Semua Proyek Raksasa Garapan Xi Jinping Sebelumnya Terlantar, Kini Giliran Meruntuhkan PKT

oleh Shi Shan

Dalam 10 tahun berkuasa, Xi Jinping terus meluncurkan proyek dan strategi raksasa, dari “Inisiatif Sabuk dan Jalan” hingga “Bank Investasi Infrastruktur Asia”, dari “Proyek Pengembangan Chip Sepuluh Triliun” hingga “Rencana Milenium Area Baru Xiong’an”, yang masing-masing membuat banyak orang terkagum sampai menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi semua itu pada dasarnya sudah terbengkalai. Bahkan proyek terkini yang juga terlantar adalah proyek pemberantasan virus COVID-19, yang selain gagal, tetapi juga sepenuhnya memberantas kepercayaan rakyat Tiongkok terhadap pihak berwenang. Rupanya, Xi Jinping masih memiliki satu proyek super yang belum sepenuhnya terwujud, yakni meruntuhkan Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Dalam edisi kuartalan terbaru majalah “Foreign Affairs” AS, mantan pemimpin redaksi Jonathan Tepperman menerbitkan sebuah artikel berjudul “China’s Dangerous Decline (Penurunan yang Membahayakan Tiongkok)”. Ia menyebutkan bahwa Tiongkok saat ini telah memasuki momen yang sangat berbahaya. Menurut Jonathan Tapperman, tiga peristiwa besar yang muncul dalam dua bulan terakhir ini telah menjadikannya sebagai periode terpenting dalam sejarah Tiongkok.

Tiga hal ini meliputi : Pertama, Xi Jinping memanfaatkan Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis Tiongkok untuk melenyapkan beberapa lawan politiknya yang tersisa, sehingga berhasil mengendalikan kekuatan Tiongkok secara penuh. Kedua, akibat ketidakpuasan warga sipil, meletuslah Gerakan Kertas Putih. Dan ketiga, PKT membuat konsesi langka dengan mengumumkan pelonggaran terhadap kebijakan pemberantasan virus yang sudah mati-matian ia pertahankan selama 3 tahun.

Menurut artikel tersebut, bahwa kerusakan yang disebabkan oleh Xi Jinping sudah mulai terlihat dalam banyak hal, terutama intervensi  yang terus menerus dihadapi ekonomi Tiongkok dan kebijakan ekstrem untuk memberantas virus yang berlangsung selama beberapa tahun terakhir telah menyebabkan runtuhnya ekonomi Tiongkok. Dari sisi kebijakan luar negeri, diplomasi serigala yang dipraktikkan sejak tahun 2018 telah menyebabkan status Tiongkok anjlok di hati masyarakat internasional. Hal mana juga membuat ekonomi serta perdagangan luar negeri jatuh ke dalam kesulitan

Jonathan Tepperman dalam artikelnya juga menyebutkan bahwa tekanan-tekanan itu akan menyebabkan ketidakstabilan kekuasaan di internal PKT, dan bahkan menyebabkan konflik internal semakin intens. Tepperman percaya bahwa masalah internal PKT cenderung berbentuk konflik “involusi”, meskipun juga bisa menjadi lebih tidak terduga dan agresif, seperti yang dilakukan Jerman pada menjelang Perang Dunia I dan Jepang pada Perang Dunia II.

Dia menyebutkan bahwa pada dasarnya yang mendukung legitimasi rezim PKT adalah 2 faktor berikut. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan yang kedua adalah nasionalisme. Oleh karena itu, ketika pertumbuhan ekonomi menurun, PKT mungkin akan meningkatkan pengakuan nasional melalui mengalihkan perhatian publik dengan memprovokasi kekuatan Barat. Sedangkan isu Taiwan dalam hal ini adalah yang paling perlu dikhawatirkan.

Tiongkok saat ini sedang menghadapi krisis besar ! Ini bukan ucapan yang menakut-nakuti. Selama orang yang masih bisa melihat dan yang mau mendengar, mungkin mengetahui krisis sebenarnya yang sedang terjadi di Tiongkok. Tapi apa dampak krisis terhadap PKT ? Apa yang akan terjadi terhadap sosial dan politik Tiongkok ? Apa yang akan terjadi selanjutnya ? Inilah topik yang paling menarik perhatian para elit kalangan atas di seluruh dunia. Artikel Tepperman hanyalah salah satu dari sejumlah besar pengamatan dan prediksi terkait hal ini.

