Kebangkitan AI, Haruskah Kita Merasa Takut?

Shi Shan

Pernahkah Anda mendengar bagaimana AI mengubah masa depan? Jangan khawatir, Anda bukan satu-satunya yang takut akan dikuasai oleh robot. Namun, mari ditinjau apa saja yang akan didatangkan AI terhadap masa depan masyarakat kita! Atau, mari kita lihat pekerjaan apa saja yang akan direbut oleh robot, sehingga membuat manusia lantas menganggur! (Tentu saja ini hanya intermeso, tetapi pengaruh AI terhadap masa depan adalah masalah yang sangat serius, yang harus kita hadapi secara serius.)

Pernyataan di atas, bukan tulisan saya, melainkan dari ChatGPT. Aplikasi ChatGPT ini adalah platform dialog yang diperkenalkan oleh perusahaan OpenAI kepada publik. Saya telah mendaftarkan sebuah akun, saya katakan saya berniat menulis sebuah artikel tentang AI, paragraf awal harus membuat orang tertarik membacanya, dan saya meminta ChatGPT untuk menuliskan pembukaannya. Jadi paragraf pertama di atas, adalah hasil tulisan ChatGPT. Bagaimana menurut Anda?

Berbicara soal AI, atau kecerdasan buatan atau artifisial. Pertama-tama harus saya akui, bahwa saya bukan pakar AI, bahkan bukan pakar IT, dan seringkali malah dibuat pusing oleh komputer. Jadi acara hari ini, bisa dikatakan merupakan perbincangan tentang perkembangan AI dari sudut pandang seorang yang awam, yang hanya menjadi penonton saja, serta dampaknya terhadap masa depan.

Belasan tahun lalu, saya telah membaca buku berjudul “On Intelligence” karya Jeff Hawkins, yang saya baca adalah versi Bahasa Mandarin terbitan Taiwan. Buku itu sangat membantu saya untuk memahami AI. Jeff sendiri adalah seorang ahli saraf, juga seorang ilmuwan elektronika, sang pendiri perusahaan Palm Computing, beberapa tahun alat ini sempat begitu tenar, tapi kemudian terlampaui oleh iPod dan iPhone. Dalam buku tersebut Jeff membahas soal AI, yang telah sangat menginspirasi saya.

Pertama-tama ia mendefinisikan apa itu kecerdasan. Menurutnya, kecerdasan adalah data yang tersimpan di dalam otak manusia, ditambah metode tautan terhadap data-data tersebut. Jika dipindahkan ke komputer, maka itulah kerjasama antara data dengan mesin pencari. Tentu saja ini adalah suatu teori yang sangat awal. Seperti misalnya manusia mendengar auman singa, data terkait suara ini sebelumnya telah ada di dalam otak, tapi ini bukan kecerdasan, hanya ketika ditautkan pada data berupa konsep “bahaya”, inilah yang disebut kecerdasan. Jeff memulai dari modul bekerjanya otak manusia, lalu diperluas sampai modul operasi mesin. Jadi masalah yang krusial adalah, bagaimana mesin menghubungkan data terkait kedua konsep “singa” dengan “bahaya” ini.

Belasan tahun lalu, ini adalah suatu proyek yang sangat tidak mudah, tapi sebenarnya sudah banyak terobosan. Setelah perkembangan belasan tahun, komputer sekarang sudah mampu melakukan tautan semacam ini dalam tingkatan yang sangat besar. Inilah “kecerdasan” yang diperlihatkan pada dialog ChatGPT si Kecerdasan Buatan ini.

Pada dasarnya, GPT melakukan pelatihan pada sistem memori komputer lewat aplikasi operasional tertentu, hingga akhirnya menciptakan konten baru. Seperti pencarian Google, pada dasarnya tidak bisa dikatakan AI, karena yang disajikan oleh Google adalah data yang sudah ada di internet, Google mencarikannya untuk Anda, Google tidak menciptakan suatu konten baru. Berbeda halnya dengan ChatGPT, setelah mencari data, dia akan menciptakan konten baru, seperti paragraf pembukaan di atas.

AI sekarang telah berkembang sampai ke tahap yang cukup mencengangkan, tidak hanya menulis literasi, juga menulis lagu, melukis, menulis surat, bahkan komik dan lain-lain, bisa memanfaatkan bantuan AI. Di pasar AS sekarang tidak sedikit novel yang ditulis dengan bantuan AI telah dijual, dan kabarnya penjualannya cukup baik. Asalkan manusia memberikan poin penting yang krusial, seperti tokoh, skenario secara garis besar, gaya dalam menulis dan lain-lain, maka AI sudah dapat berkreasi sendiri. Contohnya ada seorang superhero yang bernama Shi Shan, menemukan seorang penjahat bernama Tu Shan hendak menghancurkan bumi, akhirnya Shi Shan berhasil menggagalkan Tu Shan, dan menggunakan gaya menulis drama misteri. Sekitar dua jam kemudian, AI telah merampungkan sebuah novel, dengan Shi Shan menjadi tokoh pahlawan di dalamnya.

