Dipaksa Bekerja dalam Lingkungan Tertutup, Pekerja Jiangsu, Tiongkok : Saya Manusia Bukan Robot

oleh Xia Yu

Dalam sebulan terakhir, kasus COVID-19 kembali merebak di banyak wilayah Tiongkok. Di bawah kebijakan Nol Kasus Infeksi, warga sipil Tiongkok menghadapi situasi sulit dan menyakitkan karena penguncian atau blokade yang dilakukan mendadak, warga dipaksa menjalani isolasi terpusat, tes asam nukleat yang sangat kerap, dan harus bekerja di lingkungan tertutup sebagaimana yang disyaratkan otoritas.

Selama penguncian atau lockdown kota, otoritas menginstruksikan setiap pabrik beroperasi dalam lingkungan tertutup, tidak hubungan dengan dunia untuk mencegah penyebaran epidemi. Tetapi operasi dengan cara tersebut tidak mungkin terus dapat dipertahankan oleh pabrik pengecoran untuk perangkat Apple dan mobil Tesla, karena masalah di rantai pasokan. Sedangkan perusahaan asing juga dihadapkan pada risiko rusaknya reputasi karena mengabaikan hak asasi pekerja.

“Saya tidak tahu berapa lama saya bisa bertahan (dalam lingkaran tertutup), Akomodasi dan makanan di pabrik juga sangat buruk,” kata seorang karyawan Foxconn bermarga Xiao kepada “Financial Times”. 

“Saya manusia, bukan robot”, tambahnya.

Lebih dari 400 juta pekerja migran Tiongkok adalah warga yang paling terpengaruh oleh kebijakan pencegahan epidemi PKT yang ekstrem. Karena banyak dari mereka bekerja di industri manufaktur dan jasa yang jauh dari kampung halaman mereka.

Seorang pria bermarga Zhang berusia 35 tahun yang bekerja di Jiangsu kepada Financial Times mengatakan dikarenakan bekerja dalam lingkungan tertutup, ia tidak dapat berjumpa dengan istri dan anak-anaknya, meskipun mereka tinggal tidak jauh dari sini. Ia sangat merindukan mereka.

Bekerja dalam lingkaran tertutup hampir sepanjang tahun dan dengan upah rendah, pria bermarga Zhang itu memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan kembali ke kampung halaman sebelum liburan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada 22 Januari 2023.

Sekitar 200.000 orang pekerja di Foxconn, Zhengzhou sudah selama 2 minggu bekerja dalam lingkungan tertutup sejak epidemi putaran baru merebak. Mereka nyaris tidak dimungkinkan untuk berhubungan dengan dunia luar dan hanya diizinkan untuk bergerak di tempat-tempat seperti asrama dan jalur produksi. Banyak dari karyawan yang mengaku bahwa mereka sudah terkurung di asrama selama berhari-hari, dengan distribusi makanan dan kebutuhan pokok lainnya yang kacau balau. Karena itu mereka terpaksa melompati pagar untuk melarikan diri, yang akhirnya menjadi berita utama internasional.

Bekerja dalam lingkungan tertutup tidak dapat dipertahankan

Media “Financial Times” mengutip ucapan Ernan Cui, seorang analis di Gavekal Dragonomics, sebuah perusahaan riset ekonomi melaporkan pada 3 November, bahwa lebih dari tiga perempat kota-kota besar Tiongkok melaporkan kasus baru COVID-19 bulan lalu yang meningkat dengan kecepatan lebih dari 100 kota per hari.

Ma Xiaowei, pejabat senior di Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok menegaskan kembali pada Rabu bahwa kebijakan Nol Kasus akan terus dipertahankan.

“Meningkatnya jumlah kota atau wilayah yang dikunci telah meningkatkan posibilitas terhambatnya kegiatan produksi dan rantai pasokan”, tulis Ernan Cui dalam sebuah catatan penelitian.

“Akibat dari tidak adanya tanda-tanda yang jelas mengenai kapan kebijakan pencegahan ekstrem di negara itu akan berakhir, jadi penguncian yang lebih ketat dan terputusnya pasokan dalam beberapa bulan mendatang tampaknya tak terhindarkan”, tambahnya.

“Financial Times” melaporkan bahwa Alicia Garcia Herrero, Kepala Ekonom Asia-Pasifik dari perusahaan “Natixis” memperingatkan bahwa mengingat risiko yang ditimbulkan oleh perlakuan buruk terhadap pekerja dan potensi terganggunya rantai pasokan. Lingkungan kerja yang tertutup seharusnya tidak dipertahankan.

“Anda mungkin bisa bertahan selama sebulan, dua atau tiga bulan, tapi kalau sudah menjadi norma, itu terlalu tidak efisien untuk sebuah perusahaan”, katanya seraya menambahkan bahwa risiko rusaknya reputasi perusahaan manufaktur asing di Tiongkok akan semakin meningkat.

Kebijakan pencegahan ekstrem membuat perusahaan menggeser rantai pasokan

Situs keuangan “CNBC” melaporkan pada 2 November, “Economist Intelligence Unit” mengatakan bahwa kebijakan Nol Kasus PKT mendorong perusahaan asing untuk melirik pabrik di luar daratan Tiongkok.

Menanggapi kaburnya karyawan Foxconn, Nick Marro, Direktur Perdagangan Global “Economist Intelligence Unit” mengatakan : “Meskipun kami tidak dapat menarik kesimpulan dari satu insiden, tetapi ini telah menyoroti beberapa jenis kegagalan dalam penerapan manajemen manufakturing dalam lingkungan tertutup”.

“Jelas, jika mereka (Partai Komunis Tiongkok) tidak mau mengubah kebijakan ektrem yang Nol Kasus itu, kita akan menyaksikan adegan seperti itu (di Foxconn) terjadi kembali”, kata Chen Junning, kepala penelitian Taiwan di CLSA, kepada CNBC.

Dia mengatakan bahwa dirinya memperkirakan kebijakan pencegahan tidak akan berubah kecuali tingkat vaksinasinya membaik.

Selain itu, ia tidak melihat terjadi penambahan biaya yang terkait dengan berproduksi dalam lingkungan tertutup, tetapi pasti ada beberapa dampak negatif pada moral karyawan atau kualitas output secara keseluruhan. Lihat saja, Foxconn telah mengumumkan tambahan insentif, kenaikan gaji agar karyawan bersedia tetap tinggal. 

Nick Marro menuturkan, pesan dari perusahaan adalah bahwa ekonomi model stop-and-go ini telah menjadi norma, sehingga mereka akan terus mendiversifikasi rantai pasokan mereka.

Di sisi lain, Ernan Cui juga menunjukkan bahwa sebelum wabah masuk Foxconn, pejabat Zhengzhou hanya melaporkan beberapa kasus baru per hari. Kesenjangan ini menyoroti masalah yang lebih serius, yakni banyak pejabat pemda menghindari pelaporan kasus untuk menunjukkan kinerja positif pada bagian kesehatan masyarakat. (sin)