Membicarakan topik ini tidak mudah, karena melibatkan banyak sekali persoalan dan berbagai faktor. Saya berpendapat bahwa prediksi Jonathan Tepperman ini tidak akan jauh meleset.

Menghadapi krisis saat ini, langkah pertama PKT pasti adalah melakukan penekanan terhadap suara-suara dalam negeri yang tidak sejalan dengannya, termasuk kekuatan internal dalam partai, serta menindas para peserta Gerakan Kertas Putih. Untuk itu, PKT akan mencari kambing hitam sebagai tempat pelampiasan keluhan internal. Namun, masalahnya yang dihadapi rezim saat ini adalah, lantaran Xi Jinping sudah dinilai berprestasi luar biasa terhadap bangsa dan negara Tiongkok, jadi bagaimana menurunkannya.

Contoh paling jelas adalah bahwa “Tang Fei” sekarang menjadi kata sensitif yang diblokir di Internet Tiongkok. Padahal “Tang Fei” adalah tanda untuk membedakan warga sipil yang berpendapat mendukung pemerintah melakukan pemberantasan dinamis dengan pendapat yang memilih hidup berdampingan dengan virus. Mereka berpendapat bahwa epidemi di Tiongkok saat ini beserta serangkaian krisis sosial yang ditimbulkannya, merupakan konsekuensi langsung dari kebijakan pelonggaran yang dilaksanakan secara tiba-tiba.

Tapi ini sesungguhnya akan bertentangan dengan masalah logika, akan sulit bagi pejabat PKT menggunakan Gerakan Kertas Putih sebagai kambing hitam untuk pelemparan kesalahannya. Karena tidak hanya orang dalam yang tahu, tetapi dunia luar juga tahu bahwa kebijakan Nol Kasus PKT itu sebenarnya tidak mungkin bisa berhasil. Jauh sebelum “Sepuluh Aturan Baru” diumumkan, epidemi telah menyebar luas di daratan Tiongkok.

Belum lagi soal peringatan dari Organisasi Kesehatan Dunia, misalnya, pada bulan November tahun ini, kedutaan AS telah mengeluarkan peringatan yang isinya meminta warga Amerika Serikat di Tiongkok untuk menyiapkan bahan pangan, obat-obatan, dan air minum setidaknya selama 14 hari, dan meminimalkan keluar rumah. Jelas, badan intelijen AS sudah mengetahui keseriusan masalah epidemi di Tiongkok.

Yang paling penting adalah baik pemberantasan virus secara dinamis atau pelonggaran pencegahan, sebenarnya di mata warga sipil Tiongkok itu semua adalah keputusan yang dibuat oleh PKT.

Artikel panjang Ren Zhongping yang dipublikasi di media corong PKT “Renmin Rebao” minggu lalu dimulai dengan tulisan sebagai berikut : “Di pabrik-pabrik bunyi mesin yang sedang beroperasi terdengar jelas. Di jalan-jalan dan gang, para pejalan kaki berlalu lalang. Kendaraan berseliweran di jalan raya dan kereta api bawah tanah pun sudah beroperasi penuh. Di pusat perbelanjaan, barang melimpah dan harga stabil. Para petani bekerja dengan penuh vitalitas  di ladang….. Di akhir tahun Ren Yin (2022) ini, vitalitas yang memenuhi seluruh Tanah Tiongkok seakan memperlihatkan adanya ribuan kesempatan perkembangan yang sedang menanti”. 

Menurut gambaran di atas ini, situasi di Tiongkok bukan lagi cuma baik tetapi sangat bagus, jadi mana ada krisis ? Sejujurnya, orang media seperti saya tidak memiliki kemampuan untuk melafalkan paralelisme khas karakteristik PKT. Untuk melafalkan teks semacam ini seseorang harus mengatur chi yang ada di dantian, menggunakan suaranya yang lantang, dengan mimik muka yang serius, mata melotot yang menunjukkan amarah. Contohnya seperti bakatnya aktor dalam pertunjukan program khusus Festival Lentera CCTV tahun 2020.

Gambaran indah yang dilukiskan oleh Ren Zhongping di awal tulisannya tentu saja untuk membuka jalan bagi kesimpulan dari artikelnya. Kesimpulan yang ia tulis begini bunyinya : Komite Sentral PKT yang dipimpin Xi Jinping pada intinya adalah memprioritaskan supremasi rakyat dan supremasi kehidupan, ia akan terus mengoptimalkan dan menyesuaikan tindakan pencegahan dan pengendalian epidemi sesuai dengan keadaan yang ada. Selain itu, Xi juga terus memimpin dan mempersatukan seluruh anggota partai dan kelompok etnis dalam negeri untuk bersama-sama melawan epidemi, hingga hasil positif yang signifikan dalam pencegahan dan pengendalian epidemi serta pembangunan ekonomi dan sosial terwujud”.