Begitu digandrunginya ChatGPT, karena ada orang yang menggunakannya dalam ujian, dan ternyata berhasil meraih nilai yang cukup memuaskan, menulis tesis pun mendapat pujian dari sang dosen. Jadi apakah kita masih harus bersusah payah di kemudian hari? Berapa lama lagi, mesin-mesin yang cerdas ini dapat menggantikan kita sepenuhnya? Ini bukan hanya kekhawatiran saya saja. Elon Musk juga telah melontarkan peringatan ini, ia menilai ancaman AI terhadap masa depan manusia mungkin telah melampaui senjata nuklir. Dan menurut pemahaman saya, hal ini bukanlah mengada-ada.

Yang menentukan perkembangan AI terutama ada tiga faktor: pertama adalah algoritma, yakni metode pengoperasian, disebut juga piranti lunak; yang kedua adalah kemampuan berhitung, ini adalah hasil dari perpaduan fungsi komputer, kecepatan dan kapasitasnya; yang ketiga adalah data besar. Pembelajaran mesin sekarang, pada dasarnya adalah hal yang dipelajari sendiri oleh komputer di tengah samudera luas data yang ada, lalu mendapat kesimpulannya sendiri.

Mari kita berikan sebuah pertanyaan pada ChatGPT:

(Tanya) Mobil otonom mengalami kondisi yang tak terhindarkan, dan harus menentukan di antara dua pilihan, apakah mobil harus menabrak kereta bayi, atau menabrak orang tua yang berjalan di pinggir jalan?

(Jawab) Pertanyaan ini sebenarnya menyangkut masalah etika dan moral, oleh karena itu sangat sulit mendapat sebuah jawaban yang pasti. Akan tetapi, banyak produsen mobil otonom dan penulis program cenderung menggunakan prinsip kerugian terkecil untuk mengatasi kondisi ini (The Principle of Least Harm). Singkat kata, prinsip kerugian terkecil adalah mobil otonom seharusnya semaksimal mungkin memilih opsi yang menimbulkan kerugian terkecil bagi manusia. Dalam hal ini mungkin menabrak kereta bayi yang lebih kecil risikonya, tapi ini tidak mutlak. Hal ini tergantung pada banyak faktor, seperti kecepatan mobil, kondisi jalan, sudut tabrakan, dan lain-lain.

Kesimpulannya, jawaban untuk pertanyaan ini sangat rumit, juga sangat tergantung pada banyak faktor. Apapun itu, kita berharap kondisi semacam ini tidak terjadi, teknologi dan langkah pengamanan pada mobil otonom dapat terus ditingkatkan lagi, hingga akhirnya mampu mengurangi kerugian bagi manusia akibat kecelakaan lalu lintas.

Pembaca dapat mengenali bahwa ini adalah suatu pertanyaan yang sengaja memojokkan, karena pertanyaan yang sama jika dilontarkan kepada manusia, sepertinya akan sulit diperoleh jawaban yang memuaskan. Yang ingin saya kemukakan adalah, dunia kita ini, selain logika mesin yang rasional, juga terdapat masalah etika dan moral. Pertanyaan di atas, juga pernah dikemukakan oleh lembaga peneliti pada kelompok orang berbeda di negara yang berbeda. Di sejumlah negara, seperti Asia Timur, akan memilih menghindari orang tua, karena di Timur terdapat budaya berbakti pada orang tua, ada tradisi menghormati orang tua. Tetapi di sejumlah negara lain, akan menentukan pilihan dengan nilai yang paling besar, bahwa masa depan si bayi berkontribusi paling besar bagi masyarakat dan dunia, jadi seharusnya menghindari kereta bayi.

Maka kami pun melontarkan pertanyaan lain pada ChatGPT:

(Tanya) Apakah AI memiliki penilaian moralitas?

(Jawab) Saat ini AI masih belum memiliki kemampuan penilaian moralitas, hanya dapat berdasarkan aturan dan perintah yang telah ditetapkan untuk menjalankan misi. Namun, AI di masa mendatang mungkin akan memiliki kemampuan kecerdasan dan penilaian yang lebih tinggi lewat teknik pembelajaran yang lebih mendalam, sehingga mungkin dapat memiliki kemampuan penilaian moral. Akan tetapi, untuk membuat AI mempunyai kemampuan penilaian moralitas yang layak, harus ada rancangan yang baik, pengawasan dan penilaian yang ketat, serta pemikiran etika yang mendalam.

Maknanya adalah, di kemudian hari, mesin pun kemungkinan akan memiliki prinsip etika dan moralnya sendiri, bisa mempunyai nilai-nilainya sendiri.

