Banyak Negara Terapkan Pembatasan Masuk, Respon Beijing Kena Tampar WHO

Zhou Xiaohui

Mengikuti jejak AS, Inggris, Prancis, Australia, India, Kanada, Korsel, Jepang, Maroko, Spanyol, Italia, Malaysia, dan Filipina yang telah mengeluarkan ketentuan hasil tes Covid-19 harus negatif bagi WN RRT, dan ketentuan wajib karantina bagi yang hasil tesnya positif, pada 3 Januari lalu Uni Eropa juga menggelar rapat membahas tentang hal ini.

Menurut kantor berita Bloomberg AS dan surat kabar Financial Times Inggris, juru bicara Komisi Eropa menyatakan, pada 3 Januari lalu penasihat kesehatan Uni Eropa telah menyetujui sebuah draf opini, yang merekomendasikan agar semua penumpang dalam penerbangan dari Tiongkok diwajibkan mengenakan masker dan menambah pengujian air limbah, dilakukan tes genomic, serta membahas masalah pengujian Covid-19. 

Pada rapat yang diadakan di Brussels itu, “mayoritas” dari 27 negara Uni Eropa (UE) menuntut harus dilakukan tindakan pengujian virus, dan di antara negara anggota itu Prancis, Italia, dan Spanyol telah mengumumkan pembatasan masuk bagi para penumpang yang berasal dari TIongkok. Para dubes masing-masing negara UE akan segera menggelar rapat membahas usulan terkait tersebut.

Alasan negara di atas dan UE bereaksi seperti itu adalah karena sejak tanggal 7 Desember lalu, ketika PKT melonggarkan pengendalian pandemi secara ekstrem tanpa pemberitahuan di awal kecepatan penularan virus, penderita sakit parah dan tingkat kematiannya, jauh melampaui bayangan semua pihak.

Di internet beredar hasil rapat internal Komisi Kesehatan PKT yang mengungkapkan, dalam satu hari saja yakni 20 Desember jumlah yang tertular mencapai 37 juta orang, dan menunjukkan tren terus bertambah dari hari ke hari, antara tanggal 1 hingga 20 Desember akumulasi jumlah tertular telah mencapai 248 juta orang, atau sekitar 17,56% dari total penduduk RRT. Pada tanggal 23 Desember lalu surat kabar Inggris Financial Times membenarkan hal itu. Selain itu Shanghai Tongji juga memberitakan, tingkat penularan berkelompok gelombang pertama di Beijing mencapai 87%.

Selain itu, epidemiolog sekaligus mantan ilmuwan kepala epidemi CDC bernama Zeng Guang pada Phoenix Finance yang diadakan akhir Desember mengatakan, rasio terpapar di Beijing mungkin telah melampaui 80%, bahkan lebih tinggi lagi. Selain itu menurut artikel berjudul “Management Perspective” di NetEase, Inc. merangkum perkiraan oleh berbagai pihak, diperoleh perkiraan orang terjangkit di Tiongkok mencapai 560 juta orang, bahkan mungkin telah melampaui 600 juta orang.

Berita dalam dari Komisi Kesehatan Nasional dan perkiraan para pakar PKT, sesuai dengan apa yang telah dirasakan warga Beijing yang mengatakan “di sekitarnya sudah positif”. Skala dan kecepatan penyebaran seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan jauh melampaui AS dan Eropa.

Tak hanya itu saja,  banyak korban tertular mengalami gejala “paru-paru putih”, kamar mayat di rumah sakit di banyak daerah telah dipenuhi jenazah, antrian panjang terlihat di berbagai crematorium, tungku kremasi siang malam tidak pernah berhenti membakar dan berbagai fenomena lainnya, semua hal tersebut menyimpulkan satu hal yakni jumlah korban meninggal bukan angka kecil. Hal ini dengan sendirinya mencemaskan AS dan Eropa: apakah telah muncul varian baru dari virus PKT? Jika tidak mengapa korban meninggal dan tertular begitu banyak? Begitu tersebar di negaranya, apakah akan mengakibatkan penyebaran dan kematian yang baru?

Ditambah lagi adanya pengalaman sebelumnya yakni setelah merebaknya pandemi 2020 lalu, PKT tidak hanya tidak menutup perbatasan dan memberitahu fakta pandemi kepada negara lain, sebaliknya justru membiarkan virus menyebar ke seluruh dunia, menyebabkan dunia harus mengalami tragedi pandemi, jutaan orang meninggal, sumber asal virus hingga kini belum ada kesimpulan, tapi AS dan Eropa sudah mengetahui PKT menyebarkan virus tersebut dan menutupi pandemi, sehingga tidak ada lagi kepercayaan terhadap PKT, oleh sebab itu kali ini memperingatkan lebih awal tidak dianggap kurang pantas, terhitung juga telah menyerap pelajaran. 

Tapi pembatasan masuk yang diberlakukan AS, Inggris, dan Prancis membuat penguasa PKT sangat tidak senang. Dalam konferensi pers yang digelar Kemenlu PKT pada 29 Desember lalu, juru bicara Kemenlu mengatakan, “Pihak RRT sejak awal menilai pencegahan pandemi berbagai negara seharusnya layak ilmiah dan memandang sama rata warga di semua negara, tidak seharusnya mempengaruhi interaksi kerjasama antar manusia, kami berharap semua pihak menjunjung tinggi prinsip ilmiah…” dan lain-lain.

