Mengapa RMB & EUR Tak Mampu Geser Posisi Dominan USD

Xia Yu

Peristiwa geopolitik yang baru-baru ini terjadi memicu suatu masalah berkepanjangan, yakni apakah posisi dominan mata uang USD (dolar AS) sebagai cadangan devisa menghadapi risiko. Kantor berita Bloomberg menerbitkan artikel yang mengatakan, posisi dominasi mata uang AS (Amerika Serikat) itu tidak mengandung sedikit pun risiko. Kalaupun ada, perkembangan kejadiannya hanya untuk menekankan lebih lanjut mengapa mata uang dolar Amerika (King Dollar) itu selalu bertengger pada singgasananya.

 Artikel menyebutkan, penantangnya baru-baru ini adalah semacam mata uang bersama dari Amerika Selatan, untuk sementara ini disebut “Sur” (selatan dalam bahasa Spanyol, red.). Ini adalah pemikiran yang telah ada sejak 1980-an, jika mata uang ini menjadi kenyataan, akan mendorong perdagangan antara Brasil dengan Argentina (walau keduanya masih mempertahankan mata uangnya masing-masing). 

Jika mata uang ini berhasil mengatasi masalah buruknya likuiditas dan fluktuasi mata uang, maka negara Amerika Selatan lainnya mungkin akan tertarik untuk ikut bergabung. Tapi saat ini sudah ada mata uang yang sudah bisa mengatasi masalah ini, yakni mata uang USD.

 USD masih tetap menjadi mata uang dunia, dari USD 2 triliun uang kertas dolar AS itu setengahnya beredar di luar AS. Bahkan di banyak negara, penjualan ritel sehari-hari menggunakan USD menggantikan mata uang lokal. Di dunia ini sekitar 40% hutang dikeluarkan dalam bentuk USD. Kondisi semacam ini memberi keistimewaan yang berlebihan bagi AS, juga memberikan kuasa teramat besar bagi mata uang USD.

Hal ini juga berarti AS menjadi debitor terakhir di seluruh dunia. Sebanyak hampir 60% cadangan devisa seluruh dunia dalam mata uang USD, sedangkan mata uang EUR (mata uang Eropa) menduduki posisi kedua sekitar 20%. Hampir 90% transaksi valas menggunakan USD. Pertukaran valuta asing dalam jumlah besar antara The Fed dengan para bank sahabat telah memberikan dukungan bagi kebijakan stimulus selama pandemi melanda seluruh dunia.

Artikel di Bloomberg mengatakan, walaupun Trade Weighted Indeks Dolar AS menurun belakangan ini, tapi menguatnya USD pada mayoritas waktu ke waktu sejak krisis moneter global bukanlah suatu kebetulan. Runtuhnya cryptocurrency belakangan ini telah menunjukkan betapa sulitnya bersaing dengan King Dollar. Perekonomian, surat hutang dan saham AS telah menjadi pilihan utama tempat berlindung bagi investor global di saat ekonomi lesu maupun saat makmur, fenomena ini disebut juga “senyum dolar” (dollar smile).

Teori “dollar smile” dikemukakan oleh mantan analis kebijakan moneter Morgan Stanley yakni Stephen Jen, yakni pada saat ekonomi lesu maupun makmur dolar AS tetap menguat. Suatu macam situasi dan kondisi yang terjadi adalah, kemakmuran ekonomi AS mendorong menguatnya USD. Contohnya sebelum dan sesudah 2014, ekonomi AS kuat, maka dolar AS perlahan-lahan memperlihatkan senyuman. Suatu situasi dan kondisi lainnya adalah, pemikiran menghindari risiko juga mendorong menguatnya dolar AS. Contohnya ketika ekonomi seluruh dunia di luar dugaan mengalami dampak dari konflik antara Ukraina dengan Rusia pada 2022.

 Artikel menyebutkan, pernyataan lain adalah RRT dan Arab Saudi bertransaksi hidrokarbon bukan dengan dolar AS telah menjadi ancaman lebih besar terhadap posisi USD. Arab Saudi telah menggantikan Rusia menjadi sumber pemasok minyak bumi terbesar bagi Beijing. Hanya pada Desember 2022 saja, RRT telah membeli sebanyak 350 juta barel minyak mentah, dan 15% di antaranya berasal dari Arab Saudi.

