Perang yang Mengorbankan 100.000 Prajurit Rusia Ternyata Tidak Memiliki Tujuan

Xia Luoshan

Perang Rusia-Ukraina sepertinya sudah tidak mungkin dapat diakhiri dengan cara lain selain kegagalan total Putin, karena dia baru saja mempertontonkan sumpahnya dengan penampilan buruk, bahwa dia tidak akan berhenti mengincar warga sipil Ukraina sebagai sasaran.

Dalam suatu upacara penganugerahan pada 8 Desember lalu, Presiden Rusia, Vladimir Putin dengan segelas arak di tangan kanan, ia berdiri di aula Istana Kremlin, dan mengklaim bahwa serangan berkelanjutan terhadap infrastruktur energi Ukraina adalah wajar, karena Ukraina telah menyerang Jembatan Krimea pada 8 Oktober lalu.

Putin dengan arogan menyatakan, ia akan mengabaikan kritik internasional, termasuk tudingan dari Ketua Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Mark A. Milley bahwa rencana Putin menghancurkan infrastruktur pembangkit listrik Ukraina adalah semacam kejahatan perang.

Putin mengatakan: “Sekarang banyak suara-suara terkait serangan kita terhadap infrastruktur energi negara tetangga. Tidak salah kita memang sedang melakukannya. Namun siapa yang memulainya?” Siapa yang telah menyerang Jembatan Krimea? Perkataannya sepertinya sedang mengisyaratkan, walaupun seluruh alam semesta menasihatinya agar tidak melakukan kejahatan perang, tidak akan ada yang bisa mencegahnya melakukan hal itu.

Direktur Biro Intelijen Kemenhan Ukraina, Kyrylo Budanov kepada majalah War Zone menyatakan, ada data yang membuktikan serangan terhadap infrastruktur sipil Ukraina, sudah direncanakan sejak awal sebelum Jembatan Krimea diledakkan pada 8 Oktober lalu. Mereka hanya menggunakan peledakan Jembatan Krimea sebagai alasan.

Diledakkannya Jembatan Krimea walaupun dilakukan oleh Ukraina, juga merupakan aksi militer. Bukankah pasokan logistik tentara Rusia dikirim ke garis depan melalui jembatan ini? Selain itu sebelumnya, bukankah tentara Rusia juga telah menghancurkan sejumlah jembatan di Ukraina? Tindakan dan serangan terhadap infrastruktur energi semacam ini, bagaimana bisa dibandingkan dengan kejahatan perang memutus jaminan kehidupan rakyat. Jelas hubungan logika di dalam otak Putin sudah kacau balau.

Pemerintah Ukraina berharap mendapatkan bantuan dari Gedung Putih, dan mendiri- kan sebuah pengadilan, dengan tujuan menyelidiki dan mengadili kejahatan perang yang dilakukan di wilayah Ukraina oleh pasukan militer Rusia yang dipimpinnya.

Direktur Kantor Kepresidenan Ukraina, Andriy Yermak dalam suratnya kepada Gedung Putih pada 7 Desember lalu menyatakan: “Tanpa adanya kebenaran maka tidak mungkin bisa menciptakan perdamaian di Ukraina, tidak ada pengadilan maka tidak bisa mewujudkan kebenaran.” Ia mengatakan, memulai suatu perang yang tidak beralasan dan melanggar hukum, berarti telah membuka pintu lebar-lebar bagi pelaku kejahatan, dalam aksi permusuhan di wilayah yang mereka kuasai, mereka telah melakukan beribu-ribu kejahatan dengan taraf yang berbeda. Mengadili individu dan menyelidiki kejahatan perang tertentu adalah tidak cukup, pengadilan seharusnya lebih tuntas dan lebih luas mengadili semua kejahatan perang, serta orang yang memberikan perintah.

Yermak mengatakan: “Ukraina mengimbau AS dan masyarakat internasional, agar mendukung Ukraina membangun sebuah pengadilan khusus untuk mengadili kejahatan invasi Rusia. Menggugat tentara Rusia, atas segala kejahatan perang yang telah mereka lakukan, dan yang telah melanggar Konvensi Jeneva, serta undang-undang internasional manajemen perang dan konflik.”