Oleh karena itu, istilah “Tang Fei” tidak boleh digunakan. Jika dipakai berarti mengakui bahwa masalah saat ini serius dan krisisnya sangat besar. Bagaimana “hasil positif yang signifikan” dapat tercermin ? Oleh karena itu, PKT sebenarnya sedang menghadapi dilema dan situasi yang dilematis. Namun demikian, kambing hitam tetap harus dicari dan ditemukan, Hanya saja persoalannya adalah bagaimana dan siapa yang harus dijadikan kambing hitam.

Pada tahun 1958, PKT yang dipimpin Mao Zedong meluncurkan program “Lompatan Jauh ke Depan”. Pada tahun 1962, 30 juta rakyat Tiongkok mati kelaparan dan ekonomi Tiongkok ambruk. Pada tahun 1962, PKT mengadakan pertemuan raksasa yang dihadiri 7.000 orang. Pada dasarnya semua pejabat provinsi dan militer berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Saat itu, Mao Zedong mengakui kesalahannya dan menyerahkan kekuasaan administratif kepada Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, setelah itu ia mundur ke garis kedua. Dua kambing hitam yang ditemukan PKT pada waktu itu, satu adalah “bencana alam”, kambing hitam yang ditemukan Lin Biao yakni “bencana alam hebat yang berlangsung selama beberapa tahun berturut-turut”. Yang kedua adalah “Uni Soviet memaksa pembayaran hutang”. Faktanya, kedua alasan itu hanya menipu diri sendiri.

Belakangan, Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping melakukan penyesuaian ekonomi, menghilangkan kantin komune, menerapkan sistem kontrak produksi rumah tangga, sehingga perekonomian Tiongkok secara bertahap pulih. Namun 4 tahun kemudian, Mao Zedong melakukan serangan balik melalui Revolusi Kebudayaan.

Jika tidak ada hal-hal yang di luar dugaan, tampaknya PKT masih akan kembali melalui proses ini. Pada pertengahan tahun ini, PKT telah berbicara tentang perselisihan garis antara pendukung dan penentang soal pembasmian virus yang dinamis. Sekarang kita dapat melihat dengan jelas bahwa oposisi yang berada di atas angin, memaksa Xi Jinping membuat konsesi. Namun, cepat atau lambat serangan balik pasti akan terjadi.

Ini adalah konflik “involusi” PKT yang disebutkan dalam artikel Jonathan Tepperman, yaitu konflik yang terjadi dalam partai. Setelah kegagalan program “Lompatan Jauh ke Depan”, PKT melancarkan dua perang, masing-masing adalah perang dengan India pada tahun 1962, dan satu lagi perang melawan Uni Soviet pada tahun 1969. Ini juga ungkapan ketangguhan dan pengalihan konflik dalam negeri Tiongkok yang disebutkan dalam artikel Tepperman.

Oleh karena itu, PKT kemudian melakukan beberapa hal, yang pertama adalah menemukan “bencana alam” sebagai kambing hitam. Seperti yang baru saja saya katakan, itu tidak bisa disebut “Tang Fei”, tetapi sesuatu yang lain. Yang kedua adalah pembersihan oposisi di internal partai. Yang ketiga adalah mengambil risiko membangkitkan sentimen nasionalis dengan menciptakan “musuh luar” untuk mengalihkan konflik.

Ciri-ciri sistem otokratis yang ditunjukkan di semua dinasti Tiongkok adalah kaisar itu orang yang berhasil menaklukkan dunia dengan menunggang kuda memimpin peperangan. Mereka memperoleh otoritas dengan memimpin prajurit untuk memenangkan perang dan mendirikan istana kekaisaran. Dalam menjalankan sistem pemerintahan, kaisarlah yang mengendalikan birokrasi. Namun dengan berjalannya waktu, sistem birokrasi menjadi semakin rumit, karena semakin banyak urusan yang harus dikelola, sehingga lambat laun berubah menjadi sistem birokrasi yang mengendalikan kaisar. Oleh karena itu, pada akhir periode, kaisar justru yang menjadi budak birokrasi. Begitu kaisar sadar bahwa kekuasaannya mulai berkurang, kemudian ingin mengatur kembali tata cara dalam kepemimpinan di istana agar dapat lagi memandu urusan politik yang ia butuhkan pada saat itu, seringkali hasilnya malahan kehilangan kekuasaan.

