Menekan Sembari Menstabilkan Modal Asing Apa Niat di Balik itu?

Econ Vision

Pasca usainya Dua Sesi Partai Komunis Tiongkok (PKT), jajaran pemimpin PKT yang baru akan menjadikan “stabilisasi modal investasi asing” sebagai titik berat pekerjaan, dan kembali menggelar kegiatan offline seperti “China Development Forum 2023” (CDF 2023) dan lain-lain agar menarik untuk dihadiri para petinggi perusahaan, CEO Apple Tim Cook terlebih menjadi tamu yang sangat dinantikan. Tapi ironisnya, sebelum forum tersebut diadakan, 5 orang karyawan sebuah perusahaan AS mendadak ditangkap, ada apa sebenarnya? Sikap para penguasa Beijing di satu sisi membuka diri di sisi lain melakukan tekanan, apa sebenarnya tujuannya? 

China Development Forum Digelar, CEO Apple Paling Disambut Baik

Pada 25 hingga 27 Maret 2023 lalu, “China Development Forum 2023” diadakan di Beijing. Topik utama dalam forum kali ini adalah “Pemulihan Ekonomi: Peluang dan Kerjasama” (Economic Recovery: Opportunities and Cooperation). Forum yang oleh kalangan pejabat PKT disebut-sebut sebagai “Davos Tiongkok” itu adalah platform pertukaran ekonomi asing utama yang diprakarsai oleh Pusat Penelitian Pengembangan dari Dewan Negara RRT, dengan mengundang para eksekutif perusahaan multi-nasional dan para ekonom untuk bertemu dengan pejabat tinggi pemerintahan RRT di Beijing.

Pada sesi briefing pihak panitia mengatakan kepada para wartawan, forum kali ini berfokus pada melontarkan sinyal kuat bahwa RRT akan tetap membuka diri kepada luar. Han Wenxiu selaku Deputi Direktur Komisi Urusan Keuangan dan Ekonomi Pusat yang juga menghadiri forum tersebut pada 25 Maret lalu menyatakan, perusahaan dari semua negara disambut baik untuk berinvestasi di Tiongkok, dan menyatakan dengan investasi di Tiongkok dapat “mengulur senar panjang untuk memancing ikan besar”. Hanya saja tidak diketahui, akankah ikan besar itu justru adalah perusahaan itu sendiri.

Sejak 23 Maret lalu dalam kesempatan selama 4 hari pada forum tersebut Menteri Perdagangan RRT Wang Wentao juga telah menemui para eksekutif dari 11 perusahaan terkemuka antara lain CEO P&G, CEO Apple dan lain-lain, Wang juga menyampaikan sambutan dan dukungannya terhadap perusahaan asing agar berinvestasi di Tiongkok. Terlihat juga Direktur Komisi Pengembangan dan Reformasi Nasional RRT juga telah menemui Ketua Dewan Direksi Siemens Jerman.

Selain itu, dalam daftar hadir forum tersebut juga terdapat nama pendiri Bridgewater Associates, CEO Pfizer, CEO Qualcomm, CEO Intel, serta direktur Samsung, BMW, dan Mercedes-Benz. Namun dalam liputan oleh Bloomberg disebutkan, petinggi perusahaan AS yang hadir tidak banyak, mayoritas perusahaan yang hadir adalah bukan perusahaan asal AS. Kalangan internal industri menyatakan, barisan perusahaan AS yang hadir tahun ini lebih sedikit, mungkin karena hendak menjaga aktivitas di Tiongkok tetap low profile, agar tidak menarik sorotan yang tidak perlu dari pihak pemerintah AS.

Di antara yang hadir, CEO Apple yakni Tim Cook, jelas telah menjadi selebriti yang paling dipuja media massa RRT. Media memberitakan, kunjungan Cook di Beijing mendapat sambutan hangat, hal ini sangat berbeda dengan perlakukan yang didapat oleh CEO TikTok Shou Zi, Chew saat berada di Washington DC beberapa hari lalu, seperti judul yang dimuat oleh CNN, yang secara langsung menuliskan “Setelah Shou Zi, Chew ‘Dipanggang’ di Washington, Tim Cook Tersenyum di Beijing” (After TikTok Chief’s Grilling in Washington, Apple’s Tim Cook is All Smiles in Beijing).

