Memburuknya Hubungan Menyebabkan Jumlah Mahasiswa Internasional dari Tiongkok dan AS Menurun Tajam

oleh Zhao Fenghua, Zhang Danxia dan Liu Fang 

Akibat kebijakan mencegah penyebaran epidemi yang ketat selama 3 tahun, jumlah mahasiswa internasional dari Amerika Serikat di Tiongkok telah menurun tajam ke level terendah dalam lebih dari 20 tahun terakhir. Sementara itu, jumlah mahasiswa internasional dari Tiongkok di Amerika Serikat juga mengalami penurunan yang signifikan. Analisa cendekiawan menunjukkan bahwa, selain karena lockdown ketat otoritas PKT, opini publik radikal “anti-AS” yang dipandu oleh PKT juga memperburuk hubungan Tiongkok – AS, serta mengekang kegiatan pertukaran non-pemerintah.

Pada 19 Maret, Wall Street Journal melaporkan bahwa menurut data terbaru, hanya ada 382 orang mahasiswa AS yang belajar di Tiongkok pada tahun akademik 2020-2021. Menurun sebesar 97% dari 2 tahun lalu. 

Menurut analisis cendekiawan, bahwa penurunan tajam jumlah mahasiswa internasional dari kedua negara tersebut secara langsung terkait dengan kebijakan pencegahan epidemi PKT, tetapi masih belum pasti apakah akan kembali ke tingkat sebelumnya setelah PKT melakukan liberalisasi.

“Saya pikir alasan utama dari penurunan signifikan ini adalah kebijakan Nol Kasus PKT. Selain itu, para siswa asing juga tidak dapat meninggalkan negara, mereka hanya dapat mengambil kelas online, sehingga jumlah mereka turun drastis. Sedangkan Kementerian Pendidikan Tiongkok tidak mengakui pendidikan kelas online. Saya pikir jumlah ini pada tahun 2023 mungkin bisa kembali naik sampai batas tertentu, tetapi saya tidak yakin kalau kenaikannya akan mencapai puncak sebelumnya,” kata Li Yuanhua, seorang sejarawan yang tinggal di Australia.

Menurut sebuah laporan yang dirilis oleh American Institute of International Education, pada tahun ajaran 2021-2022, jumlah warga Tiongkok yang belajar di Amerika Serikat juga mengalami penurunan tajam, dengan total hampir 318 ribu orang. 

Menurun 14% dari 2 tahun silam. Menurut analisis para sarjana, alasannya juga terkait dengan lockdown ketat sehingga warga Tiongkok tidak bisa keluar negeri. Tetapi sebelum ekonomi PKT runtuh, diperkirakan jumlah mahasiswa Tiongkok yang belajar di Amerika Serikat masih berpotensi meningkat.

“Pada saat itu, kebanyakan warga Tiongkok tidak bisa pergi ke luar negeri. Jika otoritas Tiongkok tidak memberlakukan batasan, saya pikir jumlahnya bisa kembali mencapai puncak semula. Karena situasi lapangan kerja di Tiongkok yang sangat buruk saat ini, sehingga semakin mendorong orang tua kaya Tiongkok untuk mendorong putra putrinya belajar di luar negeri. Sebelum ekonomi Tiongkok ambruk, saya kira jumlahnya akan kembali ke posisi semula, karena orang merasa tidak ada harapan di Tiongkok, sehingga semakin ingin keluar dari Tiongkok,” kata Li Yuanhua.

Yang Bin, seorang profesor di Sekolah Ekonomi dan Manajemen Universitas Tsinghua, Beijing berpendapat bahwa seiring dengan meningkatnya ketegangan hubungan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat, opini publik dan propaganda PKT yang kian berbelok ke kiri, yang juga mempengaruhi kegiatan pertukaran non-pemerintah antara kedua negara tersebut.

“Lihat saja, opini publik sayap kiri yang menyerukan penghapusan bahasa Inggris, dan bahwa bahasa Inggris tidak lagi dibutuhkan untuk ujian masuk universitas. Tidak perlu begitu banyak kegiatan pertukaran non-pemerintah antara Tiongkok dengan Amerika Serikat dan sebagainya. Jika tren semacam ini terus berlanjut, bagaimana jadinya kelanjutan dari pertukaran antara Tiongkok dengan Amerika Serikat ?” (sin)