Tiga Konfrontasi Terkait Pandemi Antara AS-RRT

Wang He

Pada 28 Desember lalu, pejabat kesehatan AS menyatakan terhitung mulai 5 Januari 2023, mewajibkan turis dari Tiongkok sebelum menaiki pesawat harus menunjukkan hasil tes PCR negatif COVID-19. AS melakukan hal itu, terutama dikarenakan adanya tiga faktor yakni Tiongkok tengah dilanda tsunami pandemi dan “tidak transprannya” data pandemi PKT (Partai Komunis Tiongkok), serta terlalu ekstremnya perubahan kebijakan pencegahan pandemi di Tiongkok.

Terkait tsunami pandemi kali ini, PKT dengan sikap meremehkan mengatakan “secara keseluruhan situasi terkendali”, “virus Korona akan eksis di alam bebas dalam jangka waktu lama, daya penularannya telah menurun dibandingkan sebelumnya, penularan penyakit akan perlahan berubah menjadi semacam penyakit pernafasan menular yang umumnya dijumpai”, serta sepenuhnya telah melenyapkan karakteristik tingginya tingkat keparahan dan tingkat kematiannya.

Apalagi, seperti biasanya PKT mengendalikan dengan sangat ketat data pandemi. Contohnya, selama dua minggu berturut-turut belum melaporkan jumlah pasien dirawat di rumah sakit akibat terjangkit virus. Sampai Dirjen WHO Tedros dalam suatu briefing rutin pada 21 Desember lalu, juga menghimbau PKT agar mempublikasikan data tersebut, agar dapat dilakukan penelitian sumber virus secara lebih baik.

Di saat yang sama, PKT mengumumkan: Tidak lagi diterapkan kebijakan isolasi bagi pasien terjangkit, mulai 8 Januari 2023, menghapus protokol karantina bagi orang yang datang ke Tiongkok, dan memberi akses bepergian ke luar negeri bagi warga Tiongkok. Dalam kondisi tsunami pandemi dan adanya kemungkinan timbul varian virus baru yang mematikan, tindakan ini dicurigai sebagai niat PKT membuka gerbang negaranya untuk menyebarkan virus ke seluruh dunia, dengan tujuan balas dendam pada Barat.

Wajar bahwa hal ini menjadi sorotan pihak AS. Pada 23 Desember lalu, Menlu AS Blinken menelepon Menlu RRT Wang Yi, menekankan bahwa sangat penting bagi Beijing untuk menjaga transparansi data pandemi. Belajar dari hikmah menyebarnya pandemi dari Tiongkok ke seluruh dunia pada 2020 silam, bukan keterlaluan bahwa AS menuntut para turis dari Tiongkok untuk menunjukkan hasil laporan negatif tes PCR COVID-19. Faktanya Jepang, Malaysia, Taiwan, Italia, India, dan Filipina sebelumnya telah mengumumkan pembatasan bagi turis asal Tiongkok untuk masuk ke wilayahnya. 

Apabila dilihat dari contoh nyata, pada 28 Desember, pejabat kesehatan Italia menyatakan, dalam dua penerbangan dari Tiongkok menuju Milan di minggu tersebut, setelah diperiksa, hampir setengah dari penumpang dinyatakan positif COVID-19.

Namun, karakter premanisme PKT tidak dapat ditutupinya. Pada 27 Desember lalu, menanggapi pengumuman banyak negara yang mewajibkan tes PCR bagi semua turis asal Tiongkok, juru bicara Kemenlu RRT Wang Wenbin memprotes dengan mengatakan, “Ini tidak ada kelayakan ilmiahnya, dan berdampak pada interaksi normal antar manusia”.

Di awal pandemi, tepatnya pada 31 Januari 2020 lalu, pemerintah AS mengeluarkan peringatan bagi warganya agar tidak pergi ke Tiongkok karena pandemi. Terhadap hal itu, PKT sangat berang, dan mengkritik tindakan AS menaikkan level peringatan bepergian tersebut “terlalu kasar”. Kemudian fakta membuktikan, tindakan AS itu adalah suatu keharusan, hanya saja seharusnya dilakukan dengan lebih awal, lebih menyeluruh, dan lebih tuntas.

