Mengurai Benang Kusut Budaya Korupsi

WAN JAYA

“Sekecil apa pun uangnya akan cukup bila digunakan untuk hidup. Tapi sebanyak apa pun uangnya tak akan pernah cukup jika hanya untuk memenuhi gaya hidup.” Quote ini sering lewat di laman media sosial kita tanpa tahu siapa penciptanya. Sangat masuk akal dan benar adanya.

Orang mungkin bertanya, kapan korupsi bisa diakhiri di negeri ini? 24 tahun orde reformasi membasmi KKN di negeri tak kunjung berhasil. 

Apesnya, Indek Persepsi Korupsi (IPK) tahun ini melorot paling tajam sejak era reformasi digulirkan. Apa yang salah dengan upaya pemberantasan korupsi? Satu koruptor ditangkap, malah tumbuh seribu koruptor. 

Revisi UU  KPK yang digadang-gadang bisa memperkuat tugas KPK, nyatanya justru sebaliknya 

Banyak yang menyindir KPK pasca revisi UU KPK sebagai Komisi Perlindungan Koruptor. Korupsi malah semakin mengganas dan merajalela. Apakah para koruptor itu kurang gajinya? Ternyata tidak. Kenaikan gaji ternyata tak menyebabkan perilaku korupsi menjinak, malah semakin dahaga dan rakus? Apa akarnya? Salah satunya adalah kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup para pejabat dan keluarganya. Hedonisme dan materialisme menjadi agama baru mereka. Ingin tampak sukses.

Para pejabat di tempat-tempat basah memang lihai menyembunyikan uang hasil korupsinya atau mencuci uang hasil kejahatan dengan berbagai macam modus yang rumit. Tapi lagi-lagi tak ada kejahatan yang sempurna. Ketika uang haram itu menumpuk, para penjahat kerah putih itu pasti tidak tahan untuk memenuhi hasrat dia untuk eksis, pamer kekayaan, atau dibelanjakan untuk menambah semakin besar kekuasaan dan citra. Terutama keluarganya, mana bisa tahan menumpuk banyak uang tanpa membelanjakannya untuk memenuhi dahaga akan gaya hidup yang tak terbatas. Pada titik ini, bisa jadi menjadi sebab apesnya pejabat bersangkutan. Seperti yang barusan terjadi di kasus Mario anak seorang pejabat esolon III Dirjen Pajak. Anak bertingkah, sang Bapak malah kena getahnya.

Lagi-lagi pejabat yang lebih tinggi bahkan orang nomor satu di negeri ini mengimbau untuk jangan pamer kekayaan dan pamer kuasa. Bisa bikin rusak negara. Misalnya, tiba-tiba rakyat murka dan me- ngamuk tak mau bayar pajak. Bisa kering kas negara. Namun itu akhirnya cuma sekadar himbauan dan tidak menyentuh akar permasalahan, bagaimana mencerabut habis akar budaya korupsi yang sudah mendarah daging hingga menulang dan menyumsum. Apa harus disiapkan 100 peti mati seperti gaya Tiongkok? Ndak juga. Adakah sosok revolusioner seperti itu?

Ada yang menyarankan untuk pembuktian terbalik? Bagus secara konsep tapi bikin ngeri para penguasa baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apa mungkin orang-orang di tiga kekuasaan itu membuat atau melaksanakan Undang-Undang yang menggorok leher mereka sendiri? Jelas impossible. Akhirnya akan menjadi lingkaran setan yang tak berkesudahan, dan kita hanya terus mengutuki keadaaan. “Terapkan hukuman mati koruptor!” Faktanya vonis koruptor semakin ringan dan malah mendapatkan remisi.

Pasca-UU KPK revisi, berita tangkap tangan memang semakin sedikit dan para buron koruptor tak kunjung ditemukan. Tapi itu bukan berarti korupsi sudah hilang, yang ada malah semakin barbar, mengakar, masif dan sistematis, dari level paling atas hingga sampai ke desa. Barangkali kalau mau serius menangkapi koruptor, penjara akan penuh diisi para pejabat.

Masalah terbesarnya adalah kita membutuhkan sosok pemimpin negeri yang benar-benar  serius  memberesi  korupsi di negeri ini. Yang bukan hanya sekadar janji-janji sundul langit untuk memberantas korupsi, tapi begitu kekuasaan di tangan merasa tak berdaya dan tersandera.

Yang dibutuhkan adalah Pemimpin yang lahir dari rakyat yang sadar akan betapa merusaknya budaya korupsi. Pemimpin yang lahir dari rakyat yang suaranya tidak bisa dibeli. Yang tidak tergiur dengan npwp (Nomer Piro Wani Piro). Tapi apa itu mungkin? Moralitas rakyat sudah dirusak habis-habisan. Bahkan ada yang tidak mau pergi ke bilik suara kalau tidak menerima amplop. Dan lagi presidential threshold dikunci mati di angka 20% yang mustahil memunculkan pemimpin alternatif yang tak tersandera oleh jejaring korupsi yang mengakar.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Apatisme tentang masa depan pemberantasan korupsi ada dibenak banyak orang yang masih sadar. Tapi harapan itu selalu ada, walaupun itu sangat kecil dan lemah. Sebenarnya masih banyak orang- orang baik, tapi mereka sekarang tidak ada di posisi yang mengubah keadaan. Laku jujur di tempat yang  didominasi para koruptor bisa makan hati, bisa-bisa ditumbalkan.

Salah satu harapan terbesar ada pada kekuatan masyarakat sipil dan mahasiswa yang bisa menjadi agen perubahan. Mereka tidak boleh tinggal diam dan berpangku tangan. Korupsi yang dibiarkan merajalela bisa membuat masa depan mereka suram. Pasang mata pasang telinga, para korup- tor yang pandai mencuci uang mereka sedang dahaga untuk memuaskan gaya hidup mereka. Ide tentang audit gaya hidup yang sukses diterapkan di Afrika Selatan layak digulirkan bahkan bisa diperjuangkan untuk diundangkan sehingga bisa mempunyai kekuatan penjebak bagi para koruptor untuk keluar dari sarang dan diprodeokan. 

Gaya hidup yang tidak sesuai dengan profil gaji dan penghasilan legal, bisa menjadi alat ampuh untuk menjaring para pengerat kas negara itu. Tak ada koruptor yang begitu istiqomah menyembunyikan uang haram mereka, lihat merek tas istrinya, mobil mewah mereka, dan moge mereka, biasanya mereka gatal mengupload di media sosial mereka. No Viral No Justrice lagi-lagi bisa menjadi strategi ampuh. (et)