Dari Fosil Wabah Membahas Pejabat Tiarap

Shi Shan

Di Inggris ada sebuah sajak anak-anak berjudul “Ring a Ring o’Roses”, yang dinyanyikan adalah wabah besar yang melanda London pada 1665. “Roses” adalah ruam herpes yang tumbuh pada kulit para penderita penyakit pes. Wabah hitam mengakibatkan meninggalnya 15% penduduk Inggris, oleh sebab itu ada istilah “A-tishoo! A-tishoo! We all fall down! (Hacing! Hacing! Kita semua terkapar!)”.

Perlu disebutkan, wabah di Inggris, khususnya London, kemudian dihentikan oleh sebuah bencana lain. Pada 1666 di London terjadi kebakaran hebat, hampir seluruh kota terbakar habis, banyak korban meninggal. Terutama di kawasan Whitechapel, daerah kumuh di London, hampir semua terbakar habis, tentu saja tikus setempat juga ikut terbakar habis, sehingga wabah pun terhenti seketika. Ada satu lagi sajak anak-anak mengenai peristiwa itu, London Bridge is Falling Down, Jembatan London Runtuh, sebenarnya terbakar habis.

Wabah apapun akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, tidak hanya struktur dan sistem masyarakat, pengaruhnya terhadap gaya hidup, budaya, dan peradaban juga sangat besar. Termasuk musik dan sastra, contohnya “The Decameron” karya Giovanni Boccacio, atau “Divine Comedy” karya Dante Alighieri dari Italia, semuanya ada kaitannya dengan wabah.

Di Jerman ada sebuah legenda “Rattenfänger von Hameln (Legenda si Peniup Seruling)”, sangat terkenal. Dalam cerita itu dikisahkan sebuah desa dilanda wabah pes sangat parah, tikus di dalam desa terlalu banyak, dan warga desa tidak berdaya membasmi hama tikus. Kemudian ada seseorang mengatakan, ia mampu memusnahkan semua tikus, tapi harganya adalah 1.000 keping perak. Para sesepuh desa menyanggupinya. Lalu ia pun mengambil sebuah seruling, dan mulai meniupnya, semua tikus keluar dari sarang, berbaris mengikutinya sampai ke tepi sungai, semua tikus pun melompat ke dalam sungai.

Setelah tikus musnah, para sesepuh desa ingkar janji. 1000 keping perak adalah uang yang sangat banyak, tidak diberikan kepadanya. Akibatnya, setelah beberapa lama, peniup seruling itu datang lagi di malam hari, sambil meniup serulingnya, semua anak-anak di desa itu keluar dari rumah mereka dan berbaris mengikuti si peniup seruling. Cerita tidak menyebutkan kemana dia membawa anak-anak itu, tapi bagi warga desa, itu adalah suatu cerita yang sangat tragis.

Di Bavaria, Jerman, juga ada cerita serupa. Saat wabah hitam melanda Eropa, para sesepuh Oberammergau di kaki Gunung Alpen berkumpul untuk berdoa, memohon agar Tuhan melindungi mereka dari ancaman wabah tersebut, serta berjanji jika Tuhan melenyapkan pengaruh wabah, mereka akan memerankan drama tentang penderitaan Yesus setiap sepuluh tahun sekali. Dalam legenda itu, begitu sumpah terucap, semua orang yang mengidap penyakit itu pun sembuh, dan tidak ada satupun lagi warga meninggal dunia akibat wabah, pandemi itu pun mereda. Maka kemudian penduduk desa itu selalu menaati janjinya, hingga kini, tiap sepuluh tahun sekali mereka akan memainkan drama tentang penderitaan Yesus, ribuan orang ikut terlibat dalam pementasan drama itu, bahkan telah menjadi objek wisata yang terkenal.

Jejak yang ditinggalkan wabah dalam budaya, juga banyak terjadi di Tiongkok. Tentu saja di Tiongkok telah didegradasikan sebagai takhayul, tapi di Hong Kong dan Taiwan masih dipertahankan. Contohnya pawai naga api pada saat perayaan Festival Perahu Naga di Hong Kong, ada pula kegiatan mengarak dewa, semua itu ada kaitannya dengan wabah. Pada Festival Perahu Naga etnis Tionghoa membakar rumput Ai Cao (Mugwort, red.), juga demikian. Wabah meninggalkan tidak hanya fosil budaya semacam ini, juga hal yang lebih besar.