 Globalisasi RMB (Ren Min Bi, mata uang RRT), transaksi dengan RMB dan mata uang digital RMB selama ini adalah alat yang dipromosikan Beijing untuk memperbesar pengaruh internasionalnya, “mendorong globalisasi RMB secara teratur” telah tertulis dalam dokumen Kongres Nasional ke-20 PKT. Tindakan Beijing melakukan de-dolarisasi tidak hanya diterapkan pemerintah pusat, sejumlah tindakan juga dilakukan oleh pemerintah daerah dan lembaga keuangan daerah. Selama kunjungan Xi Jinping ke Arab Saudi pada akhir tahun lalu, salah satu tujuannya adalah hendak mencapai kesepakatan “bertransaksi minyak bumi dengan RMB”, tapi tidak dapat terlaksana.

 Menetapkan harga minyak bumi dengan USD dapat ditelusuri hingga 1974 abad lalu, sebagai perlindungan militer dan politik AS serta imbalan membeli minyak buminya, Arab Saudi sepakat menetapkan harga minyak bumi dengan USD, serta memiliki sebagian cadangan devisa dalam bentuk surat hutang, negara penghasil minyak bumi lainnya pun mengikuti jejak Saudi.

 Artikel Bloomberg menyebutkan, perdagangan barter zaman kuno cocok untuk diterapkan antara Tiongkok dan Rusia, bahkan perdagangan dengan Iran. Namun Arab Saudi tidak terlalu mungkin mendorong kuat produk RRT atau RMB, karena minyak mentah yang diekspor oleh mereka ke negara ekonomi kedua terbesar itu (RRT) setara dengan USD 50 milyar dolar (750 triliun rupiah, sesuai kurs 31/01) setiap tahunnya. Menerbitkan faktur dalam mata uang Euro mungkin bisa menyelesaikan sebagian masalah, tapi juga sangat terbatas. Arab Saudi membutuhkan mata uang yang dapat menerima kepemilikannya; surat hutang AS tidak hanya memberi imbalan hasil lebih tinggi daripada obligasi negara RRT maupun Eropa, serta memberi manfaat lain berupa surat hutang yang likuiditasnya paling tinggi di dunia.

 Jika muncul petrocurrency dari pesaing, posisi dominasi mata uang AS akan melemah. Akan tetapi, mayoritas transaksi hidrokarbon seluruh dunia dihargai dengan USD, dan akan terus seperti itu, hal ini dikarenakan ada alasan yang kuat. OPEC (Rusia ikut bergabung secara terbatas) tidak mampu mengendalikan harga minyak bumi atau pasokannya, sehingga tidak mampu membangun mata uang saingan.

 Para pakar juga menunjukkan, Arab Saudi menggunakan RMB selain tidak mampu membuat ekspor minyak bumi ke RRT meningkat, menggunakan USD juga tidak akan membuat ekspor minyak bumi menurun. Adalah RRT yang membutuhkan impor minyak bumi dari Arab Saudi, bukan Arab Saudi yang membutuhkan RMB.

Artikel Bloomberg menyebutkan, mata uang memiliki keunggulan yang signifikan terlihat pada tingkat keakraban dan skalanya. Di antaranya skala itu sangat penting: sekitar 40% transaksi perdagangan dunia dikalkulasi dengan USD, mencapai empat kali lipat dari seluruh perdagangan global AS. 

Dalam jaringan SWIFT perbankan global transaksi dengan USD mencakup 42%, sedangkan RMB hanya 2%. Mata uang EUR mencakup 36%, walaupun cukup mengesankan, tapi ini adalah transaksi internal di antara 20 negara anggota pengguna mata uang Euro. Porsi mata uang EUR dalam perdagangan global agak moderat, sekitar 16%. Di luar zona dampak dalam negeri masing-masing, daya tarik beragam produk pengganti USD sama sekali tak menarik.

 Kecuali negara besar Asia seperti India, RRT, Jepang, dan Korea Selatan memutuskan untuk menciptakan mata uang baru, jika tidak, USD tetap akan menjadi mata uang utama dunia. (sud/whs)