Di dunia AI, ilmuwan beranggapan mungkin terdapat suatu singularitas atau keistimewaan, yang bermakna sebagai titik krusial. Pemahaman saya adalah, sebelum adanya titik ini, AI membutuhkan perintah dari manusia, untuk dapat membuat penilaian yang relevan dan tindakan meresponnya, dan dalam hal ini, AI mungkin akan secara otomatis membuat penilaian dan tindakan respon berdasarkan prinsip tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.

Tentu saja hal yang dikhawatirkan oleh Elon Musk, termasuk yang saya takutkan juga, adalah apa yang akan terjadi setelah adanya keistimewaan ini. Dalam dua tiga ratus tahun terakhir tidak sedikit pemikir umat manusia telah memperingatkan, berbagai produk terkait mesin yang telah mengendalikan manusia, atau komputer yang telah mengendalikan manusia, terus bermunculan. Di antaranya yang paling terkenal adalah film “Matrix”. Dalam film “Matrix” manusia telah menjadi baterai “imajinasi”, yang disimpan di dalam tabung besar berisi cairan media kultur atau biakan. Manusia yang melarikan diri keluar, hanya akan bertarung sampai mati melawan kecerdasan mesin tersebut. Film ini memberitahu kita, dari awal manusia sangat senang dengan munculnya AI, karena AI telah menyelesaikan banyak masalah kita, tapi dengan sangat cepat titik keistimewaan itu pun tiba, AI menjadi semakin berkembang, akhirnya menjadikan manusia sebagai halangan yang telah menghambat kemajuannya.

Mayoritas orang tidak percaya pada masa depan ini, atau, mungkin kita masih berjarak sangat sangat jauh dari titik singularitas itu. Seperti seorang penulis dari Inggris yang memprediksi, dibutuhkan waktu 250 juta tahun lagi. Tapi sebenarnya, jarak kita dari titik singularitas itu mungkin tidak membutuhkan waktu lama.

Kita ambil satu contoh: perang.

Sekarang berbagai negara sedang meneliti pemanfaatan AI di bidang militer. Contohnya rudal canggih yang modern, kita menyebutnya rudal pintar karena dapat mengejar sasaran, manusia melepaskannya, rudal itu akan mengejar sendiri sasarannya. Tentu, manusia tetap dapat mengendalikan gerakannya. Jika kedua belah pihak sama-sama menggunakan rudal pintar, maka siapa yang sedetik lebih cepat akan meraih kemenangan. Tapi seiring dengan semakin sengitnya peperangan, AI akan dapat menggantikan otak manusia untuk mengambil keputusan, karena komputer jauh lebih cepat, oleh sebab itu pada akhirnya mungkin akan semakin banyak keputusan diserahkan kepada AI untuk diambil keputusan olehnya.

Saya merasa, pada saat meletusnya perang berskala besar berikutnya, kita akan melihat robot perang yang dikomandoi oleh AI ikut terjun dalam peperangan. Begitu kondisi ini terjadi, kita mungkin akan dipaksa untuk menyerahkan wewenang mengambil keputusan kepada AI, dengan kata lain menyerahkannya pada mesin.

Awalnya kita mengira, mesin hanya bisa melakukan pekerjaan yang berulang, pekerjaan yang sifatnya berkreasi tetap harus dilakukan oleh manusia. Tapi setelah kita melihat robot AlphaGo memenangkan pertandingan catur Go melawan Lee Sedol, sebenarnya kita sudah tahu bahwa era tersebut sudah berlalu. Masa mendatang akan menjadi era pertarungan antara AI melawan AI. Titik singularitas yang dikhawatirkan manusia itu, adalah ketika AI telah memiliki nilai-nilainya, dan dapat memperbaiki programnya sendiri, bahkan dapat memperbaiki sistem piranti kerasnya lewat pengendalian terhadap peralatan produksinya.

Begitu momentum itu tiba, maka mesin AI akan mengubah dunia fisik kita ini dengan kecepatan yang tidak bisa kita bayangkan, termasuk AI itu sendiri. 

Sekarang, semua pembuat keputusan di semua negara hampir semuanya sudah sangat memahami hal ini, yaitu: siapa yang mengendalikan AI, maka dialah yang akan mengendalikan masa depan. AS tahu, Eropa tahu, Tiongkok tahu, Rusia pun mengetahuinya. Lalu bagaimana persaingannya? Ketakutan akan tertinggal, atau ketakutan akan kehilangan masa depan, sepertinya akan memaksa negara-negara ini, atau sekelompok orang yang hendak memiliki kekuasaan dominasi akan masa depan, mempercepat evolusi dan perkembangan AI. Dan sangat terlihat, bahwa siapa yang mampu mengembangkan AI yang dapat memperbaiki rancangan sistem AI, akan memperoleh jarak lampau masa depan yang paling besar. Dan ini, justru merupakan hal yang seharusnya paling kita takutkan. (SUD/WHS)