Pandemi Merebak Malah Buka Gerbang Negara, Diplomasi Beijing akan Hancur Berantakan

Ning Haizhong & Luo Ya

Pada saat merebaknya kembali gelombang baru pandemi akibat COVID-19 meledak di Tiongkok, jumlah korban meninggal terus bertambah, dan muncul ratusan macam varian baru, bahkan varian primitif “paru-paru putih” yang hanya ada di Wuhan pun muncul pada strain virus asli. Serangkaian tindakan Partai Komunis Tiongkok (PKT), termasuk mengubah kriteria penyebab kematian, dan mengubah nama penyakit virus Korona, serta membuka gerbang negara, telah menarik perhatian internasional. Pihak AS memperingatkan PKT agar mengendalikan pandemi dan menjamin transparansi data, agar dunia tidak mengalami bencana kedua. PKT telah berulang kali menolak tawaran bantuan dari AS dan Eropa. Tokoh pengamat menilai, PKT mengungkap sifat preman aslinya di mata internasional, dalam hal diplomasi pasti akan berantakan.

PKT Berulang Kali Tolak Bantuan Internasional, Justru Membuka Pintu Negara Saat Pandemi Sedang Marak

Kantor Imigrasi Nasional RRT pada 27 Desember lalu mengumumkan, mulai 8 Januari 2023, akan membuka kembali segala administrasi terkait permohonan paspor bagi warga RRT yang hendak bepergian ke luar negeri, untuk pergi ke Hong Kong dan lain sebagainya. Hal ini mengundang sorotan internasional. maka Jepang, Korea Selatan, Italia, India dan lain-lain langsung mengeluarkan berbagai kebijakan screening virus COVID-19  khususnya bagi warga negara RRT yang masuk ke wilayah negaranya.

Kantor berita Reuters memberitakan, pada 27 Desember lalu pejabat AS menyatakan, karena tidak transparannya data terkait pandemi yang dipublikasikan oleh PKT, maka AS mencemaskan tindakan PKT yang membuka perbatasan negaranya, Washington sedang mempertimbangkan mengambil tindakan pengetatan khusus bagi warga negara RRT yang akan datang ke Amerika. Pejabat tersebut juga menyebutkan, masyarakat internasional semakin khawatir dengan kondisi pandemi di Tiongkok yang kembali mengganas, sementara data yang dipublikasikan tidak cukup transparan.

Dalam kondisi kekurangan obat dan vaksin di dalam negeri RRT yang diragukan efektivitasnya, pihak AS dan Jerman telah menyampaikan kesediaan memberikan vaksin bagi RRT untuk melawan pandemi, namun ditolak oleh mereka dengan alasan “masih mampu memenuhi kebutuhan secara keseluruhan”.

Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS yakni John Kirby pada 14 Desember lalu menyatakan, jika Beijing meminta, AS bersedia membantu Tiongkok menghadapi pandemi yang sedang melonjak saat ini. Juru bicara Kemenlu RRT Wang Wenbin langsung menanggapi dalam konferensi pers, bahwa mereka memiliki “keunggulan sistem”, yang dipastikan mampu mengatasi pandemi dengan lancar.

Pada 28 Desember lalu pakar permasalahan Tiongkok bernama Wang He menyatakan kepada The Epoch Times bahwa gelombang pandemi di Tiongkok kali ini berdampak sangat besar pada hubungan diplomatik AS dan RRT. Atas dasar kemanusiaan AS berniat memberikan bantuan bagi Tiongkok. Niat AS adalah melindungi keamanan negaranya, juga butuh memahami kondisi pandemi Tiongkok. Akibatnya memposisikan PKT dalam kondisi buruknya moralitas.

Wang He berkata : Pertama-tama, ini adalah masalah pamor. Karena Beijing hendak bersaing dengan AS dan Jerman dalam hal vaksin, maka dibuatlah beberapa jenis vaksin. Lalu memainkan diplomasi vaksin di seluruh dunia, dan memberikan bantuan vaksin bagi negara-negara berkembang. Dalam kondisi sekarang ini, jika PKT menerima bantuan vaksin dari AS, bukankah sama saja dengan PKT menampar wajahnya sendiri?”

PKT tidak mengimpor vaksin luar negeri, juga mengendalikan ketat obat-obatan khusus yang diimpor dari luar negeri. Wang He juga berkata, “PKT memandang remeh nyawa warga Tiongkok. Tetapi bagi AS, dan bagi masyarakat internasional, ini sungguh sangat konyol. Mereka dipastikan akan memberikan tekanan pada PKT.”

Tedros Pun Mulai Berseru, Tuntut PKT “Transparan” Ungkap Data Pandemi

Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam suatu briefing rutin pada 21 Desember lalu juga menghimbau agar PKT mempublikasikan data dengan transparan, agar memudahkan dilakukan penelitian sumber virus secara lebih baik. 

Tedros juga terus mengimbau untuk berbagi data dan melakukan penelitian yang diminta serta terus menuntut dilakukannya penelitian. Tedros  menÿebutkan “Semua asumsi terkait sumber asal penyakit menular ini harus dipaparkan dengan jelas di atas meja.”

Mengenai sumber asal virus, menurut Wang He, di bawah tekanan internasional, PKT pernah mengizinkan WHO mengutus sejumlah pakar masuk ke Tiongkok. Tapi memberlakukan pembatasan ruang lingkup investigasi WHO, hingga akhirnya tidak berkelanjutan. Karena sumber asal virus menyangkut rahasia inti PKT, maka PKT tidak mungkin akan benar-benar membuka diri. PKT sudah keterlaluan, rekayasa sudah terlalu berlebihan, bahkan orang-orang yang sejalan dengan PKT sekalipun, termasuk orang seperti Tedros sekarang pun mulai menjaga jarak dengan PKT.”