Seperti diketahui, betapa hebat Kekaisaran Romawi, setelah beberapa kali wabah pada dasarnya telah runtuh. Begitu pula Tiongkok, pada akhir masa Dinasti Han Timur, juga akhir Dinasti Ming muncul wabah besar, akibatnya seluruh imperium kuat itu runtuh. Begitu juga Yunani kuno, pada 400 SM, di antara sekian banyak negara kota (polis, red.) Yunani, Athena adalah yang terkuat, ekonomi budaya militernya paling maju. Tapi antara Athena dengan Sparta telah terjadi perang yang berlangsung selama tiga hingga empat dekade, dan sejarah menyebutnya Perang Peloponnesos. Waktu itu, Athena mengalami wabah, banyak warganya yang meninggal. Akibatnya Athena kalah, dan dianggap sebagai berakhirnya masa keemasan peradaban Yunani.

Ada lagi Imperium Inca di Benua Amerika, orang Spanyol telah membawa masuk penyakit cacar, akibatnya orang Indian yang tidak memiliki antibodi banyak yang terjangkit penyakit itu dan mati. Mengapa tidak ada imun di tubuh orang India, atau mengapa sebelum orang Eropa datang ke Benua Amerika tidak ada penyakit menular mematikan seperti cacar, campak, atau pes? 

Dikabarkan karena Benua Amerika tidak ada hewan berukuran besar yang bisa diternakkan, jadi peradaban orang Indian murni peradaban pertanian dengan hasil pertanian saja, tidak ada gaya hidup manusia hidup bersama dengan hewan peliharaan seperti di Eropa. Sedangkan virus baru yang menyerang manusia, mayoritas adalah hasil transisi dari hewan mamalia besar, jadi di Benua Amerika tidak ada virus seperti ini, dengan sendirinya tidak ada antibodi. Tapi di Benua Amerika ada satu peristiwa yang menyangkut virus dan wabah.

Dikabarkan, sekelompok kaum Puritan dari Inggris demi menghindari penganiayaan telah menumpang kapal Mayflower berlayar menyelamatkan diri ke Benua Amerika. Ini adalah kisah yang kita ketahui, tapi jarang ada yang tahu, rencana awal mereka adalah pergi ke Suriname di Amerika Selatan, karena di sana telah ada koloni Eropa yang telah mapan, lebih mudah untuk bertahan hidup. Tapi di tengah laut, mereka mendapat informasi yang mengatakan Suriname sedang dilanda wabah, yaitu penyakit demam kuning, banyak orang telah meninggal dunia, maka diputuskan berlayar ke utara, akhirnya mendarat di pesisir Massachusetts. Kisah selanjutnya sudah kita ketahui, dan orang-orang ini adalah perintis negara Amerika.

Sebenarnya di saat merasa putus asa, manusia akan mulai meragukan, termasuk meragukan konsep yang ada saat itu, juga akan memicu pemikiran inovatif manusia. Jadi, setelah beberapa kali wabah melanda Kekaisaran Romawi, akibatnya adalah agama Kristen telah menyebar ke seluruh Eropa, dan masa Renaisans di Eropa abad pertengahan pada dasarnya terjadi bersamaan dengan wabah yang melanda.

Pengaruh terbesar wabah terhadap masyarakat manusia adalah dampaknya terhadap sistem pemerintahan dan agama/ kepercayaan. Wabah hitam di Eropa abad pertengahan menimbulkan dua pengaruh besar, yang pertama adalah secara ekonomi, dan populasi menjadi sedikit, sistem feodal sangat terdampak, yang kedua adalah wewenang agama Katolik menjadi sangat diragukan.

Karena penjelasan Takhta Suci terhadap wabah besar tidak bisa diterima oleh umat, dan waktu itu banyak ilmu kedokteran ada keterkaitan dengan gereja, tapi tidak mampu menyelesaikan masalah, masyarakat melihat kerabat mereka mati, sehingga wewenang Gereja Katolik sangat diragukan. Akibatnya kemudian di Eropa banyak agama masyarakat bermunculan, termasuk kaum pencambuk Eropa Timur, yang mencambuk diri sendiri untuk membayar dosa mereka agar terhindar dari hukuman Tuhan. Tentu saja, agama masyarakat dan aliran agama baru biasanya tidak diakui oleh Gereja Katolik, itulah sebabnya kemudian di Eropa banyak terjadi gerakan berburu penyihir.

