Virus Paling Mengerikan yang Menyerang Manusia

Shi Shan

Minggu lalu (akhir 2022), putri saya tiba-tiba bertanya, mengapa hakim di Hong Kong harus selalu mengenakan wig putih? Di mata anak-anak, pada dasarnya saya dikenal sebagai buku ensiklopedia berjalan yang tahu segalanya, maka itu saya menjawab, karena hakim Inggris mengenakan wig itu juga. Dia bertanya lagi, mengapa hakim Inggris harus mengenakan wig? Saya menjawab lagi, karena kalangan masyarakat kelas atas dan bangsawan Eropa Barat pada abad pertengahan mempunyai kebiasaan mengenakan wig. Ia bertanya lebih lanjut, mengapa pada masa itu bangsawan Eropa harus mengenakan wig? Saya sudah tak bisa menjawab lagi.

Dengan bangga putri saya mengatakan, hal ini ada kaitannya dengan sebuah pandemi.

Dia mengatakan, karena Raja Prancis Louis XIV mengidap penyakit maut hitam/pes (black death, red.), walaupun telah sembuh, tetapi seluruh rambutnya rontok, maka dikenakanlah wig. Akhirnya para bangsawan Prancis berebut menirunya. Namun karena wig sangat mahal, orang miskin tidak mampu membelinya, oleh sebab itu wig pun menjadi sebuah simbol para tokoh kalangan atas di Prancis. Ini sedikit mirip dengan fungsi merek-merek barang mewah sekarang ini. Dengan adanya asal usul ini, kemudian muncullah penampilan aneh pada para hakim di Inggris dan juga di Hong Kong.

Faktanya, hal yang sering atau tidak begitu sering kita jumpai dalam kehidupan, termasuk perlengkapan sehari-hari, peralatan, karya seni, legenda, bahkan lagu anak-anak, ada kaitannya semua dengan pandemi dalam sejarah. Jadi ada teman yang menyebutnya sebagai fosil budaya peninggalan pandemi. Salah satunya adalah wig yang dikenakan hakim.

Tragedi “Romeo dan Juliet” karya Shakespeare yang kita kenal, juga terkait dengan pandemi. Juliet mendapat bantuan dari uskup, meminum obat yang berkhasiat dapat berpura-pura mati, dia menitipkan pesan lewat seseorang kepada Romeo, untuk menceritakan hal ini kepadanya. Kemudian dalam perjalanan kurir pesan itu tertular penyakit Maut Hitam dan dikarantina di sebuah desa dan tidak bisa keluar. Setelah Romeo kembali, ia mengira Juliet telah mati, maka Romeo pun bunuh diri. Setelah tersadar kembali Juliet begitu sedih, sehingga dia pun kemudian mengikuti jejak Romeo yakni bunuh diri demi cinta.

Selain wig dan Shakespeare, sistem perkotaan modern yang dikembangkan di Eropa, khususnya instalasi dan sistem kesehatan publik modern, bahkan banyak kebiasaan hidup, semuanya ada kaitannya dengan wabah maut hitam yang menelan banyak korban jiwa di Eropa itu. Sejarawan bahkan menilai, penyakit maut hitam sebenarnya adalah penyakit pes, yang telah mengakibatkan perubahan teramat besar bagi Eropa. Termasuk periode Renaisans sendiri, termasuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan runtuhnya sistem pertanian feodal Eropa, semua itu ada kaitannya dengan wabah besar yang melanda kala itu.

Jika kita menerawang lebih jauh lagi, kebangkitan dan kehancuran Yunani dan Romawi, bangkit dan merosotnya agama Kristen, juga ada kaitannya dengan wabah besar. Kebangkitan bangsa Arab dan peradaban Islam, sebenarnya juga erat kaitannya dengan wabah besar. Faktanya, penelitian paling awal pada penyakit menular, dan konsep paling awal infeksi kuman, pertama kalinya dilakukan oleh bangsa Arab.

Orang pertama di dunia yang menemukan sifat penularan pada penyakit menular, adalah seorang dokter dunia Islam pada masa Dinasti Samaniyah yakni Ibnu Sina. Pada 1020 Masehi, dalam buku “Al-Qanun Fi At-Tibb” karyanya, telah dijelaskan isolasi dapat mencegah penyebaran penyakit menular, dan cairan tubuh yang terkontaminasi zat alami tertentu yang tercemar bisa juga menular.

Pada abad ke-14 Ibnu al-Khatib dari Dinasti Nasrid, saat meneliti penyakit maut hitam (pes) di Semenanjung Iberia, yakni kawasan Al-Andalus, beranggapan bahwa “penyakit menular disebabkan oleh mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh manusia”. Teori ini pada dasarnya adalah sama dengan pemahaman pada ilmu medis modern terhadap penyakit menular.

