Bangkit Dengan Cepat India Mungkin Terseret Kelemahannya Sendiri

Wei Ran

Di tengah melambatnya perekonomian Tiongkok beserta seluruh dunia, India justru tampil unggul, dan menjadi “bintang” di pentas ekonomi Benua Asia Timur bahkan seluruh dunia, tahun fiskal April 2022 hingga Maret 2023, pertumbuhan ekonomi India diperkirakan mencapai 6,8%, sementara tahun fiskal sebelumnya mencapai 8,3%, sehingga menempati posisi depan deretan negara ekonomi utama dunia. 

Analisa menilai, tahun ini ekonomi India diperkirakan akan terus bertumbuh. Di saat yang sama, AS dan negara Barat lainnya juga sedang meluaskan kerjasama dengan India, untuk melawan kebangkitan teknologi RRT (Republik Rakyat Tiongkok).

Lalu, mengapa India dapat menjadi sorotan kebangkitan perekonomian dunia? India sendiri memiliki kelemahan apakah? Bagaimana India memanfaatkan peluang, dalam menciptakan Era India? 

Pertumbuhan Pesat PDB India, 2023 Diprediksi Mengalami Pertumbuhan Tinggi

Awal Februari lalu, Menkeu India Nirmala Sitharaman dalam pidato anggaran federal memperkirakan, pada tahun fiskal 2023~2024 pertumbuhan PDB India akan mencapai 10,5% dengan pertumbuhan PDB riil akan bertahan di level tinggi 6%~6,8%.

Sitharaman menyebutkan, sejak pemerintahan Narendra Modi berkuasa pada 2014, skala ekonomi India telah menanjak dari posisi ke-10 dunia menjadi posisi ke-5 negara ekonomi dunia, pendapatan per kapita meningkat satu kali lipat lebih, dan mencapai 197.000 Rupee, atau sekitar 2.386 dolar AS (36.863.700 rupiah per tahun). 

Menurut laporan yang dikeluarkan Morgan Stanley dan S&P pada November 2022 lalu, paling cepat pada 2027 India akan menjadi negara ekonomi ketiga terbesar dunia.

IMF juga merilis artikel: “India tetap akan menjadi unggulan kebangkitan ekonomi dunia.”

Populasi India Terbanyak dan Termuda di Dunia

Lalu, mengapa India bisa menjadi sekemilau itu? Apa saja keunggulan India?

Menurut analisa Economist Intelligence Unit, keunggulan India terletak pada tenaga kerja murah yang melimpah dan biaya produksi yang efisien, keterbukaan terhadap investasi, kebijakan yang bersahabat pada kalangan pengusaha, serta populasi usia muda yang cenderung memiliki kebiasaan konsumtif yang kuat.

Dalam laporan “World Population Prospects”, PBB memprediksi, pada April 2023 yakni bulan depan, jumlah penduduk India akan melampaui Tiongkok, serta mencapai lebih dari 1,42 miliar jiwa dan menjadi negara berpenduduk terbanyak di dunia. Potensi pertumbuhan penduduk juga membuat India memiliki ruang pertumbuhan produktivitas yang sangat besar.

Apalagi, India tidak hanya berpenduduk banyak, bahkan disebut yang termuda di dunia. Berdasarkan data dari Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2021, populasi tenaga kerja India lebih dari 900 juta jiwa, sebanyak 27,3% di antaranya adalah penduduk berusia 15 tahun hingga 29 tahun, sebanyak 800 juta jiwa adalah penduduk berusia di bawah 35 tahun, mencakup sekitar 65% dari total penduduknya, dan rata-rata usia penduduk seluruh negara adalah 29 tahun.

Struktur usia ini sangat berdampak. Ahli ekonomi dari George Mason University yakni Shruti Rajagopalan menilai, “Para pemuda India generasi ini, akan menjadi konsumen sekaligus sumber tenaga kerja terbesar bagi produk intelek dan internet. Orang India akan menjadi gudang talenta terbesar di seluruh dunia.”

Tentu saja, Tiongkok juga merupakan negara berpenduduk besar, tetapi dibandingkan dengan struktur populasi India, selisih usia populasi tenaga kerja kedua negara antara 15~20 tahun, jika pekerja paruh baya di Tiongkok berusia 40 tahun-an, maka di India yang bekerja adalah pemuda berusia 20 tahun-an dan lebih enerjik. 

Namun, walaupun populasi tenaga kerja di India banyak, rasio partisipasi tenaga kerjanya hanya 41,3%, selain itu, keunggulan pertumbuhan populasi tidak akan serta merta bertransformasi menjadi PDB. Mampukah ekonomi India tetap bertahan dengan kecepatan tinggi dan pertumbuhan yang sehat, harus melihat di antara penduduk berusia 15~29 tahun itu apakah dapat dibina sebagai tenaga kerja berkualitas tinggi yang cukup banyak.

