Guru dari Amerika Serikat : Artikel ‘Mengapa Ada Umat Manusia’ Memberikan Pesan yang Tepat untuk Menghadapi Ujian Kehidupan

Terri Wu

Mary Rose Martin, seorang guru sekolah dasar, memandang kehidupan sebagai ujian dan setuju bahwa tujuan hidup adalah untuk memuluskan jalan menuju surga. Setelah membaca “Mengapa Ada Umat Manusia” sebuah artikel yang ditulis oleh pendiri Falun Gong Master Li Hongzhi yang diterbitkan di The Epoch Times bulan lalu, ia menuliskan pesan : “Hidup dengan cara yang beliau [Mr Li] sarankan pasti akan membawa pengalaman duniawi yang sangat berbeda.”

Dalam pandangannya, hidup itu seperti “sebuah sungai yang mengalir selamanya. Kini, ini adalah bagian yang sangat singkat, bagian kecil dari sungai. Jadi apa yang kita lakukan di sini hanya akan berdampak pada apa yang akan kita lakukan setelah ini, menyusuri sisa aliran itu,” katanya kepada The Epoch Times.

“Ini adalah ujian, dan bagaimana kita menjalani hidup kita dalam ujian ini akan menentukan apa yang terjadi pada kita selanjutnya,” katanya kepada The Epoch Times, menambahkan bahwa Master Li menyebutkan dalam artikelnya berbagai tingkat alam atau kemuliaan bagi suatu makhluk, yang sejalan dengan keyakinannya, dalam semantik atau teori yang berbeda.

“Saya tidak berpikir saya ingin hidup di dunia di mana tidak ada landasan moral,” katanya. Baginya, landasan moral adalah apa yang diajarkan oleh agama. “Dengan mempercayai kekuatan yang lebih tinggi, Anda menjadi orang yang lebih baik.” Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa ia berterima kasih kepada siapa pun yang memiliki cita-cita spiritual.

Master Li memperkenalkan keyakinan spiritual Falun Gong, juga dikenal sebagai Falun Dafa, kepada publik di Tiongkok pada tahun 1992. Sebelum penganiayaan dimulai di Tiongkok pada Juli 1999, jumlah pengikutnya mencapai lebih dari 70 juta orang, dan rezim partai komunis Tiongkok memuji latihan ini karena manfaat penyembuhan dan kebugarannya.

‘Kerangka Pikiran’ Mendorong Pencapaian

Pada usia 73 tahun dan saat ini tinggal di dekat Sacramento, California, Amerika Serikat, ia mengatakan bahwa dirinya telah mengalami berbagai kesulitan sepanjang hidupnya, mulai dari kehilangan ayahnya pada usia 11 tahun. Keluarganya miskin, dan kehidupan pada tahun 1950-an bagi seorang janda – ibunya – sangat berbeda dengan saat ini.

Martin harus berdamai dan memahami kematian ayahnya dan masa kecilnya yang sulit, “Semua itu harus berarti.” Dan, dia akhirnya meraihnya ketika dia bergabung dengan gereja Mormon pada usia 17 tahun. “Salah satu faktornya adalah fakta bahwa saya benar-benar percaya dan merasakan di dalam hati saya bahwa memang benar bahwa kita memiliki kehidupan lain setelah ini,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa dia tahu bahwa dia akan bertemu dengan ayahnya lagi.

“Saya telah menemukan bahwa ketika saya bahagia dan mencoba untuk melihat kebaikan dalam segala hal, maka hal-hal itu [penderitaan] tidak begitu penting.” Dia berbicara tentang bagaimana pikiran yang berbeda akan membawa hasil yang berbeda. “Karena ini adalah kerangka berpikir; ini adalah sebuah sikap. Ini adalah cara Anda berpikir karena Anda menjadi apa yang Anda pikirkan.”

Dalam artikel Mr Li, dia menulis bahwa kekayaan seseorang dalam kehidupan ini adalah hasil dari akumulasi berkat dan kebajikan yang dilakukan dengan berbuat baik. Meskipun dia tidak percaya pada reinkarnasi, Martin setuju dengan prinsip, “Saya rasa kita tidak pernah ditakdirkan untuk menjadi sama dan memiliki keadaan yang sama.” Baginya, tidak memiliki kekayaan bisa menjadi cobaan bagi seseorang, dan memiliki kekayaan bisa menjadi cobaan bagi orang lain. Tidak baik jika orang kaya memandang rendah orang lain yang tidak kaya atau jika orang miskin mengingini kekayaan. Dalam pandangannya, yang penting adalah sikap seseorang terhadap kekayaan, bukan status ekonomi itu sendiri.

‘Sang Pencipta’

Mr Li menyebutkan “Sang Pencipta” berkali-kali dalam artikelnya.