Pada China Development Forum 25 Maret lalu, Cook juga sempat menyampaikan pidato yang sangat positif terhadap Tiongkok. Ia berkata, bagi perusahaan Apple, Tiongkok adalah sebuah pusat pabrikasi, juga pasar konsumtif yang bertumbuh sangat pesat, dalam 30 tahun terakhir, baik Apple maupun Tiongkok telah tumbuh bersama. Cook juga mengatakan, perusahaan Apple akan menyediakan 14,6 juta dolar AS (……rupiah, kurs per 03/04), sebagai dana bagi proyek pendidikan yang akan dikembangkan oleh China Development Research Foundation.

Sepertinya, Cook masih optimis terhadap pasar Tiongkok, tapi seperti diketahui, para pemasok utama bagi perusahaan Apple sedang dengan cepat beralih keluar dari RRT. Pada awal Maret lalu Bloomberg mengutip informasi nara sumber yang mengatakan, Foxconn berencana menginvestasikan sekitar 700 juta dolar AS (……rupiah) di India untuk membangun pabrik baru, guna mempercepat terlepasnya ketergantungan berlebihan iPhone terhadap produksi di RRT. Berita menyebutkan, Foxconn memiliki pabrik yang memproduksi iPhone di India, dan pabrik yang akan dibangun ini akan menjadi proyek investasi terbesar Foxconn di India hingga saat ini, ini juga berarti RRT akan mengalami risiko kehilangan basis produksi barang elektronik konsumen terbesar di seluruh dunia.

Selain itu, pada 24 Maret lalu Reuters juga memberitakan, salah satu pemasok utama Apple lainnya yakni Pegatron Corporation juga berencana membangun pabrik keduanya di India, untuk terus mendispersi investasi dan produksinya di luar Tiongkok. Tentu saja, walaupun Apple sedang mengalihkan rantai pasokan ke negara lain, tapi dalam kurun waktu yang cukup lama masih harus bergantung pada basis produksi dan juga pasar konsumen di Tiongkok, ini mungkin alasan yang membuat Tim Cook harus “memuji Tiongkok”. Tak hanya itu saja, surat kabar Wall Street Journal juga memperhatikan, dalam forum ini baik pemimpin bisnis maupun para pejabat PKT menghindari perbincangan berkaitan dengan dampak memburuknya hubungan AS-PKT terhadap bisnis perusahaan. Banyak eksekutif perusahaan multi-nasional menghindari topik pembicaraan terkait masalah geopolitik yang terpampang jelas di depan mata.

Hanya Direktur US-China Business Council yakni Craig Allen yang menjabarkan tentang terus meningkatnya risiko yang dihadapi perusahaan AS, antara lain risiko politik, pengawasan, dan ekonomi. Allen berkata, “Karena biaya terus meningkat, risiko terus meningkat, dan ekonomi menurun dengan cepatnya, para CEO semakin sulit meyakinkan jajaran direksinya untuk berinvestasi dalam skala besar di Tiongkok.”

Perusahaan AS “Makin Pesimis” Berbisnis di Tiongkok

Faktanya, tidak hanya Apple, merek ternama AS lainnya, juga sedang menekan pemasoknya yang bergantung pada pabrik di Tiongkok, agar meninjau ulang kemungkinan mengalihkan jalur produksinya ke India, Vietnam, atau ke negara lainnya.

Menurut pemberitaan BBC, Kamar Dagang Amerika di Tiongkok (AmCham China) pada minggu lalu merilis “Laporan Investigasi Lingkungan Bisnis di Tiongkok 2023” dengan hasil investigasi terbaru menunjukkan, sebanyak 55% perusahaan tidak lagi menganggap Tiongkok sebagai salah satu dari tiga fokus utama investasinya, ini adalah kondisi yang terjadi untuk pertama kalinya selama 25 tahun terakhir laporan tersebut dirilis. Anggota AmCham China antara lain adalah Nike, Intel, Pfizer, dan Coca Cola, yang merupakan perusahaan paling sukses di AS.