Hasil riset bangsa Arab terhadap penyakit menular, sebenarnya menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap politik di kawasan Mediterania. Karena pada masa tertentu, kerajaan Romawi timur (Byzantium) dan musuh tradisionalnya yakni kerajaan Persia, sedang dilanda wabah pes, hanya bangsa Arab yang tidak terlalu terdampak wabah tersebut, hal ini menyebabkan kekuatan Arab di pesisir Mediterania terus meluas.

Begitu pula dengan Tiongkok. Seperti pada saat merebaknya wabah pes di kawasan Huabei (Tiongkok utara) pada akhir masa Dinasti Ming, mengakibatkan penduduk di Tiongkok utara berkurang drastis, khususnya kota-kota besar adalah tempat dilanda wabah pes yang paling parah, akhirnya kekuatan di pusat politik melemah drastis, tidak mampu lagi membendung petani yang memberontak dan serangan dari bangsa luar, lalu mengakibatkan kehancuran.

Juga kerajaan Inca di Benua Amerika, karena penyakit cacar membuat populasinya menyusut drastis, sehingga orang Eropa bisa menjajahnya.

Jika demikian, maka peradaban modern manusia saat ini, gaya hidup sekarang, sebenarnya pada dasarnya tercipta bersama antara manusia dengan bakteri dan virus. Manusia, virus, dan bakteri hidup berdampingan selama jutaan tahun, sehingga terbentuklah manusia dengan gaya hidup sekarang ini. Eksis bersamaan semacam ini, sepertinya harus terus berlanjut.

Mungkin ada teman pembaca yang bertanya, pandemi Covid-19 yang menyebar sekarang ini, dampak apakah yang akan ditimbulkannya bagi manusia? Maafkan kebodohan saya, pertanyaan yang begitu besar ini, hal ini sungguh jauh di atas kemampuan pikiran saya, tidak mampu menjawab. Saya hanya samar-samar dapat merasakan dampak jangka pendek yang timbul bagi Tiongkok, yakni kebijakan yang ditempuh pemerintah RRT terhadap pandemi Covid-19, telah menghancurkan legitimasi penguasa PKT secara total. Karena legitimasi berasal dari kepercayaan, ketika kepercayaan sudah tidak ada, maka legitimasi pun ikut hancur.

Masih ingat ketika dulu pernah membaca penjelasan peramal terkenal Perancis Nostradamus. Dalam buku “Les Prophéties” karyanya, telah meramal banyak kejadian besar di dunia, dan sangat akurat. Nostradamus sendiri adalah biarawan, juga dokter. Pada masanya, bertepatan saat wabah maut hitam melanda Prancis, sebagai seorang tenaga medis, Nostradamus harus selalu pergi ke daerah wabah, menyelamatkan para pasien. Sebutan modern baginya adalah “dabai (dibaca: ta pai, petugas yang memakai APK serba putih di Tiongkok)” ala Prancis.

Seperti kita ketahui penyakit maut hitam adalah penyakit pes, sifat penularannya sangat kuat, banyak orang yang mendekat pada pasien akan langsung tertular, sejumlah dokter dan perawat meninggal dunia tak lama setelah memasuki kawasan wabah. Sementara Nostradamus tidak pernah tertular parah. Dia sendiri merasa itu adalah mukjizat, dalam kepercayaan terhadap mukzijat seperti itu dia juga memperoleh kebijaksanaan meramal masa depan.

Wabah maut hitam Eropa telah menyebabkan lebih dari separuh populasinya meninggal dunia. Tapi banyak catatan menyebutkan, memang banyak orang yang berada di kawasan wabah, atau terpapar virus, namun tidak tertular sama sekali. Bahkan ada orang yang merasa bersedih kehilangan kerabat yang meninggal, serta bertekad terus mendampinginya, dan berbaring selama sepuluh hari bersama jasad kerabatnya itu, namun tidak tertular wabah! Kejadian ini terdengar seperti dongeng, tapi adalah kejadian nyata. Karena orang Inggris baru-baru ini melakukan suatu eksperimen, dan telah menemukan hal yang sama.

Untuk memahami mekanisme penularan virus Covid-19 pihak Royal Free Hospital tahun lalu telah mencari 36 orang relawan untuk melakukan eksperimen penularan virus. Relawan tersebut adalah orang-orang yang berbadan sehat dengan rentang usia 18-29 tahun dan memiliki imun tubuh yang baik.

