[Apakah Ada yang Salah] Foxconn, Melarikan Diri untuk Sebuah Tiongkok Baru?

Shi Shan

Begitu Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis Tiongkok (PKT) usai digelar, di Republik Rakyat Tiongkok telah terjadi dua peristiwa. Yang pertama adalah eksodus Foxconn, di Zhengzhou, Shanghai, Guangzhou dan Wuhan kembali memberlakukan lock down keras, tidak sedikit orang telah melarikan diri. Peristiwa kedua adalah PKT sedang mengaktifkan kembali sistem koperasi. Kedua peristiwa ini, secara permukaan tampaknya tidak ada kaitannya, tetapi sebenarnya kaitan di baliknya sangat erat, jika logika ini ditelusuri, masa depan dari Tiongkok membuat orang cukup merinding.

Koperasi di Tiongkok, di benak warga generasi tua dipenuhi dengan kebusukan, bukan karena pelayanannya yang buruk, melainkan karena kaitannya dengan sejumlah istilah seperti “pembelian dan penjualan terpadu” serta “pasokan berdasarkan kupon”.

Koperasi di Tiongkok, sekitar 1954, resmi menjadi organisasi nasional. Esensinya adalah sebuah departemen milik partai komunis yang mengendalikan kegiatan bisnis swasta. 

Pada 1958 koperasi menjadi semakin besar, sejalan dengan gerakan “Lompatan Jauh ke Depan” dan Komune Rakyat, hal ini juga menjelaskan karakteristiknya yang dikelola oleh birokrat.

Setelah reformasi keterbukaan, koperasi pun mulai merosot, tidak mampu bersaing dengan perusahaan bisnis yang dikelola swasta, maka itu menjadi semakin menyusut. Tapi faktanya, PKT belum pernah menghapus keberadaan koperasi, selama ini koperasi selalu menjadi sebuah mekanisme operasional bisnis yang dikendalikan PKT, hanya saja karena persaingan pasar yang ketat, sehingga pihak pemerintah tidak lagi mendukung sepenuhnya.

Koperasi PKT adalah sebuah sistem yang teramat rumit.

Pada Kongres Nasional ke-20 PKT, Ketua Dewan Pusat Koperasi RRT yakni Liang Huiling telah terpilih sebagai anggota Komite Pusat PKT, hal ini tidak pernah terjadi selama hampir tiga dasawarsa terakhir. Sedangkan pasca Kongres Nasional ke-20 PKT berakhir, kantor pusat koperasi pun menerbitkan iklan lowongan pekerjaan, yang secara jelas menyebutkan gaji dan fasilitas yang setara dengan pegawai negeri, dan menurut permintaan terbaru Xi Jinping, harus mengaktifkan kembali secara menyeluruh sistem perkoperasian RRT.

Namun faktanya, karakter koperasi sendiri tidak berbeda dengan sebelum Revolusi Kebudayaan, kata kuncinya adalah “kekuasaan”. Koperasi di Tiongkok sekarang walaupun juga ikut terjun dalam persaingan pasar, tapi di belakangnya ditopang oleh kekuasaan, seperti koperasi masih memegang andil dalam penjualan pupuk kimia, pestisida bahkan bibit pertanian, banyak bidang yang dimonopoli oleh koperasi. Yang paling krusial adalah, koperasi merupakan mekanisme pengendalian perdagangan milik pemerintah yang dapat menjulur jauh sampai ke pelosok desa, begitu situasi dan kondisinya berubah, koperasi dapat menggantikan perusahaan bisnis swasta.

Tapi “perusahaan bisnis” yang ditopang oleh kekuasaan, pada dasarnya cenderung menguntungkan diri sendiri, di saat yang sama ia juga memiliki sumber daya ini.

Sebagai contoh, baru-baru ini di Shanghai ada sebuah perusahaan yang disebut “Pangpangxiang” yang telah go public, bisnis perusahaan ini adalah “jaminan pasokan” bahan baku. Ketika kondisi pandemi sangat parah, dan dimana-mana terjadi lockdown, perusahaan ini menjamin pasokan bahan kebutuhan, serta menjamin pasokan, menjamin pasokan bagi perusahaan. Untuk go public, perusahaan itu harus menyerahkan laporan bisnisnya dan harus mempublikasikan laporan keuangannya. Lima bulan pertama 2022, pendapatan operasional “Pangpangxiang” yang telah merosot dibandingkan periode yang sama, telah membukukan laba 50% lebih tinggi dibandingkan periode yang sama, hampir dua kali lipat dibandingkan 2019.

Di antaranya, dalam “layanan sementara dan darurat” perusahaan itu, keuntungan kotor dari pembelian kolektif mencakup rasio paling besar, senilai RMB 12,94 Juta (28 miliar rupiah, kurs per 08/11) dengan marjin laba kotor mencapai 75%; berikutnya menyusul lembaga pemerintahan, yang memberikan kontribusi laba kotor sebesar RMB 3,97 Juta (8,6 miliar rupiah), marjin laba kotor sebesar 74%.