Hasil investigasi menunjukkan, sebanyak 66% perusahan menilai “ketidak-pastian hubungan AS-RRT”, adalah tantangan utama dalam berbisnis di Tiongkok, dibandingkan dengan tahun lalu telah naik 10%; perusahaan yang menilai tingkat keramahan Tiongkok terhadap perusahaan asing terus menurun juga telah meningkat hingga mencapai 49%.

CEO AmCham China yakni Michael Hart menyatakan, sikap perusahaan AS soal mengembangkan bisnis di Tiongkok “telah jauh lebih pesimis dibandingkan periode yang sangat lama di masa lalu”. Ketegangan hubungan Washington-Beijing yang terus memburuk, “menyebabkan bisnis menjadi penuh tantangan”, perusahaan AS sedang berupaya menurunkan risiko rantai pasokan, dan mengambil langkah “Tiongkok + 1” (China + 1 atau C+1).

PKT Buru-Buru Stabilkan Modal Asing, Tapi Membuka Diri Sembari Menekan?

Di tengah ketegangan geopolitik antara AS dengan RRT, semakin banyak perusahaan telah memindahkan semua atau sebagian produksi atau rantai pasokannya keluar dari Tiongkok. Bisa dilihat, data yang dirilis pemerintah RRT menunjukkan, pada Januari~Februari tahun ini, ekspor RRT turun 6,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, melanjutkan tren penurunan yang telah dimulai sejak Oktober tahun lalu. Selain itu, ekspor RRT terhadap AS, pada Januari~Februari tahun ini juga telah turun 21,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu; sementara impor RRT dari Amerika juga telah turun 5%.

Turunnya ekspor juga berimbas pada perusahaan melakukan PHK, seperti yang diberitakan oleh surat kabar Financial Times Inggris, yang menyebutkan “kabupaten terkaya Tiongkok” yakni Kabupaten Kunshan Provinsi Jiangsu, baru-baru ini mengalami kondisi pekerja setempat mulai mencari pekerjaan baru. Kunshan tak hanya merupakan kabupaten terkaya di Tiongkok, juga merupakan salah satu pusat ekspor paling sibuk di Tiongkok. Tapi kini, di Kunshan telah muncul suatu pemandangan baru, perusahaan melakukan PHK, pemotongan gaji dan fasilitas bagi karyawannya; para pekerja mulai mengalami kesulitan memperoleh lapangan kerja.

Karena lesunya perdagangan luar negeri Tiongkok, banyak kontainer menumpuk di pelabuhan. Kepala Badan Bea Cukai PKT yakni Yu Jianhua demi meredam opini berbagai kalangan, menyatakan banyak kontainer kosong sedang “siap siaga” di pelabuhan, yang juga merefleksikan sikap optimis pasar internasional terhadap kemampuan ekspor masa mendatang Tiongkok. Namun, warganet yang tidak percaya mencemoohnya, “Kontainer kosong di pelabuhan disebut ‘sedang siap siaga’, ini adalah seni berbahasa.”

Itu sebabnya, sekarang penguasa PKT sedang buru-buru mengadakan serangkaian kegiatan untuk menstabilkan modal asing, dan menstabilkan perdagangan luar negeri, bahkan pejabat PKT yang hadir untuk mendukung kegiatan itu juga berpangkat tidak kecil. Contohnya pada 28 Maret lalu, baru saja diaktivasi sebuah kegiatan untuk menarik modal asing dalam kegiatan “Tahun Investasi Tiongkok”, anggota tetap Politbiro PKT sekaligus Wakil PM He Lifeng, tidak hanya hadir dalam acara tersebut, juga telah berpidato. Selain itu, Boao Forum For Asia (BFA) 2023 juga digelar di Pulau Hainan pada 30 Maret, PM Li Qiang akan membuka forum BFA sekaligus menyampaikan pidatonya. Tetapi di saat Beijing menyatakan hendak berupaya menarik investor asing, mendadak beredar kabar berita kantor Mintz Group di Beijing diselidiki, dan juga beberapa karyawannya ditangkap.