Alur eksperimen juga sangat hati-hati: setiap responden diberi masa screening selama 2 sampai 3 bulan, dengan begitu dapat memastikan para responden dalam kondisi kesehatan yang baik dan tidak memiliki penyakit dasar. Selain itu, orang yang dijadikan objek eksperimen juga belum pernah menerima vaksin. Para responden ditularkan virus dengan penetes hidung, lalu diisolasi, kemudian diamati kondisi mereka setelah ditularkan. Hasilnya adalah, sebanyak 18 orang tertular, ada 1 orang membawa virus namun tanpa gejala, sedangkan 17 orang lainnya tidak membawa virus juga tidak ada gejala apapun.

Yang menarik perhatian penulis adalah, kelompok 17 orang ini yang tidak mengalami gejala apapun juga tidak terdapat virus. Karena orang-orang ini, agak menyerupai kondisi Nostradamus. Dulu pemahaman saya pada imun tubuh adalah, ketika virus memasuki tubuh kita, sistem imun tubuh akan bekerja, lalu menimbulkan daya imun. Yaitu sistem imun tubuh berperang melawan virus, mengenali virus tersebut, lalu membentuk imun tertentu untuk mengatasi virus tersebut. Jadi jika diperiksa, di dalam tubuh kita memiliki antibodi.

Tapi dalam tubuh 17 orang tersebut tidak ada antibodi. Mereka sama sekali tidak tertular.

Pakar mengatakan mereka memiliki kemampuan imun super. Tapi mengapa ada orang yang bisa memiliki kemampuan imun super? Sebenarnya pakar sama sekali tidak mengerti, kesehatan tubuh tentu saja sangat penting, tapi 18 orang lainnya juga bertubuh sehat. Selain itu juga memiliki kualitas psikologis yang baik, kondisi mental yang baik. Kedua hal ini agak sulit dijelaskan dengan pengetahuan umum.

Saya merasa wabah maut hitam di Eropa mewaskan lebih dari setengah populasi Eropa, termasuk orang-orang yang beruntung masih hidup ketika Tiongkok dilanda wabah, mungkin tidak hanya mereka tidak terpapar virus atau bakteri, tapi kemungkinan mereka sama sekali tidak bisa tertular. Orang-orang seperti apakah itu?

Pakar virologi Profesor Dong Yuhong yang sering diwawancarai oleh The Epoch Times telah memiliki kesimpulannya, bisa dijadikan referensi. Menurut Profesor Dong terdapat sejumlah keunikan kondisi mental pada orang-orang tersebut, contohnya orang yang sangat menghargai makna kehidupan, kemampuan sel pembunuh alami di dalam tubuhnya cenderung lebih kuat dalam melawan virus. Orang yang memiliki nilai aktualisasi diri, atau orang yang lebih altruistik (lebih mementingkan orang lain tanpa memikirkan diri sendiri, red.), tubuhnya secara alami akan berada dalam kondisi anti virus. Juga orang yang berhati mulia, jujur, toleran, memaafkan, juga berpengaruh pada kemampuan tubuh mereka melawan virus.

Dengan kata lain, orang yang memiliki sifat yang berlawanan dengan baik hati, jujur, dan memaafkan, atau orang yang lebih egosentris, orang yang egois, maka akan lebih mudah tertular.

Sejarah manusia akan selalu mengalami wabah besar pandemi, manusia yang beruntung dapat bertahan hidup, sepertinya ada kaitannya dengan kondisi orang yang “sama sekali tidak tertular virus”. Kita ulangi lagi kesimpulan di atas: Peradaban manusia saat ini, gaya hidup sekarang ini, pada dasarnya terbentuk bersama antara manusia dengan bakteri dan virus. Manusia telah hidup berdampingan selama jutaan tahun dengan virus dan bakteri, sehingga membentuk manusia berikut gaya hidup manusia yang ada sekarang. Maka kita bisa menyimpulkan sebagai berikut: Setiap orang yang hidup di dunia sekarang ini, ada orang-orang yang para leluhurnya memiliki karakteristik mental seperti ini.

Saya tidak menyangkal perlindungan yang diberikan ilmu kedokteran, tapi juga mengidentifikasi, dari transenden yang eksis kita dapat memperoleh kekuatan imun yang lebih baik. Betapapun mengerikannya virus, kalau leluhur kita mampu memeranginya dan tetap eksis, maka kita juga mampu. Dilihat dari sudut pandang lain, virus atau bakteri tidak menakutkan, yang menakutkan adalah bila kita telah kehilangan daya imun bawaan itu, kehilangan komunikasi spiritual kita dengan tingkatan yang lebih tinggi.

Karena bagi manusia, sifat egois, keras kepala, jahat, kasar, munafik, dan berpandangan sempit, adalah virus yang paling menakutkan. (sud)