Jaksa Agung Ukraina, Andriy Kostin pada September lalu pernah mengungkapkan: “Waktu itu tercatat sebanyak 34.000 kasus lebih kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Rusia, dan angka tersebut masih terus meningkat.”

Tentara Rusia dituduh telah merampas dan menyiksa warga sipil Ukraina, membunuh dan menyiksa para tawanan perang Ukraina. Setelah tentara Rusia ditarik, di berbagai tempat di Ukraina ditemukan kuburan massal, diantaranya yang paling menarik perhatian adalah kasus yang berasal dari Izyum, Kharkiv. Tentara Ukraina telah menemukan sekitar 450 jasad, mayoritasnya adalah warga sipil.

Sejak pertengahan September lalu, Rusia terus menyerang infrastruktur energi milik Ukraina, padahal semua itu tidak ada fungsi militernya, tentara Ukraina pada saat melancarkan serangan tidak mengandalkan semua infrastruktur tersebut. Serangan terhadap warga sipil semacam ini, berniat menjatuhkan mental orang Ukraina, tapi akibatnya bukan menjatuhkan, sebaliknya justru meningkatkan ketahanan dan perlawanan dari warga Ukraina, di saat yang sama juga membangkitkan simpati dan dukungan masyarakat internasional yang lebih besar lagi kepada Ukraina, serta kemarahan terhadap tentara Rusia dan para pembuat keputusannya.

Putin mungkin tidak peduli pada Mahkamah Internasional, ia sedang memanfaatkan keanggotaannya di Dewan HAM PBB untuk mengukuhkan kekuasaan, mengabaikan prinsip UU HAM internasional, menciptakan kondisi yang menguntungkan baginya pada perang yang berlangsung lama di Ukraina.

Sepertinya Putin masih terlena pada “kemenangan” dengan mencaplok wilayah Ukraina, disebutkannya Laut Azov adalah laut dalam Rusia, setengahnya berada di wilayah Rusia, setengahnya lagi berada di wilayah Ukraina yang sekarang telah dikuasai Rusia, seperti kota pelabuhan Mariupol dan Semenanjung Krimea. Dalam proses ini, Putin kembali membandingkan dirinya dengan Peter the Great (Pyotr I, red.). Ia berkata, walaupun Peter juga hendak menguasai Laut Azov, tapi tidak berhasil diwujudkannya secara militer. Secara tersirat apa yang tidak bisa dicapai oleh Peter the Great, telah berhasil dilakukan oleh Putin. Hingga saat ini, Rusia telah menguasai sekitar 18% dari wilayah Ukraina.

Apa tujuan akhir dari perang Putin di Ukraina, sepertinya dia sendiri juga bingung. Awalnya, Moskow berencana dalam tempo 10 hari menguasai Ukraina, dan menumpas  semua   pemimpinnya sekaligus, di saat yang sama mendirikan pemerintahan boneka, lalu melancarkan gerakan propaganda   mendidik   ulang   warga Ukraina, untuk mewujudkan apa yang disebut demiliterisasi dan denazifikasi. Waktu itu serdadu Rusia bahkan mengenakan seragam kebesaran parade militer di saat memasuki Ukraina dan bukan mengenakan peralatan tempur musim dingin, karena Moskow begitu yakin dapat meraih kemenangan dengan cepat, dan pasukannya akan disambut di kedua sisi jalan. Tujuan perang pada saat itu jelas bukan sekedar mencaplok sebagian kecil wilayah Ukraina saja.

Setelah serdadu Rusia yang mengenakan jubah parade militer dibombardir oleh meriam hingga terusir dari wilayah Kiev, tujuan perang Putin pun berubah. Ia mengumumkan pada Oktober, telah mencaplok empat wilayah di Ukraina yakni Luhansk, Donetsk, Zaporizhia, dan Kherson, terhadap hal ini baik masyarakat internasional maupun Kiev me- nolak mengakuinya. Sekarang tentara Ukraina sedang mengusir tentara Rusia dari wilayah yang dicaplok nya.