Talenda India, Diferensiasi Kedua Sisi Sangat Parah

India menerapkan sistem pendidikan elite, apakah artinya? Ada warganet yang mengumpamakan, di dalam tembok dipenuhi oleh para profesor, padahal di luar tembok jumlah kaum buta huruf masih signifikan. Walaupun India setiap tahunnya mencetak 7 juta lulusan sarjana, tapi di saat yang sama juga terdapat dua hingga tiga ratus juta orang yang buta huruf.

India mementingkan pendidikan ilmiah dan teknologi, juga telah menghasilkan sejumlah talenta top internasional, tapi mengalirnya talenta kelas atas India ke luar negeri juga merupakan masalah serius, beberapa tahun terakhir, dimana-mana bisa ditemui CEO berdarah India menguasai industri teknologi.

Akan tetapi, pendidikan tingkat tinggi India juga diragukan kualitasnya, sebagai contoh, pada 2017, sebuah survei oleh Aspiring Minds menunjukkan, di antara 36.000 orang pelajar yang disurvei, hanya 4,77% di antara para lulusan bidang ilmu ilmiah dan teknologi bisa menulis program yang bisa beroperasi. Lalu mengapa industri IT India masih begitu berkembang? Ada semacam teori mengatakan, yang diandalkan India bukan kecanggihan teknologi, melainkan kemakmuran industri yang terakumulasi dari proyek outsourcing dalam jumlah besar.

Ekonom AS berdarah India yakni Pranab Bardhan berpendapat, dewasa ini, perkembangan industri padat teknologi India cukup berhasil, seperti piranti lunak, teknologi digital dan pembuatan obat, tapi populasi tenaga kerja India mayoritas adalah tenaga kerja rendah teknologi, banyak warga India adalah pengangguran atau setengah pengangguran, proteksionisme industri pemerintah juga membuat investor asing menahan langkah.

Saat ini, industri utama India adalah pertanian, yang mencakupi 43% dari total penduduk India; pertumbuhan ekonomi berasal dari perdagangan, finansial, dan teknologi informasi, industri layanan merupakan porsi terbesar penyumbang PDB, yakni sekitar 60%.

Oleh sebab itu, sejumlah pakar menilai, walaupun India unggul secara populasi, tapi jika pemerintah tak mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup, ada kemungkinan justru akan menimbulkan beban populasi.

India Memiliki Skala Pasar dan Investasi Yang Kuat

Selain skala populasinya, skala pasar dan kondisi investasi di India juga sangat menarik.

Laporan Morgan Stanley menjelaskan, diperkirakan mulai 2023 total nilai output industri manufaktur India akan melampaui 400 miliar dolar AS setiap tahunnya, dan setelah 2028 akan tumbuh sampai 500 miliar dolar AS.

Di saat yang sama, alih keluar atau global offshoring India, digitalisasi dan transisi energinya, akan menjadi lokomotif yang menarik pertumbuhan ekonomi India. Ditambah lagi, pemerintah India telah mengeluarkan kebijakan investasi mendorong industri antara lain pengurangan pajak perusahaan, insentif investasi dan belanja pembangunan infrastruktur, yang membuat banyak perusahaan multinasional optimis terhadap masa depan investasi India.

Di samping itu, India merupakan negara demokrasi, yang memiliki tradisi hukum yang lama, beberapa tahun terakhir perbaikan infrastruktur fisik di India yang signifikan, sebagian infrastruktur digitalnya telah melampaui AS pada beberapa aspek, terutama sistem pembayaran keuangannya.

India Memiliki Keunggulan Kompetisi Di Antara Negara Asia Tenggara

Apalagi di tengah lingkungan internasional sekarang, dibandingkan dengan negara di sekitarnya, India jauh lebih menonjol.

Pertama, perbedaan yang paling mencolok adalah, perbandingan antara India dengan pesaing ekonominya yakni Tiongkok. Seperti diketahui, selama tiga tahun pandemi, PKT di satu sisi menerapkan Nol Covid secara ketat, di sisi lain menekan perusahaan swasta, pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat, penduduk juga mengalami pertumbuhan negatif, di saat yang sama, konfrontasi AS-RRT telah membuat PKT dikucilkan dari perpaduan kekuatan global. Perbedaan antara keduanya, membuat India yang demokratis lebih penuh daya tarik. Meski demikian, India merupakan salah satu negara yang paling awal diundang Beijing untuk berpartisipasi dalam proyek “One Belt One Road”, tapi India juga telah menjadi negara utama yang menentang program tersebut.

Kedua, dibandingkan dengan negara Asia Selatan lainnya yang memiliki latar belakang budaya yang serupa, walaupun beberapa tahun sebelumnya India tidak begitu menonjol, tetapi pasca Perang Rusia-Ukraina, putusnya rantai pasokan akibat kebijakan Nol Covid PKT, serta dinaikkannya suku bunga AS, telah menekan prospek pertumbuhan negara Asia Selatan lainnya, juga menyebabkan mata uang Asia melemah terhadap dolar AS, yang semakin memperburuk masalah hutang negara-negara tersebut. Misalnya Sri Lanka, Pakistan, dan Bangladesh, yang terjebak kesulitan membayar hutang serta masalah neraca pembayaran internasional telah mencari bantuan kepada IMF. Seperti dikatakan sejumlah ekonom, di tengah krisis berlapis di Asia Selatan, India tampil menonjol, sehingga menjadikannya sebagai tempat berlindung yang stabil.