Pada April tahun ini Shanghai memberlakukan lockdown, semua orang tidak bisa meninggalkan kediamannya, makan hanya dengan pembelian lewat internet atau pembelian secara kolektif, dan yang bisa mengantarkan bahan keperluan sampai ke rumah, hanya perusahaan “penjamin pasokan” yang diizinkan oleh pemerintah. Salah satunya adalah “Pangpangxiang” ini. Jadi sudah tidak heran lagi bila laba kotor bisa mencapai 74% atau 75%.

Inilah model koperasi. Biasanya menjadi salah satu bagian dari persaingan pasar, tapi begitu terjadi kondisi khusus seperti pandemi, mekanisme ini pun memainkan perannya.

Intinya adalah kekuasaan. Memanfaatkan kekuasaan, agar dapat merampas keuntungan dari orang lain, menguasai pasar dan sumber daya orang lain, bahkan dapat menggunakan kekerasan untuk langsung menguasai asset milik orang lain. Seperti Sun Dawu di Provinsi Hebei, pemerintah setempat menggunakan cara keji terhadapnya, karena ada kaitannya dengan persaingan langsung dengan koperasi yang dikendalikan oleh pemerintah.

Model ekonomi yang beroperasi dengan kekuasaan administratif, esensinya dipastikan adalah semacam badan ekonomi type serba kekurangan, maka itu secara sederhananya ialah, agar koperasi dapat memainkan perannya, prasyaratnya adalah harus ada komoditas atau produk yang kekurangan. Jika dalam keadaan ekonomi yang sedang berlebih, maka koperasi mutlak tidak akan memiliki ruang untuk eksis.

Sistem yang dibangun oleh PKT, secara struktur memiliki karakteristik bawaan, dalam hal mengatur perekonomian, sangat mahir mengatur kekurangan, namun tidak terampil mengatur kelebihan, menguntungkan dalam hal mengatasi krisis, tidak menguntungkan dalam menangani kehidupan sehari-hari di masa damai. Akibatnya adalah, ia dengan cepat dapat mengumpulkan semua sumber daya untuk menghadapi krisis. Tetapi dalam masyarakat kita ini, krisis adalah masa yang jarang terjadi, dan mayoritas kita hidup di saat damai dan relatif normal. Jadi PKT sangat membutuhkan suatu krisis yang direkayasa atau musuh, untuk mempertahankan mode pengendalian masa perangnya. Dan koperasi, adalah sebagian dari mode ekonomi masa perang semacam ini.

Setelah memahami karakteristik koperasi ini, maka kita dapat memahami bagaimana ketakutan dan perasaan berkecamuk yang dialami oleh rakyat Tiongkok dalam menghadapi bangkitnya koperasi ini. Penulis mengenal seorang pengusaha, yang teramat sensitif terhadap kata-kata koperasi ini bahkan jauh mengalahkan korupsi juga jauh melampaui kebijakan pemerintah lainnya. Satu penyebab fundamentalnya, yakni jika PKT kembali mengaktifkan sistem koperasi, tujuannya adalah untuk menambah suatu alat yang dapat secara langsung mengendalikan ekonomi dan bisnis pedesaan, dan alat ini, hanya dapat beroperasi dengan baik di bawah kondisi ekonomi terencana, ekonomi kekuasaan, dan ekonomi kekurangan, maka visi masa depan yang digambarkan oleh PKT ini, bagi para kapitalis adalah suatu masa depan yang sangat suram.

Dilihat dari sudut pandang ini, 1958 koperasi di RRT ditingkatkan secara drastis, lalu disusul 3 tahun wabah kelaparan besar yang menewaskan puluhan juta orang, apakah ini hanya suatu kebetulan saja? Sepertinya tidak, kedua peristiwa itu, dikhawatirkan memiliki hubungan tertentu yang lebih mendalam.

Pada masa bencana kelaparan besar di Tiongkok (1959-1962), sampai sekarang tidak diketahui secara pasti jumlah warga yang meninggal dunia karena kelaparan, data pemerintah menyebutkan antara 15-30 juta jiwa. Waktu itu Tiongkok berpenduduk 600 juta jiwa, rasio kematiannya adalah 5%-2%. beberapa provinsi seperti Sichuan, Henan, Anhui, dan Gansu waktu itu mengalami korban tewas terbanyak, bukan karena kapasitas produksi pangan mereka berkurang paling besar, melainkan karena para pejabat di beberapa provinsi tersebut adalah yang paling setia dan paling getol menjalankan perintah Mao Zedong. Pejabat setempat bahkan mengirim milisi, yang setara dengan polisi bersenjata sekarang, untuk menjaga stasiun KA, jalur untuk keluar masuk dan jembatan, untuk mencegah warga yang hendak melarikan diri akibat kelaparan.

