Ahli Epidemiologi : Puncak Kedua Gelombang Serangan Wabah COVID di Tiongkok Diprediksi pada Mei atau Juni

Kathleen Li dan Lynn Xu

Wabah COVID-19 di Tiongkok saat ini diperkirakan akan mencapai puncak kedua dalam beberapa bulan mendatang, menurut ahli epidemiologi Tiongkok. Gelombang pertama terus melanda negara ini, menewaskan sejumlah besar kader veteran Partai Komunis dan selebritas di berbagai bidang dan membebani sistem medis Tiongkok.

Tanggal puncak untuk gelombang kedua infeksi intensif akan terjadi antara Mei dan Juni tahun ini. Prediksi tersebut datang dari Zhang Wenhong, direktur Pusat Nasional Penyakit Menular Tiongkok dan kepala penyakit menular di Rumah Sakit Huashan Shanghai, menurut laporan 10 Januari dari portal berita daratan Tiongkok, Sina.

Sementara itu, ahli epidemiologi Tiongkok Zeng Guang mengatakan dalam laporan Caixin News, yang diterbitkan pada 12 Januari, bahwa gelombang nasional akan bertahan pada puncaknya selama 2-3 bulan, dengan kasus-kasus yang parah berlangsung sedikit lebih lama. Zeng adalah anggota kelompok ahli senior dari Komisi Kesehatan Nasional dan kepala ilmuwan di Pusat Pengendalian Penyakit Tiongkok.

Prediksi ini muncul ketika gelombang pertama virus masih menerjang daratan Tiongkok.

Serentetan obituari kematian harian orang terkenal dalam beberapa minggu terakhir telah menjadi bukti skala wabah tersebut. Sampel harian pada 13 Januari termasuk Mao Ahi, anggota Akademi Teknik Tiongkok, Xuan Ke, seorang etnografer musik, dan penyanyi terkenal Xie Lisi. Meskipun berita kematian kader Partai Komunis, akademisi, dan tokoh-tokoh hiburan telah menjadi berita di seluruh dunia, laporan resmi tidak menyebutkan COVID-19, dan umumnya hanya merujuk pada “penyakit.”

Wabah eksplosif telah melanda Tiongkok sejak awal Desember, ketika Partai Komunis Tiongkok (PKT) melonggarkan kebijakan Nol COVID-19 yang telah diterapkan selama bertahun-tahun. Lonjakan kematian  dramatis pun terjadi.

Lansia Menanggung Beban Terbesar dari Virus

“Banyak orang lanjut usia yang meninggal dunia dalam gelombang epidemi ini, seperti pensiunan pejabat senior dan seniman seni pertunjukan, yang sudah berusia 80-an dan 90-an,” Komentator Jepang Li Wenzheng mengatakan kepada The Epoch Times pada 13 Januari.

Li menempatkan beberapa tanggung jawab atas kematian tersebut pada PKT. Para anggota partai yang sudah lanjut usia tidak lagi berguna bagi rezim, tetapi menikmati uang pensiun yang tinggi dan perawatan medis khusus serta asuransi sebagai hadiah atas kesetiaan mereka kepada partai. Kematian mereka meringankan beban ekonomi rezim, di saat Tiongkok sedang berjuang secara ekonomi setelah tiga tahun menghadapi pandemi.

Dalam sebuah postingan di Weibo pada 21 Desember, ekonom Tiongkok Mei Xinyu, seorang peneliti di Kementerian Perdagangan, meratapi kematian ayah mertuanya, Hu Angang – seorang anggota partai yang sudah lanjut usia dan dihormati.

Mei mengatakan bahwa ayah mertuanya “berakhir di lantai kamar mayat rumah sakit menunggu untuk dikremasi” karena “200-300 mayat menunggu untuk dikremasi setiap hari di pemakaman Babaoshan Beijing, dan hari ini tidak ada antrean untuknya.” Hu bukanlah warga biasa. Dia adalah seorang profesor di Universitas Tsinghua, direktur Institut Studi Nasional, dan kepala ahli di Institut Tata Kelola Nasional dan Global.

Terpaksa Menyimpan Jenazah di Rumah

Situasi ini bahkan lebih sulit bagi warga Tiongkok pada umumnya. Mendapatkan perawatan medis sangat sulit, dan ketika gagal, sama sulitnya untuk mendapatkan tempat untuk kremasi. 

Pihak keluarga kadang-kadang terpaksa menyimpan mayat orang yang dicintai di rumah atau di dalam kendaraan mereka, kata seorang warga Shanghai yang tidak disebutkan namanya kepada The Epoch Times. 

Sedangkan, warga Shanghai Zhang Pei (nama samaran) mengatakan kepada The Epoch Times bahwa seorang teman membayar tambahan 5.000 dolar AS untuk mendapatkan kremasi tepat waktu bagi seorang anggota keluarga yang sudah lanjut usia.

Warga Shanghai Wu Fangyan (nama samaran) mengatakan pada 13 Januari bahwa “rumah sakit masih penuh sesak. Hanya satu obat yang diberikan untuk setiap kunjungan, dan satu obat tersebut tidak menurunkan demam, jadi Anda harus kembali pada sore hari dan mengantri berjam-jam … terus mendaftar, mengantri, menemui dokter, dan mendapatkan obat.”

Wu mengungkapkan rasa frustasinya karena dokter tidak mau memberikan lebih dari satu dosis obat. “Kadang-kadang Anda bahkan tidak bisa mendapatkan [satu dosis] obat setelah mengantre berjam-jam.”

“Sikap pemerintah terhadap kami adalah mengabaikan apakah kami bisa bertahan hidup atau tidak.”  Yang kuat bertahan hidup, sisanya mati, kata Wu.

Pejabat : ‘Pertempuran yang telah dipersiapkan’

Para pembuat kebijakan Tiongkok memiliki cerita yang berbeda. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin mengklaim pada konferensi pers pada 9 Januari bahwa Tiongkok sedang berjuang dalam “pertempuran yang telah dipersiapkan” untuk melawan epidemi.

Seluruh dunia terus menyatakan keprihatinannya tentang data kematian dan infeksi yang tidak jelas dari Tiongkok. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada 11 Januari bahwa mereka bekerja sama dengan Tiongkok tetapi mengatakan bahwa respon negara itu ditantang oleh kurangnya data. 

“Ada beberapa kesenjangan informasi yang sangat penting yang sedang kami upayakan untuk diisi oleh Tiongkok,” kata pemimpin teknis COVID-19 WHO Maria Van Kerkhove. (asr)