Kunjungan Xi Jinping ke Timur Tengah Penuh Kontroversi, Pakar: Dua Masalah Krusial Belum Diselesaikan

Cheng Jing & Luo Ya

Minggu lalu Xi Jinping berkunjung ke negara Arab Saudi, media corong Partai Komunis Tiongkok (PKT) kantor berita Xinhua News membesar-besarkannya dengan sebutan “tonggak pencapaian yang baru”, namun para pakar menilai, kunjungan ini minim akan hasil yang konkrit, dua masalah krusial tidak dapat diselesaikan, dan aksi tebar uang Beijing kemungkinan akan kurang berdaya; di saat yang sama, Xi Jinping juga telah membuat Iran berang, keretakan mulai muncul.

“Zona Perdagangan Bebas RRT-Arab Saudi” Tanpa Kelanjutan

Dari tanggal 7 hingga 9 Desember selama 3 hari kunjungan Xi Jinping itu, berturut-turut digelar acara KTT RRT-Arab Saudi, lalu KTT RRT-Negara Arab, dan KTT RRT-Dewan Kerjasama Negara Arab di Teluk atau GCC, serta dilangsungkan pula pertemuan bilateral pemimpin negara dengan 20 negara lainnya yakni Mesir, Palestina, Kuwait dan lain-lain. Tapi masalah yang disoroti oleh pihak luar mengenai pelunasan perdagangan minyak bumi dengan mata uang RMB dan kesepakatan perdagangan bebas RRT-Arab Saudi, hingga saat ini, tidak tercapai terobosan untuk penyelesaiannya.

VoA memberitakan, pada masalah zona perdagangan bebas, PKT telah melangsungkan negosiasi selama bertahun-tahun dengan negara Arab di teluk, ini dinilai sebagai salah satu simbol pencapaian KTT kali ini.

Pakar masalah Timur Tengah Italia bernama Linoto berkata, “Mungkin ada yang mengatakan, walaupun telah menandatangani 34 kesepakatan investasi, tapi KTT belum bertransformasi menjadi terobosan yang penting. Misalnya, tidak dipublikasikan soal kesepakatan perdagangan bebas yang telah lama diharapkan.”

Sejak kunjungan Xi Jinping ke Arab Saudi sebelumnya di awal tahun 2016 silam, pejabat PKT menjelaskan, perundingan terkait zona perdagangan bebas RRT dengan Dewan Kerjasama Negara Arab di Teluk (GCC) sedang dikebut, dengan harapan akan tercapai kesepakatan di tahun yang sama. Tapi telah 7 tahun berlalu informasi terbaru dari PKT masih berhenti pada status “sudah mencapai tahap akhir yang krusial”.

Perundingan perdagangan bebas RRT-Arab Saudi bisa dibilang merupakan salah satu negosiasi ekonomi dagang yang paling panjang dan paling sulit bagi PKT. Perundingan telah dimulai sejak tahun 2004, berhenti sementara di tahun 2009, diaktifkan kembali pasca kunjungan Xi Jinping ke Arab Saudi tahun 2016. 

Saat ini, RRT telah menjadi negara rekan dagang terbesar bagi GCC, sekaligus juga sebagai negara pengekspor dan pengimpor terbesar, penguasa PKT menggantungkan harapan yang sangat besar pada kunjungan Xi Jinping ke Arab Saudi kali ini. Akan tetapi hingga kini, perundingan perdagangan bebas kembali kandas.

Seorang blogger, penulis, sekaligus komentator Tiongkok bernama Li Xi (nama samaran) mengatakan pada Epoch Times, “Perdagangan RRT-Arab Saudi tidak mungkin bisa diharapkan, PKT hanya membutuhkan minyak dari Arab Saudi, sama sekali tidak tertarik pada produk lainnya, sementara Arab Saudi juga hanya butuh sejumlah instalasi pemantauan dan tenaga kerja dari Tiongkok. Dari mana kesepakatan perdagangan bebas itu dapat mulai dibicarakan.

