiko (risk exposure, red.) mencapai USD 80 Miliar (1.244 triliun rupiah, kurs per 26/10). 

Hingga akhirnya Credit Suisse muntah darah, Nomura Holding, Goldman Sachs, Deutsche Bank, beserta banyak bank dan broker seluruh dunia pun ikut terseret masalah di dalamnya.

 Investor etnis Korea dari Archegos mempertaruhkan seluruh modalnya pada PKT, hingga telah meruntuhkan Credit Suisse. Tapi sebelum saham konsep Tiongkok itu rontok, para elit PKT telah meraup untung besar, Archegos dan Credit Suisse -lah yang akhirnya membayar kerugian demi PKT, dan mentransfusi darah bagi PKT, membuat kalangan finansial seluruh dunia menderita; tapi korban dari keseluruhan proses itu adalah reksadana dan ekuitas swasta (PE) (Harris Associates dan Blackstone Inc.), para warga Qatar (Qatar Investment Authority), Norges Bank di Norwegia, Arab Saudi, dan lain-lain, yang tersebar di seluruh dunia. PKT melakukan kejahatan di berbagai sektor, dan sedang menghancurkan seluruh dunia, ini adalah satu lagi contoh nyata. (sud)