Sekarang, AS memberlakukan pembatasan masuk bagi turis asal Tiongkok, PKT kembali mencak-mencak. Ini bisa dibilang merupakan konfrontasi pertama antara AS dengan PKT seputar masalah pandemi. Selain konfrontasi pertama ini, masih ada dua konfrontasi lainnya:

Pertama, Terkait Sumber Asal Pandemi

PKT mengendalikan ekstra ketat data pandemi, menekan orang yang melaporkan (seperti mendiang Li Wenliang, seorang dokter mata Tiongkok di Rumah Sakit Pusat Wuhan, dianggap sebagai orang pertama yang mengeluarkan peringatan tentang wabah coronavirus Wuhan pada 30 Desember 2019. Pada 3 Januari 2020, polisi Wuhan memanggilnya dan menegurnya karena dituduh “membuat komentar palsu di Internet”. Li kembali bekerja tetapi kemudian tertular virus dari pasien yang terinfeksi dan meninggal pada 7 Februari 2020 dalam usia 34 tahun), dan terus menerus menyalahkan pihak lain. Tetapi di bawah tekanan masyarakat internasional, PKT yang munafik mau tidak mau harus bekerjasama dengan pihak WHO. Pada 30 Maret 2021, WHO secara resmi mengumumkan laporan hasil pemeriksaan sumber asal COVID-19 yang “memiliki kekurangan sangat serius” itu. Kemudian AS berikut 14 negara lainnya menyampaikan pernyataan bersama, dengan menyatakan kekhawatiran karena penelitian oleh pakar internasional untuk menyelidiki sumber virus diperlambat secara serius serta kurangnya jalur yang diizinkan untuk memperoleh data dan spesimen awal yang menyeluruh.

Pada 12 Agustus 2021, WHO mendesak Beijing berbagi data terkait kasus COVID-19 yang pertama terjadi, untuk menginisiasi kembali penyelidikan sumber virus Korona, serta mempublikasikan informasi tersebut untuk meredakan kontroversi akibat kebocoran laboratorium. Tetapi PKT justru balik memfitnah mengatakan itu adalah “penelusuran berbau politik”, dan tidak menerima program penelusuran sumber virus tahap kedua dari WHO.

Pada Mei di tahun itu (2021), terkait kontroversi sumber asal virus, Presiden AS Biden meminta sistem intelijen AS untuk “terus mengumpulkan dan menganalisa informasi terkait, agar dapat semakin mendekati pembuatan kesimpulan yang pasti”, dan diberi batas waktu 90 hari. Tapi pada 27 Agustus 2021, Kantor Direktur Intelijen Nasional AS mengeluarkan ringkasan evaluasi non-rahasia laporan penelusuran sumber asal, dan tetap terdapat kontradiksi: Dua macam sumber virus yakni berasal dari alam atau dari kebocoran laboratorium, keduanya tidak bisa diabaikan. Biden lantas menyatakan: “Informasi krusial terkait sumber asal dari penyakit menular ini berada di Tiongkok, namun sejak awal, pejabat PKT selalu berupaya menghalangi para penyidik internasional dan anggota tim kesehatan publik dunia memperoleh informasi tersebut.” Biden bersumpah, “Dunia harus mendapatkan jawabannya, sebelum kita mendapatkan jawaban itu, saya tidak akan berhenti. Adapun negara yang bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan bagi dunia tidak boleh menolak pertanggung-jawaban semacam ini.”

Pada 8 November tahun lalu, PKT mempublikasikan artikel panjang puluhan ribu kata, dengan judul “Fitnah Keji AS Terhadap RRT Terkait Sumber Asal Virus Korona dan Fakta Sebenarnya”, sebagai keterampilan ekstemnya yakni menyerang dengan mencari-cari kesalahan pihak lain dalam hal ini AS.

Hingga kini, setelah tiga tahun pandemi, sumber asal virus yang menewaskan sedikitnya 6,6 juta orang di seluruh dunia itu masih tetap suatu teka teki yang belum terpecahkan. Pada 21 Desember 2022 lalu Tedros menyatakan, terkait sumber penyakit menular ini, semua asumsi masih “digelar di atas meja”. Konfrontasi masyarakat internasional yang dipimpin AS dengan PKT terkait sumber asal pandemi, masih jauh dari kata berakhir.