Sebenarnya kita tahu penyakit cacar yang dibawa orang Eropa ke Benua Amerika, telah memusnahkan Kekaisaran Inca. Tentu saja berkurangnya populasi dalam jumlah besar adalah salah satu alasannya, selain itu ada alasan penting lainnya, yaitu kerajaan tersebut tidak mampu menangani wabah, mengakibatkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap kerajaan, banyak orang Indian kemudian memeluk agama Kristen. Seluruh kerajaan pun akhirnya runtuh.

Dari sudut  pandang  ini,  wabah  telah mendatangkan dampak dalam dua hal, yang pertama adalah korban yang tewas terlalu banyak, sehingga kekuatan ekonomi dan militer pun terdampak, yang kedua adalah timbulnya keraguan besar dari masyarakat terhadap sistem pemerintahan dan masyarakat, termasuk ideologi. Kerajaan maupun negara, membutuhkan suatu nilai dan pondasi ideologi, begitu hal ini tidak ada lagi, maka negara sulit dijalankan, dan acapkali akan runtuh.

Beberapa tahun terakhir, pandemi berawal di Tiongkok, sekarang kembali merebak di Tiongkok, korban tewas sepertinya sangat besar. Dan rakyat telah melihat cara penanganan yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok (PKT), tidak ada logika yang bisa ditelusuri, pada dasarnya dilakukan semena- mena dengan alasan yang ilmiah dan logika. Akibatnya adalah, telah mengosongkan kepercayaan masyarakat. Sekarang rakyat tidak lagi percaya pada pemerintah, pejabat daerah pun tidak percaya pemerintah pusat Beijing, rakyat pun tidak lagi percaya pada yang disebut pakar.

Dalam acara perayaan Imlek di CCTV (TV resmi Pemerintah RRT), kali ini, yang paling banyak dibicarakan adalah sketsa komedi yang disebut “lubang”. Sketsa komedi dalam perayaan Imlek PKT beberapa tahun terakhir pada dasarnya adalah menjadikan rakyat sebagai objek sindiran, tapi tahun ini sudah tiarap, kini sasaran sindiran adalah pejabat. Walaupun pejabat kecil sekalipun, setidaknya kali ini yang disindir adalah pejabat.

Dari satu sisi ini menjelaskan sikap para pejabat yang tiarap tidak peduli, telah menjadi masalah besar PKT. Beberapa tahun terakhir, PKT sering mengkritik pejabatnya malas mengurus pemerintahan, tapi tidak pernah introspeksi diri apa penyebabnya. Bagi penulis, itu adalah karena pejabat kehilangan kepercayaan pada atasannya. Misalnya dalam kebijakan nol-COVID, selain harus mencapai nol-COVID sampai ke lapisan masyarakat, di mana terjadi pandemi maka pejabatnya dipe- cat; sekaligus harus menjaga ekonomi, menjaga kelancaran lalu lintas, kehidupan rakyat tidak boleh terpengaruh, pada dasarnya ini adalah misi yang tidak mungkin, begitu ada masalah, tidak peduli hal apa yang tidak dilakukan dengan baik, tentu saja menjadi tanggung jawab pejabat setempat. Lalu Beijing mendadak berubah haluan, yang tidak mampu mengikuti terus ditambahkan aturan baru, pokoknya pemerintah pusat dan pemimpin tidak pernah salah, pejabat daerah yang harus bertanggung jawab. Kenyataan yang seperti ini, mungkinkah pejabat daerah tidak tiarap?

Apalagi, dokumen dari pusat seringkali memerintah pejabat daerah harus “mere- sapi secara mendalam” semangat pemerintah pusat, “meresapi” pidato Xi Jinping. Seorang pejabat daerah menggerutu, mengapa pemerintah pusat tidak menjelaskannya secara jelas, mengapa harus selalu memberi isyarat, membuat semua orang harus “meresapi secara mendalam”? Alasannya tentu saja hal semacam ini tidak bisa disebutkan. Ini adalah ciri khas masyarakat yang diatur manusia sistem otokratis. Tapi sistem semacam ini jika para sesepuh yang di atas selalu berubah haluan, siapa yang mampu mengikuti langkah kaki mereka?

Dalam kondisi seperti ini, tiarap, sedikit bicara sedikit melakukan sedikit melakukan kesalahan, adalah pilihan terbaik. Jadi tiarap, pada dasarnya adalah perlawanan pasif yang dilakukan pejabat pemerintahan terhadap perintah dari pusat, kehancuran keyakinan seperti ini, akan menyebabkan pukulan mematikan bagi PKT. (lie)