Masalah “Kalkulasi Minyak Bumi Dengan RMB” Belum Terselesaikan

Masalah lain yang diharapkan PKT adalah “pelunasan minyak bumi dengan RMB”, Li Xi berkata, “RMB tidak mungkin dipertukarkan dengan bebas, Arab Saudi juga tidak mungkin menyimpan RMB, menukarkan RMB dengan minyak adalah pemikiran sepihak PKT.”

VoA mengatakan, walaupun hanya sebagian kecil ekspor minyak bumi Arab Saudi ke RRT dilunasi dengan mata uang RMB, bagi PKT hal itu merupakan suatu terobosan yang sangat berarti. Surat kabar “Wall Street Journal” pada Maret lalu memberitakan, Beijing terus bernegosiasi dengan Arab Saudi, dengan mata uang RMB dan bukan dengan USD menetapkan harga sebagian minyak bumi yang dijual kepada Tiongkok sudah berlangsung terputus-putus selama 6 tahun.

Dalam KTT GCC kali ini Xi Jinping kembali menyerukan, “Secara optimal memanfaatkan platform Shanghai Petroleum and Natural Gas Exchange (SHPGX), melakukan pembayaran minyak dan gas alam dengan mata uang RMB.” Terhadap hal ini Menlu Arab Saudi Faisal bin Farhan Al Saud menyatakan, “Saya tidak tahu menahu mengenai hal ini”.

Nara sumber Arab Saudi juga memberitahu Reuters, memperhitungkan dengan mata uang RMB untuk ekspor minyak bumi ke Tiongkok, “Belum saatnya dilakukan saat ini”.

Peneliti senior tidak tetap program Timur Tengah dari wadah pemikir Atlantic Council, sekaligus dosen Zayed University Abu Dhabi yakni Jonathan Fulton mengatakan kepada VoA, “Mempertimbangkan kapasitas dagang dan perjanjian antara Arab Saudi dengan RRT, hal ini memang beralasan. Tapi di sisi lain, ini akan menimbulkan dampak yang relatif besar terhadap prosedur finansial yang bermanfaat bagi Arab Saudi dan Tiongkok.”

Menurut Fulton, “Jika dolar AS melemah, pengaruh bagi Arab Saudi dan negara tetangga teluk akan sangat menyulitkan, mata uang mereka dikaitkan dengan USD, dan mayoritas dana kekayaan negara mereka telah diinvestasikan di Amerika.”

Jelang KTT RRT-Arab Saudi kali ini, pasar souvenir Tiongkok di Yiwu telah merampungkan transaksi pembayaran menggunakan mata uang RMB yang pertama kali dengan Arab Saudi. Walaupun demikian, VoA mengatakan, tidak dapat dipertukarkannya RMB adalah satu masalah krusial belum terselesaikan yang akan menjadi hambatan baru.

Bernard Haykel dari Princeton University berkata, “Jika menerima mata uang RMB, mereka (Arab Saudi) pun hanya bisa menggunakannya untuk mengimpor barang dari Tiongkok, dan tidak dapat digunakan untuk mengimpor produk dari negara lain seperti Jerman.”

Dosen Fakultas Urusan Internasional dan Kewirausahaan dari Nanhua University Taiwan yakni Sun Guoxiang mengatakan kepada Epoch Times, masalah Tiongkok yang paling fundamental adalah apakah perekonomiannya dapat ditopang, dengan kata lain apakah perekonomian Tiongkok bisa bertahan stabil, dan membuat seluruh dunia percaya masa depan perekonomian Tiongkok tidak akan bermasalah. 

Ia berkata, jika tidak maka kalkulasi dengan mata uang RMB tidak akan bisa menggantikan dolar AS. Walaupun bisa dilakukan pada ruang lingkup kecil, untuk sepenuhnya menggantikan dolar AS, melihat dari kondisi sekarang tidak bisa dilihat kemungkinan itu di masa mendatang.

Pakar: Beijing Tebar Uang Mungkin Kehilangan Tenaga di Akhir

Dalam kunjungan kali ini, Xi Jinping dan negara Arab telah menandatangani puluhan kesepakatan dan MoU, dengan total nilai mencapai puluhan miliar dolar AS, namun hingga kini, kalangan luar belum juga melihat isi konkrit dari kesepakatan tersebut.