Selain itu, dibandingkan dengan Vietnam yang sedang berkibar, posisi Vietnam pada rantai nilai global lebih tinggi daripada India, lebih dari 60% produk Vietnam adalah produk ekspor, termasuk elektronika dan mesin, busana, peralatan permesinan dan lain-lain, sedangkan produk utama ekspor India adalah produk berteknologi rendah.

Namun jumlah penduduk dan kapasitas ekonomi India jauh lebih besar daripada Vietnam, populasi Vietnam kurang dari 100 juta jiwa, lambung ekonomi Vietnam juga lebih kecil, ia juga kekurangan akan perusahaan lokal yang berkelas dunia. Hingga 2021, Vietnam belum memiliki perusahaan lokal yang masuk ke dalam daftar Fortune Global 500, sedangkan India mempunyai 7 perusahaan.

Rantai Pasokan Beralih ke India

Semua perbandingan ini membuat India menjadi sorotan, maka dari itu, yang disaksikan oleh dunia, di bawah pandemi, Perang Rusia-Ukraina, serta konfrontasi AS-RRT yang berdampak pada rantai pasokan dan perdagangan global, sejumlah produsen dan investor sedang meninggalkan Tiongkok, dan pindah ke India. Contohnya, semester kedua tahun lalu, bursa efek India pernah memecahkan rekor tertinggi, uang panas membanjiri India; seperti para pemasok Apple, juga sedang mempercepat pemindahan produksi mereka ke India.

Akan tetapi, majalah Foreign Affairs menerbitkan artikel yang menyebutkan, India akan mengalami 3 kendala untuk menjadi “Tiongkok berikutnya”: risiko investasi terlalu tinggi, introversi kebijakannya terlalu kuat, ketidak-seimbangan ekonomi keseluruhan terlalu besar. 

Sebelum perusahaan seluruh dunia berinvestasi di India, Pemerintah India harus menghilangkan kendala tersebut, jika tidak, para perusahaan tersebut masih mempunyai opsi lain, seperti membawa usahanya ke ASEAN, atau mempertahankan operasional mereka di Tiongkok, dengan alasan India bukan opsi pengganti yang lebih unggul.

India Mencari Keseimbangan Antara AS dan Rusia

Pada 23 Februari lalu, dalam resolusi Majelis Umum PBB, 141 negara memberikan suara setuju untuk menuntut pasukan Rusia agar segera mundur dari Ukraina, namun India dan Tiongkok sama-sama memilih abstain. Faktanya, sejak Perang Rusia-Ukraina, India terus mempertahankan sikap netralnya.

Mengapa India bertindak demikian? Seperti diketahui, sebelumnya India telah menyatakan sikap bahwa sekarang adalah era damai, jadi, India tidak berharap ada perang, karena perang dapat memicu krisis energi, maka perekonomian India tidak akan bisa berkembang; di sisi lain, India dan Rusia memiliki hubungan rekan kerjasama strategis, sebanyak 75% senjata India berasal dari Rusia, yang dengan sendirinya juga menjadi bahan pertimbangan.

Pada 24 Januari lalu, pakar senior dari US Institute of Peace Asia Center yakni Sameer Lalwani beserta dosen diplomasi dan pelucutan senjata dari Jawaharlal Nehru University yakni Happymon Jacob pernah menulis artikel yang menjelaskan, dalam jangka pendek menengah, pondasi hubungan India-Rusia masih sangat kokoh, untuk jangka panjang, hubungan India-Rusia sedang mengalami tren penurunan, dari hubungan rekan berubah menjadi “hubungan dagang”. Tetapi proses perubahan ini akan berjalan sangat lamban.

Dunia juga menyaksikan, pada 31 Januari lalu, pejabat AS dan India sepakat memperluas kerjasama di bidang teknologi canggih seperti senjata, komputer super, dan semikonduktor, Pemerintah Biden berharap dapat mempererat hubungan persekutuan dengan negara Asia, untuk menandingi posisi dominan RRT dalam bidang teknologi canggih. 

Seorang pejabat Biden menyatakan, mereka percaya kerjasama semacam ini, dapat mempercepat langkah India menjauhi Rusia, sehingga akan menguntungkan bagi hubungan India dengan Amerika.

Sebagai negara ekonomi berkembang super besar, India sedang di atas angin, tetapi di saat yang sama juga harus menghadapi banyak tantangan dan variabel, dewasa ini di bawah perubahan ekonomi dan geopolitik, bagaimana India menyeimbangkan hubungan internasionalnya, bagaimana menghilangkan kekurangan mereka di dalam negeri, dan mengukuhkan pondasi pertumbuhannya, adalah sejumlah masalah yang harus diatasi oleh pemerintah India. 

Jadi, jika India hendak menyambut datangnya Era India, walaupun masa depannya cukup optimis, namun jalan menuju kebangkitan itu juga cukup terjal. (Sud/Whs)