Pada awal Desember ini, tujuan perang Rusia kembali mengalami  perubahan,  Istana  Kremlin memerintahkan pasukannya menyerang seluruh garis depan wilayah Donetsk di timur Ukraina dengan meriam, hal ini dinilai sebagai sinyal menyusutnya ambisi Putin, dia hanya ingin memastikan wilayah Ukraina yang didudukinya saat ini tidak direbut kembali.

Dewasa ini masih sulit diketahui apa sebenarnya tujuan akhir Istana Kremlin di Ukraina, karena ia tidak memiliki tujuan apa pun yang direalisasikannya, termasuk wilayah Ukraina yang diklaim telah dikuasai, semuanya masih berada di bawah serangan balasan dari pasukan Ukraina. 

Putin mencari  cara  untuk  bisa  mencaplok wilayah Ukraina dan memperluas wilayah Rusia, ini adalah dua hal yang berbeda dengan tujuan yang sebelumnya telah ditetapkan Moskow dalam “Operasi Militer Khusus”, tujuan dari operasi tersebut adalah menjadikan Ukraina sebagai negara boneka bagi Rusia, untuk membendung ekspansi NATO ke timur.

Melihat kecenderungannya, tujuan perang Putin sangat besar kemungkinannya akan terus berubah. Ketika pasukannya mau tidak mau harus hengkang dari semua wilayah Ukraina yang telah dikuasai, mungkin dia akan mengatakan, tujuannya adalah untuk melindungi keutuhan wilayah Rusia yang telah ada. Akan tetapi, apakah pada saat itu dia masih ada kesempatan berbicara, akan sulit untuk dikatakan.

Carl Philipp Gottfried von Clausewitz dalam karya berjudul “Vom Kriege” (On War, red.) mengatakan, perang adalah cara lain untuk melanjutkan kebijakan politik. Sejumlah analis militer menilai, pada saat Putin memberikan perintah “Operasi Militer Khusus“ menginvasi Ukraina tanpa alasan pada musim dingin (akhir Februari) lalu,  mungkin  Putin  mengira telah menguasai teori perang Clausewitz, ia hendak menyelesaikan hal yang tidak mampu dilakukan oleh Peter the Great. Tapi, jelas-jelas ia telah melewatkan bagian yang krusial, karena Clause- witz juga mengatakan, di dalam perang, segala sesuatunya adalah tidak pasti, dan bisa berubah………..

Perang merupakan ranah dari peluang.

Pemikiran Putin yang keliru seolah-olah telah menangkap semua “peluang” yang telah menyebabkannya kalah, dan membuat tujuan perangnya yang tadinya terlihat agung menjadi menyusut terus menerus, yang pada akhirnya berubah menjadi mengagresi Ukraina secara ilegal dan tanpa alasan serta telah melakukan kejahatan perang terhadap warga sipil. 

Invasi Putin menandakan pelanggaran terbesar terhadap peraturan  internasional  selama hampir 80 tahun terakhir pasca PD-II. Sebagai salah satu negara anggota tetap DK PBB, Rusia telah bertindak seolah-olah hukum internasional tidak eksis. Pengrusakan yang telah dilakukannya terhadap ketertiban internasional, akan menciptakan preseden yang sangat buruk, yakni suatu negara bisa melakukan tindakan semena-mena dengan mengandalkan sistem totaliter.

Dibandingkan dengan Perang Vietnam yang berlangsung selama 20 tahun, hanya dalam tempo seperdua puluhnya saja, Rusia telah kehilangan dua kali lipat personilnya dibandingkan AS pada Perang Vietnam dulu. Saat ini korban tewas dan terluka di pihak Rusia sedang mendekati angka 100.000 orang, hingga 24 Februari tahun depan, tepatnya setahun setelah invasi yang tidak beralasan ini, jumlah korban tewas di pihak Rusia mungkin akan mencapai angka yang mempermalukan Rusia.

Sekretaris Pers Pentagon, John Francis Kirby menyatakan, cara mengakhiri perang hanya bisa dengan pihak Ukraina memenangkan perang. Washington akan menyediakan peralatan dan kemampuan yang dibutuhkan Ukraina dalam meraih keberhasilan di medan perang, agar perang ini dapat diakhiri dengan cara pihak Ukraina tetap mempertahankan keutuhan wilayahnya, kedaulatannya, dan kebebasannya. (sud)