Puasa Intermiten :  Perangi Kanker, Kurangi Toksisitas Kemoterapi

Beberapa penelitian telah menemukan berpuasa menyebabkan kanker kelaparan, bahkan membantu sel mengatasi efek kemoterapi

Flora Zhao

Pada 10 September 2020, Fred Evrard, 48 tahun, didiagnosis menderita kanker usus besar stadium 3. Panjang tumor di tubuhnya mencapai sekitar 10 cm.

Sebagai instruktur seni bela diri yang kuat dan atletis, dengan pola makan dan gaya hidup yang sehat — berita itu mengejutkan.

Kewalahan dan rasa sakit yang luar bia- sa, dia berbaring di tempat tidur selama tiga hari tanpa makan atau minum.

Tiga hari kemudian, Fred kembali siap bertarung.

Dia mulai membaca semua tentang kanker dan pengobatan alami. Ia menemukan kasus demi kasus, sukses sembuh dan kanker menyusut melalui puasa. Temuan ini mendorongnya untuk mencobanya sendiri.

Fred memulai puasa 21 hari. Keinginannya untuk hidup mendorongnya maju.

Setelah 21 hari berpuasa, gambar MRI-nya menunjukkan keajaiban: Panjang tumor di usus besarnya menyusut dari 10 cm menjadi kurang dari 6 cm, dan diameternya juga menyusut secara signifikan.

Dengan puasanya, dia menggunakan diet ketogenik, atau lebih tepatnya asupan karnivora. Ini dikarenakan dia tidak bisa makan apa pun yang mengandung serat karena radang usus yang parah. Selama periode itu, dia juga melakukan puasa intermiten dan hanya makan satu kali sehari. Selama perjuangannya melawan  kanker, Fred menjalani tiga sesi kemoterapi. Puasa sangat membantu mengurangi efek negatif dari kemoterapi sehingga ia hampir tidak mengalami efek samping seperti rambut rontok, mual, atau kelelahan yang ekstrim. Indikator kekebalan dalam darahnya juga normal. 

Selama sesi kemoterapi kedua, ia mencoba berhenti berpuasa dan mengalami efek samping yang parah. Dia berpuasa lagi selama sesi kemoterapi ketiga dan mencapai hasil yang luar biasa. Pada 2 Januari 2021, ia memulai puasa lima hari dan diet ketogenik dua hari pada akhir pekan untuk menyelesaikan putaran kedua puasa 21 hari.

Pada 10 Januari 2021, empat bulan setelah didiagnosis menderita kanker, dia menjalani pemindaian MRI dan tes darah lagi. Dokter memberi tahu dia dengan senyum di wajahnya, “Bapak Fred, Anda telah bebas kanker.”

Bagaimana Puasa Intermiten Melawan Kanker?

Sejak awal 1900-an, para ilmuwan telah memperhatikan efek positif dari pengendalian pola makan terhadap kesehatan oleh organisme. Penelitian pada saat itu telah menunjukkan bahwa pengendalian pola makan dapat memperlambat atau bahkan menghentikan pertumbuhan tumor pada tikus laboratorium, serta menunda kekambuhan kanker.  

Para  ilmuwan telah melakukan ratusan penelitian pada berbagai jenis organisme, termasuk ragi, nematoda, lalat buah, tikus,  monyet  rhesus, dan sebagainya. Setelah percobaan hewan, percobaan manusia dalam skala kecil dilakukan. Penelitian awal menunjukkan bahwa puasa berkepanjangan aman untuk pasien kanker tertentu dan dapat mengurangi toksisitas terkait kemoterapi dan menghambat pertumbuhan tumor kanker.

  1. Tindakan Puasa Antikarsinogenik

Puasa dan diet ketogenik dapat membuat seseorang mengalami metabolisme tubuh keton (ketosis). Sel kanker hanya dapat bertahan hidup dengan memetabolisme glukosa dan glutamin, dan mereka tidak dapat memetabolisme keton. Oleh karena itu, beberapa penanganan seperti itu setara dengan memotong jatah makanan sel kanker.

Puasa dan pembatasan kalori dapat mengurangi produksi faktor pertumbuhan, sitokin inflamasi, dan hormon anabolik. Itu mendorong perubahan yang sesuai dalam metabolisme tubuh dan kadar hormon, seperti penurunan sekresi insulin, peningkatan sensitivitas insulin, dan penurunan sekresi testosteron dan estrogen.