“Saya tahu bahwa ada Sang Pencipta,” kata Laura Seifert, seorang pensiunan guru piano yang saat ini tinggal di Florida, kepada The Epoch Times, menambahkan bahwa dia belajar anatomi di perguruan tinggi. “Begitu Anda melihat apa yang ada di dalam tubuh manusia, itu tidak mungkin terjadi begitu saja. Pasti ada Sang Pencipta.”

Dia mengatakan bahwa dia telah memikirkan Sang Pencipta sesaat sebelum dia menemukan artikel “Mengapa Ada Umat Manusia” Master Li. 

Laura Seifert, seorang pensiunan guru piano di Florida. (Courtesy of Laura Seifert)

Dia bersekolah di sekolah keperawatan, namun akhirnya terjun ke dunia musik setelah berkesempatan bermain organ untuk mengiringi paduan suara perawat. Selain mengajar piano, ia bekerja sebagai direktur paduan suara dan pemain organ di sebuah gereja Kristen Quaker.

Baginya, utusan Tuhan yang lain mungkin dikirim ke bumi untuk orang lain. Oleh karena itu, agama-agama lain mungkin memiliki nama yang berbeda untuk Tuhan. “Saya berpikir tentang Buddha, yang mengajarkan semua hal yang indah dan baik serta mengajarkan orang-orang bagaimana menjadi baik dalam hidup,” tambahnya.

Sebagai anggota gereja Mormon, Martin mengatakan bahwa ia menemukan “banyak kesamaan daripada perbedaan” antara ajaran Master Li dan keyakinannya. “Ada orang lain yang juga percaya, dan mungkin tidak persis sama dengan kepercayaan saya, tetapi ini adalah sistem kepercayaan, jika dipraktikkan oleh semua orang, akan membuat dunia yang lebih baik.”

Seifert telah memperhatikan beberapa kritik terhadap artikel tersebut: “Beberapa di antaranya seperti orang ‘Kristen’ yang memiliki tembok-tembok yang dibangun di sekeliling agama mereka. Jadi, ketika apa yang dikatakan Mr Li tidak sesuai dengan gagasan mereka tentang apa yang Yesus katakan, mereka mengkritik artikel tersebut.”

“Sayang sekali. Tapi mungkin beberapa mata terbuka setelah membacanya. Itulah harapan saya; beberapa orang akan berpikir ulang,” katanya.

Masyarakat Membutuhkan Landasan Moral

Seifert mengenal Falun Gong lebih dari setahun  lalu dan menghadiri dua webinar tentang keyakinan spiritual. 

“Ini [Artikel] sangat mengagumkan. Terima kasih banyak telah menerbitkannya. Saya sangat tertarik dengan latihan Falun Gong; saya hanya belum menemukan waktu untuk melakukan semua bacaan dan mencoba menemukan kelompok di dekat tempat tinggal saya. Saya sangat menghormati Mr. Li Hongzhi,” tulisnya kepada The Epoch Times setelah membaca artikel tersebut.

Ketika ditanya bagaimana ia menyaring informasi yang beragam secara online dan membentuk opini yang baik tentang Falun Gong, ia berkata, “Saya pikir belia [ Mr Li Hongzhi] benar.”

“Saya percaya apa yang beliau [Mr Li] katakan tentang menjadi baik dan menjalani kehidupan yang baik. Itu sangat penting.” Dia mengingat tiga prinsip dari latihan ini-Sejati-baik-dan Toleran, ia lalu berkata, “Toleransi: itulah yang harus banyak saya latih.”

“Saya pikir apa yang terjadi pada orang-orang di Tiongkok sungguh mengerikan. Hal itu masih terjadi, dari apa yang saya ketahui,” tambah Seifert, mengacu pada penganiayaan terhadap Falun Gong di Tiongkok.

Martin juga mengetahui penganiayaan tersebut, “Beliau [Mr Li Hongzhi] mempromosikan kebaikan dan kemurahan hati, bagaimana bisa hal itu menjadi ancaman?” “Bagaimana beliau bisa bertahan hidup di Tiongkok ketika mereka mencoba membunuh apa yang beliau coba lakukan?” tanyanya, merasa lega karena Mr  Li masih hidup dan tinggal di Amerika Serikat.

Seifert mengatakan bahwa ia berpikir bahwa Mr  Li benar dalam menunjukkan bahwa dunia sedang menuju kehancuran. Dia prihatin bahwa orang-orang saat ini menjadi sangat “fasik”. “Mereka jahat. Mereka melakukan hal-hal yang mengerikan kepada orang lain. Itu bukanlah dunia yang saya pikir saya tempati.”

Martin berbagi keprihatinan Seifert tentang kebangkitan ateisme dan menunjuk Tiongkok sebagai contoh masyarakat yang tidak toleran terhadap kebebasan berkeyakinan, “Mencoba menavigasi kehidupan ini tanpa landasan moral akan mengarah pada apa yang mereka alami di Tiongkok.” (asr)