Pad 3 Januari lalu, menghadapi semakin banyak negara yang memberlakukan pembatasan, juru bicara Kemenlu PKT kembali berpidato, “Pihak RRT bersedia berkomunikasi dengan masyarakat internasional, berupaya bersama memerangi pandemi, sekaligus juga menilai sebagian negara yang telah menempuh pembatasan masuk bagi WN RRT sebagai tindakan yang tidak memiliki dasar ilmiah, sejumlah cara yang berlebihan sangat sulit diterima.” 

Juru bicara juga mengatakan, pihaknya menentang keras mempermainkan kebijakan pencegahan dan pengendalian pandemi untuk mencapai tujuan politik, akan mengambil tindakan yang sesuai berdasarkan prinsip kesetaraan untuk menghadapi kondisi yang berbeda.

Demi keamanan warga negaranya, negara lain mengambil tindakan pencegahan dan pengendalian pandemi adalah “tujuan politik”, selama tiga tahun terakhir tuntutan keras PKT bagi orang yang masuk ke Tiongkok, seperti bukti hasil tes negatif, bukti vaksin dan wajib karantina sampai 2 minggu, adalah untuk tujuan politik apa?  Apakah demi kesehatan warganya, atau untuk memenuhi kebijakan “Nol-Covid” para petinggi PKT? Dengan dua lapis standar seperti itu, PKT tidak merasa malu apalagi gugup, benar-benar tidak tahu malu.

Tak hanya itu, juru bicara bahkan tanpa rasa malu berbohong lagi, “Sejak meletusnya pandemi, RRT selalu kooperatif dengan dunia internasional melawan pandemi, sejak awal bersama masyarakat internasional menghadapi tantangan pandemi. Terhadap perubahan baru dan situasi baru melawan pandemi, departemen terkait RRT telah merilis informasi terkait sesuai hukum, cepat, terbuka, dan transparan, dan telah berbagi data genetik virus lewat situs GISAID terkait kasus terpapar COVID-19 di Tiongkok baru-baru ini.”

Pakar epidemiologi senior CDC Tiongkok yakni Zunyou Wu yang menjadi sasaran caci maki rakyat Tiongkok baru-baru ini juga bekerjasama dengan pemerintah mengatakan, saat paling awal merebaknya pandemi di Wuhan, CDC RRT yang pertama menyerahkan susunan gen ke forum GISAID, agar semua negara dapat berdasarkan urutan gen tersebut meneliti dan mendiagnosa cairan reagen dan vaksin, “Termasuk pandemi kali ini, di Tiongkok terdapat 9 jenis strain virus Omicron sedang melanda, semua hasil ini telah dibagikan dengan WHO, jadi RRT tidak merahasiakan apapun, semua hasil kerja dibagikan dengan dunia.”

Tapi pada 21 Desember lalu, yang dikatakan Dirjen WHO Tedros pada konferensi pers terakhir 2022 yang diadakan di Jenewa, kembali menampar keras wajah PKT. Tedros mengatakan, karena kurang pemahaman terhadap virus, mengakibatkan penyelamatan terhadap penderita dan pencegahan merebaknya pandemi serupa di masa mendatang tidak dapat dilakukan, dan Tedros kembali menghimbau PKT agar berbagi data dan materi penelitian. Ia juga “merasa khawatir” terhadap pandemi yang kembali terjadi di Tiongkok, oleh sebab itu menghimbau PKT agar menyerahkan data terkait kasus penderita serius, penanganan pengobatan dan kebutuhan ICU, agar dapat dilakukan evaluasi menyeluruh.

Jelas sekali, yang diungkap pernyataan Tedros ini adalah WHO belum menerima data terkait dari PKT, seperti rangkaian virus, kasus pengidap parah, penanganan medis dan kebutuhan ICU, oleh sebab itu pemahaman dunia terhadap virus COVID sangat terbatas, tidak bisa menyelamatkan korban terpapar secara efektif dan mencegah meledaknya pandemi serupa di masa mendatang.

PKT tidak memberikan data terkait di atas, apa yang hendak ditutupinya? Apakah karena merasa bersalah? Dan tiba-tiba membuka negaranya, apakah terkait dengan tuntutan AS menyelidiki PKT yang bertanggung jawab karena telah menyebarkan virus tersebut? Agustus 2021, Partai Republik di DPR AS telah merilis versi terbaru laporan penelusuran sumber Covid-19 (virus PKT), kesimpulan terbaru adalah sumber virus berasal dari laboratorium virologi Wuhan, menyebutkan “ada banyak bukti menunjukkan virus berasal dari laboratorium virologi Wuhan”, dan virus tersebut sejak September 2019 telah ada. Laporan juga lebih lanjut menyatakan “virus mungkin pernah dilakukan rekayasa genetik”, oleh sebab itu diserukan agar dilakukan penyelidikan menyeluruh.

16 Desember 2022, anggota kongres AS James Comer saat diwawancarai oleh Fox News, dirinya berjanji begitu Partai Republik meraih mayoritas kursi partai bulan Januari mendatang, akan langsung menginisiasi penyelidikan sumber virus.

 Kini Partai Republik telah berhasil memperoleh mayoritas kursi partai, dan bulan Januari juga telah tiba, hal yang paling ditakutkan PKT akan segera terjadi. (hui)