Puasa dan membatasi kalori juga dapat mengurangi stres oksidatif bahkan saat mereka meningkatkan efek antioksidan, mengurangi kerusakan DNA akibat radikal bebas, dan mengaktifkan berbagai proses perbaikan DNA. Eksperimen pada sel juga menunjukkan bahwa puasa dan membatasi kalori dapat meningkatkan autofagi, sebuah proses di mana tubuh mendaur ulang “sampah” seluler dan menghilangkan bagian sel yang rusak. Puasa juga dapat menghambat proliferasi sel dan memperlambat penuaan sel.

Mekanisme yang dipelajari dengan baik ini dapat membantu tubuh melawan kanker — seperti yang disarankan oleh banyak penelitian.

Sebuah penelitian pada hewan di University of Wisconsin menunjukkan bahwa monyet yang makan 30 persen lebih sedikit kalori mengalami penurunan 50 persen dalam kejadian kanker sporadis (yang paling umum adalah adenokarsinoma gastrointestinal) dibandingkan dengan monyet yang pola makannya tidak dibatasi.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Johns Hopkins dengan rata-rata tindak lanjut 11 tahun menemukan bahwa perubahan gaya hidup intensif dapat mengurangi risiko kanker terkait obesitas (termasuk kanker esofagus, kanker usus besar, kanker rektal, kanker ginjal, kanker pankreas, kanker perut, kanker hati, kanker kantung empedu, kanker tiroid, kanker rahim, kanker ovarium, kanker payudara pasca menopause, dan myeloma ganda) sebesar 16%. Para peneliti percaya bahwa ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup yang menyebabkan penurunan berat badan subjek.

Sebuah penelitian bersama yang dilakukan oleh para ilmuwan di Amerika Serikat dan Prancis menemukan bahwa puasa yang dikombinasikan dengan vitamin C dapat mengobati jenis kanker tertentu dengan lebih efektif.

  1. Puasa Dapat Meningkatkan Hasil Kemoterapi, Mengurangi Efek Samping

Penelitian klinis tentang puasa pada pasien kanker masih dalam tahap awal. Namun, bukti yang berkembang menunjukkan bahwa puasa jangka pendek dapat mengurangi toksisitas kemoterapi sekaligus meningkatkan efektifitas kemoterapi, sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien kanker. Ini karena puasa meningkatkan ketahanan sel sehat terhadap stres, sedangkan sel tumor menjadi lebih sensitif terhadap kemoterapi karena kekurangan nutrisi.

Eksperimen pada hewan telah menunjukkan bahwa efek puasa pada penghambatan tumor sebanding dengan kemoterapi; kombinasi puasa dan kemoterapi mencapai efek anti-kanker terbaik dan pengurangan volume tumor yang paling signifikan. Selain itu, pendekatan semacam itu menghasilkan tingkat tertinggi limfosit yang menginfiltrasi tumor. Eksperimen menunjukkan bahwa puasa juga merangsang produksi sel progenitor limfoid yang umum.

Uji klinis skala kecil menunjukkan bahwa puasa jangka pendek mengurangi toksisitas hematologis pada pasien kanker payudara yang menerima kemoterapi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sel darah merah dan jumlah trombosit meningkat secara signifikan setelah kemoterapi, sedangkan penanda yang mencerminkan kerusakan DNA meningkat relatif sedikit, menunjukkan bahwa puasa dapat mengurangi kerusakan DNA yang disebabkan oleh kemoterapi dan mempercepat pemulihannya.

Sebuah penelitian yang melibatkan 20 pasien dengan berbagai jenis tumor (terutama kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker rahim) menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pasien yang berpuasa selama 24 jam sebelum kemoterapi, pasien yang berpuasa dalam waktu yang lebih lama (48 jam dan 72 jam) mengalami penurunan tingkat neutropenia dan neuropati, selain sedikit peningkatan penanda kerusakan DNA.

Percobaan lain yang melibatkan lebih dari 30 pasien kanker ginekologi menunjukkan pasien kemoterapi yang berpuasa mengalami lebih sedikit sakit kepala, lemas, dan stomatitis. Mereka juga memiliki skor toksisitas kemoterapi yang jauh lebih rendah dan penundaan kemoterapi yang lebih sedikit. Selain itu, pasien yang berpuasa mengalami peningkatan kualitas hidup dan mengurangi kelelahan setelah kemoterapi dibandingkan dengan mereka yang menjalani diet kalori normal. (nit)

Flora Zhao, seorang penulis kesehatan untuk The Epoch Times yang berfokus pada kanker dan penyakit kronis lainnya. Sebelumnya, dia adalah seorang editor untuk jurnal ilmu sosial. Emailnya: flora. zhao@epochtimes.nyc.