Ramley yang menjabat pada dua kali masa pemerintahan Trump dan Biden mengatakan, kunjungan Xi telah mendorong hubungan PKT dengan negara Timur Tengah ke suatu klimaks, tapi mungkin juga berarti telah berakhirnya masa bulan madu. 

Ia berkata, negara di kawasan tersebut dipastikan mempunyai harapan yang lebih tinggi pada Beijing, tapi RRT telah menandatangani puluhan program ekonomi, besar kemungkinan akan tak bertenaga lagi, hingga akhirnya membuat banyak negara kecewa.

Sementara menurut Sun Guoxiang, Arab Saudi atau dunia Arab, pada dasarnya saat ini masih tergantung pada AS, hanya saja mereka sepertinya juga berharap pada Tiongkok, “Dengan kata lain, negara Arab bisa bekerjasama dan berkomunikasi dengan AS, tapi AS jangan bicara soal agama dengan saya (Arab Saudi), jika bicara soal agama, maka saya (Arab Saudi) mengisyaratkan akan beralih pada Tiongkok, dengan kata lain, saya (Arab Saudi) ada pilihan lain.”

Li Xi juga berkata, “Arab tidak mungkin bisa beraliansi dengan pihak RRT, dan pihak RRT juga tidak mungkin memberikan perlindungan yang kuat bagi monarki absolut ini, paling-paling hanya bisa berusaha mendapatkan keuntungan terbesar dari perselisihan antara AS dengan RRT.”

“Beijing jelas mengalami kegagalan diplomatik, tapi membesar-besarkan hasilnya, faktanya, bahkan negara-negara Arab pun akan meninggalkan RRT, kecuali bisa mendapatkan uang dari pihak RRT”, katanya.

Xi Buat Berang Iran, Iran Memanggil Dubes PKT Menyampaikan Tidak Puas

Pernyataan bersama antara PKT dengan negara GCC menyerukan agar dihentikan menyebarnya senjata berdaya bunuh skala besar di kawasan teluk, memastikan perdamaian program nuklir Iran, untuk menjaga keamanan dan stabilitas internasional dan regional.

Dalam pernyataan bersama kedua pihak, ada konten yang menyangkut wilayah sengketa antara Arab Saudi dengan Iran, disebutkan agar sengketa kedaulatan atas 3 pulau yakni Greater Tunb, Lesser Tunb, dan Abu Musa agar diselesaikan berdasarkan hukum internasional secara damai. 

Ramley mengatakan, “Pernyataan ini pada dasarnya telah mengadopsi sikap negara Arab terhadap Iran, jadi menurut saya kunjungan Timur Tengah kali ini anda dapat melihat antara RRT dengan Iran telah timbul lebih banyak pergesekan.”

Karena marah hari Sabtu (10/12) lalu Iran memanggil Dubes PKT, untuk menyampaikan “sangat tidak senang” dengan pernyataan PKT tersebut. 

Taiwan merdeka adalah garis merah yang digariskan PKT. Media massa Taiwan yakni Sanith E-Television (SET) News memberitakan, surat kabar Iran Arman Daily menerbitkan berita headline dengan tulisan besar “Taiwan Merdeka, Adalah Hak Yang Sah”, sebagai balasan terhadap PKT.

Kanal berita finansial YouTube “Latest from Emmy” menulis di Facebook, tindakan ini menyinggung saraf sensitif Iran, bahkan oleh Iran dipandang sebagai “pengkhianatan Beijing”, sehingga di luar dugaan memicu pembahasan “masalah Selat Taiwan” di Twitter.

Emmy Hu bertanya, berita headline pada surat kabar Iran menyatakan “Taiwan Merdeka Adalah Legal”, apa yang sebenarnya telah terjadi? Dapat bonus walau tidak melakukan apapun? “Tuan Xi telah membuat dunia semakin banyak yang mendukung Taiwan Merdeka, hebat.” (sud)