Pada 24 Maret lalu, sehari menjelang dibukanya China Development Forum, para penguasa RRT mendadak menggeledah kantor Mintz Group di Beijing, dan sebanyak 5 orang karyawan WN RRT ditangkap, perusahaan itu pun langsung menghentikan operasionalnya di Beijing.

Dalam suatu pernyataannya Mintz Group disebutkan, pihaknya tidak menerima pemberitahuan hukum yang resmi dalam bentuk apapun terkait kejadian tersebut, pihaknya juga meyakini karyawannya juga tidak melakukan pelanggaran. Pada 24 Maret, juru bicara Kemenlu RRT yakni Mao Ning, saat ditanya wartawan juga menolak berkomentar terkait kejadian ini. Di situs internet Kemenlu RRT, juga tidak ada catatan dokumen terkait lainnya.

Mintz Group adalah sebuah perusahaan uji kelayakan yang berkantor pusat di New York, memiliki 18 kantor cabang di seluruh dunia, mempekerjakan 450 orang karyawan. Kantor berita Prancis RFI menyebutkan, Mintz Group adalah perusahaan spesialisasi yang melakukan investigasi tindakan melanggar hukum seperti penipuan, korupsi, dan pelanggaran di tempat kerja, juga investigasi latar belakang. Seorang tokoh bisnis AS mengatakan, kejadian yang menimpa Mintz Group telah melontarkan suatu “sinyal yang sangat mencolok”, pemerintah RRT hendak memperoleh modal dan teknologi dari perusahaan asing, tapi PKT tidak akan pernah menerima perusahaan terpercaya AS melakukan uji kelayakan terhadap rekan kerjasama atau lingkungan bisnis di Tiongkok. Dengan kata lain, yang disambut baik oleh PKT adalah “pengusaha yang patuh”, jika Anda patuh dan tunduk atas segala syarat yang diminta Beijing, maka Anda boleh datang, dan Beijing menyambut Anda, tapi jika tidak, maka penjara akan menantikan kehadiran Anda.

Dan di saat semakin memburuknya hubungan AS dengan PKT saat ini, masalah keselamatan warga AS yang berada di Tiongkok menjadi semakin tidak bisa diabaikan, karena mereka sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran “sandera diplomatik” oleh PKT. Bisa dilihat peringatan bepergian yang baru saja diperbaharui oleh Kemenlu AS pada 10 Maret lalu bagi WN AS yang hendak ke Tiongkok, mendesak WN AS agar “mempertimbangkan kembali niatnya berkunjung ke Tiongkok, termasuk berwisata ke Hong Kong dan Macau”, karena terdapat risiko kemungkinan “hukum setempat diberlakukan semena-mena” dan ditahan secara tidak benar.

Selain itu, belum lama ini juga beredar kabar seorang eksekutif perusahaan farmasi Jepang yakni Astellas Pharma Inc. juga telah ditahan pada awal Maret lalu di Beijing, yang mungkin akan mengalami tuduhan mata-mata. Radio Free Asia (RFA) memberitakan, setelah RRT memperkenalkan UU Anti Mata-mata pada 2014 dan juga UU Keamanan Nasional pada 2015, sejumlah warga asing pun ditahan. Selain kasus terbaru ini sejak 2015 sedikitnya terdapat 16 orang WN Jepang telah ditahan dengan tuduhan terlibat aktivitas mata-mata.

Lalu, di satu sisi PKT mengatakan akan membuka diri menarik investor asing, di sisi lain terus menangkap karyawan perusahaan asing, masih beranikah perusahaan modal asing datang ke RRT? Jadi kita bisa melihat, walaupun Beijing telah mengakhiri kebijakan Nol Covid, dan membuka gerbang negaranya, tapi sudah tidak mungkin lagi kembali ke kondisi seperti sebelum pandemi. Terutama setelah Xi Jinping berkunjung ke Rusia belum lama ini, PKT telah semakin dikucilkan oleh dunia, lingkungan investasi seperti ini, pasti akan menciutkan nyali modal asing untuk datang. (Sud/whs)