Tidak Boleh Pamer, tapi Korupsi Masih Boleh?

Wan Jaya

Pasca Mario si anak pejabat ditjen pajak berulah dengan  membuat David si anak petinggi GP ansor bak bola yang ditendang-tendang tanpa belas kasihan. Para abdi negara dilarang pamer kekayaan di media sosial, walaupun itu diperoleh dengan uang halal. Alasannya bisa melukai rasa keadilan masyarakat. Dan saat itu juga kata ‘hedon’ kembali viral. Itulah label baru dari ‘Netizen Yang Maha Kuasa’ bagi keluarga pejabat yang bergaya mewah melebihi penghasilan legalnya. 

Gara-gara arogansi Si David, banyak pejabat di instansi-instansi yang basah jadi soratan dan dikuliti habis-habisan para nitizen. Itulah cara semseta membuka kemunafikan yang semakin hari menjadi gaya hidup dari lebih banyak orang. Dikuliti habis-habisan di media sosial oleh para nitizen sungguh sangat menyakitkan. Sudah sekian pejabat diperiksa pihak berwenang akibat gaya hidup pamer kemewahan dari keluarganya. 

Kegemparan ini membuat orang nomer satu melarang para pejabat dan keluarganya untuk pamer kekayaan. Pertanyaannya selanjutnya apakah ada yang salah dengan larangan tersebut? Apakah itu menyelesaikan akar masalahnya? 

Netizen kita kian hari kian cerdas dan kritis. Mereka tidak sungkan-sungkan lagi mengkritik jalan pikir orang nomer satu di negeri ini. Kok hanya dilarang pamer, bukan dilarang korupsi. Bagi pejabat korup yang dengan susah payah menyembunyikan harta illegalnya, mana bisa tidak pamer kekayaan? Padahal mereka selama ini menjadikan uang sebagai Tuhan, sehingga berani mengkhianati sumpah jabatan. ‘Untuk apa korupsi kalau tidak dinikmati dan dijadikan bahan pameran?” itulah logika mereka. 

Sebenaranya tak ada satu pasal yang melarang untuk pamer. Dan larangan untuk tidak pamer kekayaan tidak punya kekuatan hukum karena tidak ada dalam konstitusi. Tapi pamer kemewahan di saat harga-harga naik, banyak PHK, dan separuh penduduk Indonesia tidak bisa mengonsumsi makanan bergizi adalah melukai hati masyarakat. Dan berujung sanksi sosial dan dikuliti habis-habisan di media sosial. 

Yang ada dalam undang-undang adalah larangan yang melakukan korupsi. Itulah akar permasalahannya. Itulah yang harus ditegaskan oleh orang nomer satu di negeri ini. Dan itulah perang yang harus ia kobarkan kalau ingin meninggalkan legasi ketika sudah lengser keprabon. Dia harus menyiapkan 100 peti mati, 90 untuk para koruptor dan 10 untuk dia, keluarga dan kerabatnya. Itulah langkah nyata yang harus dilakukan. Kalau perlu dikeluarkan dekrit bahwa negara dalam darurat korupsi dan  mengeluarkan Perpu pembuktian terbalik yang memungkinkan untuk menangkap  koruptor layaknya pukat harimau menangkat ikan di laut tak pandang bulu. Bukan dekrit atau Perpu untuk memperpanjang masa jabatan atau mengedit konstitusi untuk melegalisasi lebih dari dua periode.

Pasca kasus David ini menyeruak, PPATK tiba-tiba berani mengungkap ada Rp 300 triliun aliran dana mencurigakan yang diduga pencucian uang. Menkopolhukam Mahfud MD mencoba mendorong isu ini agar mencuat kepermukaan. Namun tak lama setelah itu PPATK seolah menjilat ludah sendiri dengan mengatakan aliran dana Rp 300 triliun tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Netizen mengatakan, kok begitu cepat masuk angin? Apa karena diancam uang belanjanya disunat bendahara negara? Namun Menkopolhukam kali ini seolah menjadi kuda troya bagi kekuatan anti korupsi yang bisa membongkar gunung es skandal korupsi. Semula banyak pihak meragukan integritasnya ketika bergabung dalam pemerintahan. Apakah ia akan seperti burung merak yang masuk kandang babi yang akhirnya lebih rakus dari babi? Saya rasa banyak pihak yang percaya ia tak pernah berubah, ia hanya bersiasat atau menggunakan jalan lain untuk menuju Roma. Dan benar saja orang Madura ini dengan carok spirit-nya keukeh untuk mengawal isu ini. 

“Alhamdulillah, saya sudah tiba kembali di Jakarta  setelah pertemuan bilateral dan multilateral di Melbourne. Saya siap memenuhi undangan DPR utk menjelaskan dan menunjukkan daftar dugaan pencucian uang 300 triliun di Kemenkeu. Masalah ini memang lebih fair dibuka di DPR. Saya tidak bercanda tentang ini.” cuit Mahfud MD di twitter pada (17/03/2023).

Sebagai pembantu presiden, keberanian Mahfud mungkin saja atas persetujuan presiden. Tapi membiarkan isu ini menjadi isu politik di DPR hanya akan membuat publik akan mempertanyakan keseriusan RI satu dalam agenda pemberantasan korupsi. Kenapa KPK tidak segera bergerak? Apakah semua ini akibat saling sandera satu sama lain? Saling mempunyai kartu AS untuk mengunci pihak yang lain? Apakah benar hampir semua orang punya dosa sehingga tersandera? Sehingga pemberantasan korupsi hanya sekedar poco-poco saja. Yang jelas jangan pernah pamer kemewahan dan hedon. Terus korupsi masih boleh ya ?