Pada akhir 1961, ketika tim inspeksi Beijing tiba di Provinsi Gansu, terlihat mayat bergelimpangan di sepanjang jalan raya dan rel KA, mereka adalah orang-orang yang dilarang melarikan diri.

Ini pun membuat masyarakat terpikir akan eksodus karyawan Foxconn di Zhengzhou. Pada 8 Oktober lalu terjadi pandemi di Zhengzhou, bertepatan menjelang Kongres Nasional ke-20 PKT, pemerintah setempat pun berusaha menutupinya, pejabat Zhengzhou merekayasa jumlah korban terjangkit, paling banyak sehari hanya kurang dari 20 orang. Tapi sebanyak 300.000 orang karyawan Foxconn harus bekerja, tidak boleh berhenti, karena perekonomian sangat penting bagi Zhengzhou. Akibatnya, siapa pun yang terdeteksi positif dan setiap orang yang pernah berinteraksi dengan orang tersebut semua dikirim ke pusat karantina, untuk diurus oleh pemerintah setempat. Tapi karena orangnya terlalu banyak, dikabarkan mencapai lebih 70.000 orang, pemerintah kawasan bandara melakukan tindakan kasar dengan menutup fasilitas tersebut, menyebabkan ada orang meninggal di pusat karantina, tidak diketahui mati karena sakit atau kelaparan.

Berita kematian memicu ketakutan, pada 30 Oktober karyawan Foxconn yang dikarantina banyak yang mulai berusaha menerobos blokade, mereka berjalan kaki pulang ke rumah masing-masing dengan hanya mengandalkan kedua kakinya. Mayoritas dari mereka tinggal di Provinsi Henan, yang berjarak puluhan hingga ratusan kilometer dari Zhenzhou. Pemandangan puluhan ribu orang melarikan diri di tengah sawah di pedesaan itu atau di jalan tol, telah memicu kegemparan. Di jalan-jalan, ada warga menempatkan makanan dan air, ada supir truk yang membonceng para pengungsi itu, pejabat setempat tutup sebelah mata melihat pengungsi itu melewati batas karantina, bahkan petugas keamanan publik dan polisi bersenjata pun memilih membiarkan saja para pengungsi daripada menghalangi mereka dengan kekerasan.

Yang paling berbeda adalah, opini yang beredar di internet ibarat gelombang tsunami, masyarakat tidak lagi mempertanyakan mengapa para pengungsi itu tidak mengindahkan perintah, tidak lagi menuding mereka “menyebarkan virus”, setelah 3 tahun dalam pandemi, warga Tiongkok mulai menyampaikan terhadap individu tertentu, dan bukan secara abstrak berharap pada perhatian dan simpati negara.

Perubahan ini sangat penting, karena ketakutan akan virus yang dipropagandakan oleh Beijing, serta kebijakan Zero Pandemi yang diterapkan secara arogan dan paksa oleh pemerintah, secara perlahan mulai dikalahkan oleh akal sehat dan empati masyarakat, dan ini adalah awal dimulainya keruntuhan sistem ini.

Faktanya, keruntuhan sistem otokratis komunis, selalu ada kaitannya dengan eksodus besar-besaran. Ketika kelompok komunis Eropa Timur runtuh pada awal era 1990-an abad lalu, awalnya terjadi dengan peristiwa eksodus besar-besaran. Dan reformasi keterbukaan di Tiongkok, juga diawali dengan eksodus besar-besaran.

Ayah Xi Jinping yakni Xi Zhongxun, menjabat sebagai Sekretaris Pertama Provinsi Guangdong pada 1978, ia melihat di kawasan pedesaan provinsi Guangdong yang berdekatan dengan Hong Kong hampir tidak ada pemuda. Pejabat setempat memberitahunya, para pemuda telah melarikan diri ke Hong Kong untuk mencari pekerjaan. Xi Zhongxun memikirkan suatu rencana, yakni memindahkan pabrik-pabrik di Hong Kong ke Kabupaten Bao’an, dengan demikian para pemuda tidak lagi melarikan diri ke Hong Kong, untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Rencana ini terus meningkat, kemudian mendapat persetujuan dari Deng Xiaoping, sehingga kawasan itu pun berubah menjadi kawasan ekonomi istimewa Shenzhen, dan menjadi tempat proyek percontohan, hingga akhirnya Tiongkok pun sepenuhnya membuka diri melalui gerakan reformasi keterbukaan.

Setelah lebih empat dekade kemudian, eksodus besar-besaran kembali terjadi, apakah akan membawa rakyat Tiongkok kembali ke 1960, atau 1978? Hal ini tergantung pada takdir rakyat Tiongkok sendiri. (sud)