Situasi inilah yang sedang dihadapi Xi Jinping saat ini.

Hanya saja Xi Jinping menghadapi situasi yang lebih parah daripada kaisar di masa lampau. Dibandingkan dengan sistem otokratis kuno, kelemahan pada sistem otokratis modern lebih jelas, karena basis legitimasinya lebih lemah. Oleh karena itu, demi pengontrolan otokratis modern membutuhkan sistem polisi rahasia yang lebih ketat, juga membutuhkan teknik kontrol pejabat yang lebih rinci. Masalahnya adalah bahwa sistem yang mengatur kepegawaian itu sendiri juga merupakan bagian dari kepegawaian. Ketika pejabat tingkat bawah sudah kehilangan kepercayaan dan keyakinan mereka terhadap pemimpin tertinggi, maka teknik pengendalian secanggih apapun hasilnya akan sia-sia.

Tao Zhu dan Chen Boda adalah tokoh inti yang duduk di Komite Sentral Revolusi Kebudayaan usungan Mao Zedong, mereka dengan cepat digulingkan. Belakangan, Lin Biao, tokoh inti dari faksi Mao Zedong, akhirnya berubah menjadi tokoh inti yang anti-Mao. Kemudian orang-orang yang paling dipercaya oleh Mao seperti Hua Guofeng, Wang Dongxing, dan Ye Jianying, mereka bersama-sama mengotaki penangkapan istri Mao Zedong. Padahal orang-orang ini adalah tokoh yang digunakan Mao Zedong untuk mengontrol sistem birokrasi, tetapi karena mereka sudah tidak lagi mempercayai Mao Zedong, sekarang berbalik menjadi musuhnya.

Oleh karena itu, faksi Xi Jinping yang meskipun telah menduduki semua posisi penting di Kongres Nasional ke-20, itu sama sekali tidak akan berpengaruh terhadap intensifikasi konflik  internal partai, mereka tidak akan mampu mengakhiri “involusi”. 

Dibandingkan dengan Mao Zedong, jelas Xi Jinping derajat wibawanya lebih rendah, otoritas pribadinya juga jauh di bawah Mao. Karena wibawa itu tidak akan datang dengan sendirinya, juga tidak berkaitan langsung dengan jabatan. Dalam teori manajemen bisnis Barat, ada perbedaan antara pemimpin dan manajer. Seorang manajer dalam sebuah tim belum tentu merupakan pemimpin tertinggi dalam tim. Ketika keduanya dapat saling bekerja sama, maka tim menjadi lebih efisien dan biasanya sukses. Tetapi jika keduanya tidak dapat bekerja sama, pilihan terbaik adalah salah satunya keluar. Jika manajernya keluar, tim masih bisa diselamatkan, jika pemimpinnya yang keluar, tim pada dasarnya lumpuh.

Selama 10 tahun terakhir, Xi Jinping telah memberikan kinerja yang menunjukkan bahwa ia bukan seorang pemimpin melainkan seorang manajer. Hampir semua proyek besar yang secara pribadi ia putuskan untuk diterapkan telah berubah menjadi proyek terbengkalai. Terutama soal kebijakan Nol Kasus yang sudah berjalan selama 3 tahun terakhir, selain mempengaruhi kehidupan 1,4 miliar rakyat Tiongkok, juga kini menjadi terbengkalai, malahan lebih banyak rakyat yang terinfeksi dan meninggal dunia. Oleh karena itu, yang paling ditakuti Xi Jinping adalah munculnya seorang pemimpin sejati, karena karakter seperti inilah yang paling mengancam dirinya, sehingga harus segera dimusnahkan. Di bawah sistem otokratis, proses ini sangat kejam dan berdarah, dan jelas bukan sesuatu yang mudah ditebak oleh orang biasa.

Oleh karena itu, saya pikir dia (Xi) mungkin tidak bisa berkuasa sampai menggerakkan perang nasionalisme. Mampu bertahan lagi selama dua atau tiga tahun lagi sudah bagus. Kali ini, Xi Jinping akan melaksanakan proyek berskala besar terakhir yang hasilnya juga akan mangkrak, yaitu menterlantarkan atau menjatuhkan PKT. Hanya saja rakyat Tiongkok perlu menyiapkan mental. Ini akan membuat gejolak yang tidak kalah dengan epidemi virus komunis Tiongkok (COVID-19). Jatuhnya PKT juga akan menyebabkan rakyat Tiongkok mengalami gejolak dan krisis sosial yang besar. (sin)