Kedua, Terkait “Pandemic Treaty” Internasional

Berkaca dari pandemi kali ini yang melanda seluruh dunia, demi untuk meningkatkan keamanan kesehatan internasional, khususnya setelah mendapat pelajaran dari pandemi ini, masyarakat internasional berharap agar dibuat kesepakatan internasional terkait pandemi.

Pada 29 November 2021, lembaga kesehatan tertinggi dunia yakni WHO (terbentuk dari 194 negara berdaulat), mengadakan rapat khusus selama 3 hari di Jenewa (ini adalah kedua kalinya rapat sejenis diadakan sejak dibentuknya WHO pada 1948), sepakat menginisasi suatu proses global, menyusun dan membahas suatu kesepakatan yang memiliki makna tonggak sejarah, untuk memperkuat pendeteksian, pencegahan, dan tanggap darurat terhadap penyakit menular. Untuk itu WHO membentuk Badan Negosiasi Antarbangsa (INB), dan meminta agar INB menyerahkan laporan perkembangannya pada Majelis Kesehatan Dunia (WHA) ke-76 / 2023, serta menyerahkan hasil kerja pada Majelis Kesehatan Dunia (WHA) ke-77 / 2024 untuk dievaluasi.

Perkembangan saat ini, INB telah menggelar tiga kali pertemuan, dan bersepakat menyusun sebuah Zero Draft, memastikan negosiasi yang akan dilangsungkan pada 27 Februari 2023 mendatang dibahas berdasarkan draft ini, dan direncanakan pada Mei 2024 akan tercapai kesepakatan akhir yang memiliki kekuatan hukum.

Terkait tercapainya kesepahaman atas draft ini, menandakan perundingan “Pandemic Treaty” internasional telah mencapai selangkah lebih maju dalam tonggak sejarah. Tapi, konfrontasi AS-PKT masih begitu sengit.

Sebagai contoh, walaupun PKT terus menerus menyatakan bahwa mereka “selalu patuh hukum mempublikasikan informasi secara tepat waktu, terbuka, dan transparan, serta selalu melaporkan kondisi pandemi pada WHO”, tapi faktanya nyata-nyata tidak demikian. Tapi ketua negosiator AS Pamela Hamamoto menjelaskan dengan gamblang, naskah draft saat ini masih memiliki banyak ruang untuk perbaikan; AS berharap melihat transparansi dalam kesepakatan, serta pengendalian dan reaksi dengan segera, juga berbagi data yang cepat dan menyeluruh.

Contoh lainnya adalah masalah kekuatan hukum pada “Pandemic Treaty”. Kesepakatan yang sebelumnya ditetapkan oleh WHO seperti “International Health Regulations” dan juga “WHO Framework Convention on Tobacco Control” merupakan kategori “hukum lunak” yang sifatnya merekomendasikan, karena tidak adanya kekuatan hukum dan mekanisme pertanggungjawaban sehingga terjadi masalah ketidapatuhan. “Kontrak tanpa ancaman sanksi tak lebih dari sekedar dokumen kosong”. Maka, haruskah “Pandemic Treaty” diberi kekuatan hukum dan mekanisme pertanggungjawaban? Sikap PKT selama ini selalu tidak mau mengakui mekanisme pertanggungjawaban internasional, hanya dalam satu hal ini saja, negosiasi bakal berjalan sangat alot.

Kesimpulan

Dari ketiga konfrontasi pandemi antara PKT dengan AS di atas, bisa terlihat bahwa PKT bukan hanya tidak peduli akan hidup mati rakyatnya, juga sama sekali tidak mau peduli pada keamanan masyarakat internasional. Kebijakan “tiarap” pencegahan pandemi PKT yang sekarang berlaku, tidak hanya akan mencelakakan rakyatnya sendiri, juga akan sekali lagi menyebarkan virus ke seluruh dunia. AS dan masyarakat internasional seharusnya mempunyai pemahaman yang jernih dan tindakan antisipasi yang aktif terhadap hal ini, serta tidak berilusi apapun pada PKT. (Sud/Whs)