Pandemi Merebak, Kematian Meningkat, PKT Buru-Buru Ralat Data Kematian

Setelah PKT melonggarkan pencegahan pandemi, jumlah orang terpapar semakin bertambah, menurut data resmi pemerintah, setiap hari terdeteksi ribuan kasus positif, tapi hanya beberapa kasus kematian saja. Namun menurut simulasi jumlah orang terpapar sudah mencapai 400 juta. Komisi Kesehatan Nasional RRT sejak 25 Desember lalu tidak lagi mempublikasikan informasi harian terkait pandemi.

 Banyak media massa asing melakukan liputan langsung pada krematorium di Beijing yang ternyata penuh dengan tumpukan mayat dan tungku kremasi beroperasi 24 jam nonstop. Kondisi yang sama juga dialami semua krematorium dan rumah duka di seluruh penjuru Tiongkok.

 Wang He mengatakan, menurut aturan WHO, data yang disodorkan PKT harus transparan, tapi PKT tidak melakukannya. Beijing tidak berharap dunia dan AS mengetahui data-data tersebut secara akurat, jika tidak maka permainan mereka ini tidak akan bisa diteruskan lagi.

Kebiasaan PKT adalah manipulasi data. Termasuk kader internal dengan jabatan tertentu, pasti akan menjaga kerahasiaan. Seperti pada 1958 hingga 1962, di Tiongkok terjadi wabah kelaparan besar, data ini dikendalikan langsung oleh PM Zhou Enlai, dan kemudian dimusnahkan sendiri olehnya. Data pandemi saat ini juga telah mencapai taraf yang sedemikian sensitifnya. 

 Media Massa RRT : Kematian Akibat Paru-Paru Putih Mencapai 40%, Dikhawatirkan Muncul Virus Baru

Belum lama ini beredar terus bermunculan kondisi “paru-paru putih”, yakni gejala tipikal saat pandemi Wuhan pada 2020 lalu. Ketika ayah dari mantan pembawa acara CCTV yang bernama Fan Deng meninggal dunia, bagian paru-parunya juga mengalami pemutihan dengan luasan yang sangat besar.

 “Paru-paru putih” atau disebut juga Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), adalah wujud yang tampak pada saat penderita di-scan dengan X-Ray atau CT-Scan, diberi sebutan seperti itu sebab di bagian paru-paru terlihat bercak putih yang sangat besar.

 Beberapa waktu lalu di jejaring di Tiongkok bermunculan kekhawatiran terhadap fenomena “paru-paru putih” ini. Pemerintah dengan cepat menepis hal ini, pejabat Komisi Kesehatan RRT, pejabat daerah di Beijing maupun Wuhan, semua mengatakan “paru-paru putih” tidak berarti telah mengalami strain virus yang lebih mematikan. Tapi banyak warganet tidak percaya, dan menilai bantahan pejabat menandakan kebenaran atas berita yang beredar ini.

 Wang He menyatakan, saat ini di Tiongkok telah terjadi tingkat kematian tinggi, rasio penyakit parah tinggi, dan begitu banyak kasus paru-paru putih, tapi PKT menggunakan keuniversalan pandemi dunia untuk menutupi kekhususan pandemi di Tiongkok, dengan mengatakan pandemi di Tiongkok tidak jauh berbeda dengan dunia, masih berupa jenis Omicron yang sama. Tapi mereka sendiri sangat memahami, dan sekarang PKT berniat menyebarkan virus ini ke seluruh dunia, agar semua orang mengalami kenaasan serupa.

Analisa: Virus Celakakan Dunia, “Diplomatik Preman” PKT Akan Berantakan

Dalam konferensi pers Kemenlu RRT pada 27 Desember lalu, wartawan kantor berita AFP mengemukakan soal Jepang dan India yang mewajibkan WN Tiongkok melakukan pengujian PCR saat masuk wilayahnya .

 Juru bicara Kemenlu RRT Wang Wenbin mengawali dengan menyombongkan “kontribusi penting” Beijing terhadap pencegahan pandemi, lalu meminta agar “tindakan pencegahan pandemi negara lain seharusnya sesuai dengan moderasi ilmiah, dan tidak mempengaruhi interaksi antar manusia secara normal”.

 Wang He menjelaskan, pada tiga tahun lalu, 2020, pandemi mulai menyebar di Tiongkok, PKT pun mulai merekayasa data, dan menipu masyarakat internasional. Waktu itu AS-lah yang pertama kali memberlakukan larangan perjalanan ke Tiongkok, akibatnya RRT mencaci maki AS. Tapi dengan cepat semua orang akhirnya tahu, tindakan benar yang diambil AS itu pun sudah terlambat. PKT sudah menyebarkan pandemi ke seluruh dunia. PKT tidak pernah meminta maaf, juga tidak pernah berubah sikap.

 Wang He menyatakan, gelombang pertama terpapar virus itu pada 2020 menyebar dari Tiongkok ke seluruh dunia, waktu itu semua negara tidak berpengalaman, juga tidak waspada. Sekarang semua orang sudah sangat mengerti, PKT memang sengaja membiarkan orang-orang yang terpapar itu keluar negeri, jika kelompok manusia yang menyimpan virus yang baru, lalu menyebar ke seluruh dunia, maka PKT sekali lagi mencelakakan dunia. Tindakan premanisme semacam itu, pada akhirnya memaksa semua negara menyekatnya, membuatnya terpojok ke posisi tak berdaya. “Diplomasi ala premanisme” PKT ini bakal hancur berantakan. (sud/whs)