Gara-gara Lockdown Produksi Foxconn Menurun, Pengusaha Kecil Gulung Tikar

oleh Lin Yi

Sejak COVID-19 merebak, ekonomi Tiongkok mengalami pukulan tidak kecil. Kebijakan dalam mencegah penyebaran epidemi yang ketat selain menyebabkan pabrik pengecoran Foxconn mengurangi produksi secara signifikan, tetapi juga bisnis kecil jadi ambruk. Ditambah lagi dengan risiko resesi ekonomi global yang tinggi, prospek ekonomi Tiongkok bahkan menjadi semakin suram.

Beberapa hari yang lalu, epidemi masuk lingkungan pabrik Foxconn di Zhengzhou, puluhan ribu karyawannya terpaksa memilih pulang kampung meskipun harus berjalan kaki sejauh puluhan kilometer. Di bawah kebijakan Nol Kasus PKT yang ekstrem, Foxconn, yang kekurangan tenaga kerja, mau tidak mau harus mengurangi produksi secara signifikan.

Pada 7 November, pihak berwenang dari Foxconn di Zhengzhou mengatakan bahwa pihaknya sedang berusaha keras untuk memulihkan produksi, tetapi mereka juga tetap pesimis terhadap hasil yang dapat dicapai untuk kuartal keempat tahun ini.

TrendForce, sebuah perusahaan riset pasar sebelumnya telah mengungkapkan bahwa akibat insiden ini pengiriman ponsel iPhone dari Foxconn Zhengzhou untuk kuartal keempat tahun ini akan berkurang sebanyak 2 juta hingga 3 juta unit dari perkiraan semula yang 80 juta unit.

Jumlah pengiriman iPhone 14 yang banyak penggemarnya juga lebih rendah dari yang ditargetkan sebelumnya. Karena pabrik Foxconn di Zhengzhou bertanggung jawab atas 80% kapasita produksi iPhone 14, dengan lebih dari 85% iPhone 14 Pro diproduksi di pabrik itu, maka Apple beberapa waktu lalu mengeluarkan pernyataan yang berbunyi : “Pelanggan akan menunggu waktu lebih panjang dalam menerima ponsel baru produksi kami”.

Agar produksi iPhone 14 tidak terlalu terganggu, Apple terpaksa mengalihkan jalur produksi ke pabrik di Taiwan, India, dan tempat lain.

Kebijakan pencegahan epidemi yang ekstrem masih saja diberlakukan oleh otoritas Tiongkok meskipun Kongres Nasional ke-20 sudah berlalu. Kebijakan ini selain membuat harapan kembali berproduksi dari pabrik-pabrik besar seperti Foxconn menjadi pupus, tetapi juga menyebabkan bisnis kecil menghadapi kesulitan dalam bertahan hidup. 

Chang Jiang, seorang pemilik bisnis di Tiongkok mengatakan : “Saya memiliki pemahaman yang mendalam tentang hal ini, karena saya memiliki 5 perusahaan, yang satu per satu terpaksa saya jual. Misalnya, beberapa yang ada di Shenzhen dan Hongkong, begitu juga 2 bisnis saya yang ada di Beijing. Banyak tekanan yang dihadapi perusahaan untuk bertahan, dan banyak teman-teman saya yang sekitar 80% bisnisnya dalam keadaan bangkrut”.

Meng Beibei, seorang profesional di bidang teknologi informasi mengungkapkan : “Karena itu saya pikir bahwa bagi para bos yang menjalankan ekonomi riil, mereka akan menerima dampak yang lebih besar. Penutupan sekaligus beberapa bangunan gedung saya pikir dampaknya cukup menyakitkan”.

Menurut data terbaru yang dirilis oleh pemerintah Tiongkok pada 7 November, bahwa hasil ekspor dan impor bulan Oktober tahun ini mengalami penyusutan masing-masing sebesar 0,3% dan 0,7% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Terutama di ekspor, penurunannya jauh melampaui perkiraan para analis. Merupakan performa terburuk sejak bulan Mei 2020. 

Sektor manufaktur Tiongkok juga mengalami penyusutan pada  Oktober, dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) yang berada di bawah angka 50.

Beberapa analis menunjukkan bahwa kebijakan Nol Kasus yang diterapkan PKT dalam mencegah penyebaran COVID-19 sedang bersama-sama dengan risiko resesi ekonomi global, membentuk satu “badai sempurna” yang menempatkan ekonomi Tiongkok di bawah tekanan besar. (sin)