Otoritas Tiongkok Sedang Sibuk “Mengurangi” Jumlah Kematian Kasus COVID-19 yang Tinggi

 oleh Yu Ting

Mari kita lihat perkembangan “tsunami” COVID terkini di Tiongkok. Warga Beijing mengatakan : “Mobil-mobil di krematorium semuanya berbaris, dan mereka tidak bisa masuk untuk mendekati tempat pembakaran (tungku kremasi), ada antrian di depan pintu”.

Ledakan besar epidemi di Tiongkok kali ini menyebabkan jumlah kematian yang tinggi. Pada hari Selasa (20 Desember), pihak berwenang mengubah kriteria kematian kasus COVID-19 menjadi “bila kematian itu diakibatkan oleh peradangan pada paru-paru dan gagal pernapasan”. Sedangkan bila kematian itu diakibatkan oleh komplikasi atau penyakit mendasar yang menjadi parah tidak boleh diklasifikasikan sebagai kematian kasus COVID-19. 

Wang Guiqiang, ahli medis resmi Tiongkok mengatakan : “Kematian yang disebabkan oleh penyakit lain, penyakit dasar, seperti penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, infark miokard, dan lain-lain, tidak boleh diklasifikasikan sebagai kematian yang disebabkan oleh COVID-19”.

Hari Rabu (21 Desember), jumlah kematian dalam satu hari yang dilaporkan oleh pihak berwenang tidak hanya nol, tetapi juga minus satu. Jumlah kumulatif kematian dalam 3 tahun terakhir secara resmi jadi hanya berjumlah 5.241 kasus.

Pernyataan resmi tersebut menimbulkan cemooh netizen yang menuliskan komentarnya : Jadi menurut ukuran ini, kecelakaan lalu lintas tidak akan mengakibatkan kematian, karena penyebab kematiannya adalah kegagalan organ, kehilangan banyak darah, kepala pecah dan lain-lain.

Staf medis Tiongkok mengatakan : “Setiap hari ada saja keluar laporan, saran yang selalu berbeda-beda, seperti serial TV. Para ahli medis itu bisa tidak tutup mulut, tidak perlu saran makan ini minum itu, mereka bisa tidak datang berkunjung ke klinik-klinik kecil di tingkat akar rumput untuk melihat situasi sebenarnya yang terjadi di sana !” 

Warga Provinsi Shandong mengatakan : “Yah, cukup ! Sudah 3 tahun saya dibuat pusing (oleh otoritas). (COVID-19) katanya itu sejenis flu, sudah 3 kali vaksinasi katanya produk vaksinnya palsu. Beberapa waktu yang lalu, saya ikut warga yang panik untuk memborong minyak, beras, mie instan dan sayuran untuk menghadapi lockdown. Sekarang, entah apalagi yang mau mereka lakukan ? Menimbun obat-obatan untuk menunggu diserang flu ?  Ha,ha,ha. Saya sudah tidak mau ikut-ikutan lagi. Saya lebih baik menyerah ! Lagi pula dompet juga sudah kosong”.

Epidemi telah menyebar cepat di daratan Tiongkok dan menghancurkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah partai komunis Tiongkok yang sekarang justru beralih ke permainan angka untuk menutupi kebobrokannya dalam menangani epidemi jelas menimbulkan kekhawatiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), karena mereka tidak dapat melakukan penilaian risiko yang komprehensif demi kepentingan dunia.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan : “WHO sangat prihatin dengan perubahan situasi di Tiongkok, di mana laporan tentang kasus yang parah semakin banyak”.

Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan Masyarakat WHO mengatakan : “Saya tidak ingin mengatakan bahwa (pemerintah) Tiongkok berusaha menutupi kebenaran. Tetapi mereka jelas telah tertinggal dari kenyataan. Sedangkan kami membutuhkan cara yang lebih baik agar secepatnya memperoleh data yang aktual”.

Kebijakan Nol Kasus yang diberlakukan PKT terbukti tidak berkelanjutan. Setelah gelombang protes pecah di seluruh negeri pada akhir  November, pemerintah komunis Tiongkok tiba-tiba membebaskan pemblokiran tanpa mempersiapkan metode perlindungan dan tanggapan. Sekarang epidemi telah memburuk dan jumlah kematian yang diakibatkannya telah melonjak. Spekulasi masyarakat internasional adalah gelombang protes tidak akan surut meskipun Tiongkok sanggup keluar dari epidemi, tetapi ekonomi terus merosot.

Zhang Tianliang, sarjana sejarah dan budaya mengatakan : “Jika Barat masih memberlakukan embargo teknologi tinggi terhadap Tiongkok, membuat sejumlah batasan di bidang teknologi, perdagangan, pasar, dan modal. Maka ekonomi Tiongkok selain tidak tumbuh malahan akan menurun dengan kecepatan yang tinggi. Pada saat itu, mungkin saja epidemi sudah berlalu. Ditambah lagi dengan mata pencaharian masyarakat yang terus memburuk, hal itu benar-benar dapat memicu banyak orang turun ke jalan untuk melakukan protes. Itu baru pencapaian terbesar dari Revolusi Kertas Putih”. (sin)